Menegosiasi Tradisi Pesantren
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu lembaga pendidikan yang barangkali keberadaannya cukup ‘dikuduskan’ di tengah-tengah masyarakat adalah pesantren. Pesantren yang memang sejak dini mencoba merawat tradisi dan terus menghidupinya di sisi lain harus mulai bersinggungan dengan laju zaman. Beberapa tradisi pesantren memang sedikit demi sedikit dimodifikasi.
Hal ini dapat dilihat bagaimana pengadopsian sistem kelas yang pada masanya dianggap bidah terbesar. Namun, karena tuntutan zaman akhirnya sistem kelas di tubuh pesantren juga diterima.
Bahkan di titik terjauhnya pesantren juga menerima sekolah formal yang embrionya jelas-jelas tidak berasal dari tubuh pesantren itu sendiri, melainkan ala kolonial.
Dengan landasan semacam itu, di sini pesantren harus diletakkan sebagai lembaga yang terbuka. Maksudnya terbuka, ia tidak diletakkan sebagai sesuatu yang final dan paripurna.
Hanya dengan meletakkan pesantren pada titik yang bisa dinegosiasi dan dirembukkan kembali, kita dapat memodifikasi dan menyesuaikannya dengan zaman.
Hingga saat ini referen dasar tatkala kata pesantren di sebutkan adalah sebuah institusi di mana pelajaran agama menjadi primadona.
Hal tersebut memang tidak salah bahwa pesantren erat kaitannya dengan agama. Bahkan dalam kacamata Zamakhsyari Dhofier dianggap sebagai garda awal dalam menuntun terkait hal-hal elementer dalam agama.
Dengan ketatnya tradisi yang telah dirawat dan turun temurun, hal itu kemudian menjadikan pesantren sebagai lemabaga yang punya ciri khas serta tidak dapat disamakan dengan lembaga manapun.
Ciri khas tersebut juga seringkali menjadikan pesantren sebagai sesuatu yang selesai dengan fondasi karakterisitiknya.
Artinya, hanya karena ia berusaha untuk menjaga tradisi kemudian menutup mata pada tantangan zaman yang lebih kompleks.
Tidak terlalu jauh untuk merombak segala aspek dalam pesantren, seminimal mungkin dari sisi ilmu-ilmu yang diajarkan.
Kiai atau bahkan pendidik yang masih berusaha untuk merawat tradisi pesantren sudah semestinya mulai melirik hal-hal di luar kerangka pesantren itu sendiri.
Melihat hal lain atau bahkan keilmuan yang sebelumnya tidak diajarkan di tubuh pesantren tidak lantas menyuruh pesantren meninggalkan tradisinya.
Ia diperbolehkan untuk teguh terhadap tradisi namun tidak menutup mata terhadap hal lain yang datang di kemudian hari.
Hal ini juga barangkali sebagai implementasi sederhana dari ‘merawat tradisi lama yang dianggap baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (ashlah)’.
Selama ini, kendati beberapa pesantren telah lama berpegang teguh pada prinsip tersebut, namun masih minim invovasi.
Jika dipetakan, pesantren masih condong merawat tradisi lama dan hanya sedikit mengadopsi tradisi baru atau bahkan tidak ada sama sekali.
Sebagai sebuah gambaran yang sederhana, jika dahulu pesantren tidak menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan teknolohgi, maka mungkin bisa memulai dengan hal tersebut.
Contoh sederhananya, santri-santri yang ada diberikan pelatihan khusus penguasaan terkait teknologi seperti komputer dan lain sebagainya.
Hal ini dimungkinkan karena zaman memang menuntut hal yang demikian. Keilmuan lain yang dinilai punya prospek yang bagus ke depannya harusnya tidak pernah luput dari tilikan pesantren.
Sehingga pesantren tidak hanya jadi jangkar yang berusaha menahan laju zaman atau bahkan membatasi dirinya dari kemajuan.
Jika ia berlaku demikian, maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa pesantren menolak maju.
Penulis mengakui bahwa untuk menerima hal tersebut harus disertai dengan hati yang lapang dan terbuka. Itu tidak lain musabab yang hendak ‘dilawan’ adalah tradisi yang telah mengakar kuat di dalam tubuh pesantren.
Dengan bahasa lain yang lebih lugas, pesantren tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkutat dengan budidaya tradisi.
Ia sudah semestinya melangkah lebih jauh daripada itu karena arus zaman menganjurkan demikian. Dialektika antara tradisi lama dan tradisi baru harus dicarikan titik temunya.
Dengan landasan dasar tanpa harus dengan sangat radikal hendak merombak tradisi lama dan bahkan meninggalkannya.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pesantren masih harus berpijak pada tradisi-tradisinya itu sambil merangkul hal-hal lain yang berseliweran.
Dengan menegosiasi kembali tradisi pesantren dan mereformasi kambali dimungkinkan adanya keserasian antara pesantren dan arus zaman.
Ia tidak kalis dan ketinggalan zaman melainkan ia tetap sesuai dengan zaman dan waktu. Salih li kulli zaman wa makan.
Namun, itu sampai pada derajat yang itu satu-satunya jalan yang mungkin ditempuh adalah tidak meletakkan pesantren pada titik yang final. Ia harus selalu terbuka dengan hal-hal baru.
Pesantren harus ditambal sulam untuk menuju lembaga pendidikan yang (nyaris) sempurna dan paripurna.