Mengenal Empat Tingkatan Manusia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Allah Swt menciptakan manusia pada dasarnya memiliki kesamaan yakni sama-sama diberi akal dan nafsu.
Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan kaya maupun miskin, rupawan maupun tidak, semuanya sama. Mengapa demikian?
Karena Allah Swt menciptakan manusia dari sumber yang sama, yakni laki-laki dan perempuan, hanya satu yang membedakannya, yakni ketakwaannya.
Hal ini termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan,
Kemudian kami menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah maha mengetahui, maha teliti.” Q.S. Al-Hujurat ayat 13
Jika kita merenungkan ayat tersebut, maka kita akan memahami bahwa yang membedakan manusia di hadapan-Nya hanyalah tingkat ketakwaannya.
Lantas manusia dibagi menjadi berapa tingkatan?
Menurut Imam Kholil bin Ahmad manusia memiliki empat tingkatan.
Mari kita mengenal empat tingkatan manusia tersebut satu persatu.
Pertama, tingkatan ‘alim, yakni seseorang yang sudah memiliki tingkat pemahaman yang benar dan luas.
Mereka menyadari bahwa manusia memiliki sebuah kewajiban untuk mengamalkan ilmu-ilmunya.
Dari kesadaran itulah mereka aktif dalam beribadah, selalu berhati-hati dalam melangkah dan tidak mudah terpengaruh terhadap hal-hal buruk.
Namun, mereka sendiri pula yang wajib memberikan pengaruh baik terhadap lingkungan.
Kedua adalah tingkatan na’im. Kata naim berasal dari Bahasa Arab yang berarti seseorang yang tertidur.
Artinya orang yang berada pada tingkat na’im, ia berilmu namun, ia belum menyadari akan kewajiban-kewajibannya terhadap ilmu yang telah ia serap.
Dia masih disibukkan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Manusia yang masih berada pada tingkat tersebut harus segera dibangunkan melalui motivasi dan sebagainya.
Ketiga, tingkatan mustarsyid, artinya pencari petunjuk, yakni seseorang yang menyadari akan kekurangannya dan ketidaktahuannya terhadap sesuatu.
Mereka tidak merasa malu untuk terus belajar dan bertanya terhadap hal yang tidak ia ketahui.
Manusia yang berada pada tingkat ini tidak pernah malu untuk menyadari kesalahannya.
Keempat adalah jahil, artinya bodoh. Manusia pada tingkatan ini adalah mereka yang bodoh dan tidak menyadari kebodohannya.
Mereka enggan untuk belajar dan ia selalu merasa dirinya pintar, mereka lebih suka dengan perdebatan yang tidak ada manfaatnya.
Bahkan yang paling parah ia tidak mau jika pendapatnya disalahkan.
Manusia pada tingkat ini tidak layak untuk diajak diskusi tentang ilmu, karena hanya akan mengakibatkan kebencian.
Dengan mengenal empat tingkatan manusia di atas, kita dapat memahami bahwa orang yang paling cerdas bukanlah ia yang paling pandai dalam hal materi.
Melainkan ia yang mau mengamalkan ilmu-ilmunya dan tidak enggan untuk mengatakan ‘aku tidak tahu.’
Sebaliknya orang yang terlihat pandai dalam hal materi, namun sejatinya ia jahil (bodoh) adalah ia yang enggan untuk mengamalkan ilmunya dan enggan untuk belajar.