Membincang Metode dan Corak Penafsiran dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula.
Kecenderungan manusia juga berbeda-beda sehingga yang dihidangkan dari pesan-pesan Illahi juga berbeda
beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Bakri Syahid pengarang dari kitab Al Huda Tafsir Basa Jawi, Al-Qur’an didefinisikan sebagai:
“Kalamullah ingkang jejeripun dados mu’jizat, ingkang dipun paringaken dados wahyu Allah dhumateng kanjeng Nabi Muhammad., serta sintena kemawon maos Quran punika ibadah naminipun.”
Dalam definisi bahasa Indonesia, penjelasan tersebut berarti bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang dijadikan sebagai mukjizat bagi umat Islam yang diturunkan kepadaNabi Muhammad, serta siapapun yang membaca Al-Qur’an tersebut akan mendapatkan pahala. Wahyu Allah tersebut berwujud kaidah
kaidah yang berasal dari Allah yang bersifat universal, abadi sepanjang masa, adil, sesuai dengan fitrah manusia, serta contoh suri tauladan yang mulia.
Dari individu yang membangun keyakinan taqwa yang kemudian akan menuju pada masyarakat yang mempunyai akhlak serta budi pekerti yang luhur.
Kitab Al Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi merupakan salah satu kitab yang mengkomparasikan kebudayaan jawa untuk menafsirkan Al Qur’an.
Kitab Tafsir ini disusun oleh seorang purnawiran TNI (dahulu ABRI) kelahiran Yogyakarta berpangkat Kolonel bernama Drs. H. Bakri Syahid. Tafsir Al Huda merupakan salah satu tafsir yang menggunakan bahasa Jawa untuk menafsirkan Al Qur’an.
Hal ini mengasumsikan adanya dialog antara dua system nilai budaya yang berbeda sebagaiaman tercermin dalam simbol-simbol bahasanya, yaitu bahasa Al-Qur’an (Arab) di satu pihak dan bahasa jawa di pihak lain.
Hal itu disebabkan karena bahasa jawa memiliki muatan makna simbolik dari dunia meteri dan ide-ide abstrak kebudayaan jawa.
Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir al-Huda merupakan merupakan jenis penafsiran yang mengunakan rasionalitas sebagai dasar penafsirannya yang artinya tafsir al-huda ini menggunakan penalaran akal dalam menafsirkan al-Qur’an atau dalam bahasa mufassir disebut dengan tafsir bi al-ra’yi.
Tafsir bi al-ra’yi atau disebut dengan penafsiran bi-aqli adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan ijtihadi mufassir setelah mengenali terlebih dahulu bahasa arab dari berbagai aspeknya.
Serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta dengan mempertimbangkan sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir.
Dalam hal ini ijtihad akal menjadi dasar utama untuk memahami teks ayat-ayat al-Qur’an.
Bakri Syahid pun mengunakan pemikiran ijtihadnya untuk menulis karyanya tersebut. Hal ini terlihat dari penafsiran Bakri Syahid dalam bentuk catatan kaki yang sederhana ringkas dalam sehingga mudah dipahami oleh khalayak.
Selain penafsiran yang dilakukan bakri Syahid ini cenderung tidak menafsirkan luas dan terperinci pada masing-masing ayat.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Bakri Syahid juga mengaitkan dengan kebudayaan kebudayaan yang ada ditanah jawa khususnya.
Sehingga dapat disebutkan bahwa tafsir Al-Qur’annya merupakan yang bercorak adabi Ijtima’i (sosial budaya) corak adabi ijtima’i dapat dilihat dari gaya penafsiran Bakri Syahid yang menguraikan penafsiran ayat Al-Qur’an dengan lugas dan langsung mengena untuk lebih mudah difahami.
Serta dalam penafsirannya langsung menyentuh kehidupan yang ada disekitanya pada waktu itu.
Penafsiran yang menjadi dasar dari penafsiran al-huda adalah dilakukan secara global (ijtimali).
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Huda
Kehadiran tafsir al Huda telah memberikan warna tersendiri dalam khazanah kajian Al-Qur’an berbahasa daerah di Indonesia, hal ini dikarenakan bahasa Jawa yang digunakannya serta format penyusunannya yang berbeda dengan karya-karya tafsir sejenis yang lain.
Perbedaannya dengan tafsir sejenis yang lain adalah disertakannya transliterasi teks Al-Qur’an dalam huruf latin serta di bagian akhir tafsir terdapat doa-doa dan tuntunan shalat lengkap dengan tata cara serta gambarnya.
Tafsir al-Huda juga merupakan karya dari mufasir yang berlatar belakang seorang militer yang mana latar belakang ini tidak dimiliki oleh para penafsir yang sejenis lainnya, hal inilah yang menjadikan tafsir al-Huda memiliki daya tarik tersendiri.
Sebuah karya tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, kiranya hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah menjadi kelebihan dari tafsir ini.
Sedangkan kekurangan dari tafsir ini adalah merupakan kelebihannya juga yaitu tafsir ini menggunakan bahasa daerah (Jawa) sehingga perlu pendalaman khusus atau penerjemah bagi para pembaca tafsir ini khususnya bagi para pembaca dari luar daerah Jawa.
Contoh Penafsiran
Sebagai contoh dapat dilihat, misalnya dalam terjemahan Surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi:
ِقي َن َٰذَ فِي ِه ُمتَِّْلُهدًى ل
ِكتَا ُب ََل َرْي َبِْل َك ال
Artinya:
“Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 2)
Dalam kitab Al-Qur’an dan terjemahannya, ayat diatas diterjemahkan demikian “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Adapun dalam tafsir al Huda, ayat tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
“Kitab Alquran iki, ing sajerone wus ora ana mamang maneh terang saka ngarsaning Allah, dadi pituduh tumrap wong kang padha taqwa ing Allah”
Terjemah Bahasa Indonesia:
“Kitab Alquran ini, di dalamnya sudah tidak ada keraguan lagi nyata datang dari sisi Allah, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa kepada Allah).”
Dari contoh tersebut, tampak bahwa kalimat هِ يِف بَ يْرَ لََdalam kitab Al-Qur’an dan Terjemahnya hanya diterjemahkan “tidak ada keraguan padanya” tanpa diberi keterangan lain diluar makna tekstualnya.
Terjemahan ini kemudian memberikan pemahaman yang bersifat umum. Sementara itu, dalam tafsir al Huda, kalimat tersebut diterjemahkan “ing sajerone wus ora ana mamang maneh terang saka ngarsaning Allah”.
Kalimat “terang saka ngarsaning Allah” dalam terjemahan tersebut merupakan keterangan tambahan yang tidak ada dalam teks asli.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjemahan yang dilakukan oleh tafsir al Huda lebih memberikan pemahaman yang bersifat khusus.
Dalam konteks ini, maka terjemahan Al-Qur’an dalam tafsir al Huda dapat dikatakan bukan sekadar terjemahan biasa, melainkan terjemah yang disertai penafsiran.
Seperti juga contoh penafsiran dalam surat Al-Furqan ayat 23 yang berbunyi:
ْو ًرانَهُ َهبَا ًء َّمْنثَُْجعَلْوا ِم ْن َع َم ٍل فَُلَى َما َعِملِِدْمنَا إَوقَ
Artinya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka lakukan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqan ayat 23)
Menurut Bakri Syahid ayat tersebut ditafsirkan sebagai berikut:
“Maksudipun sedaya amal kesaenanipun tiyang kafir wonten ing donya punika mboten badhe dipun paringi ganjaran dening Allah wonten ing akhirat, sebab piyambakipun mboten iman dening Allah.
Dados iman punika sokoguru ingkang penting piyambak. Ngadekipun sedaya tindak-tanduk, solah bawa, muna lan muni ing salaminipun gesang wonten ing alam donya punika, sebab dening adeging iman wonten ing ati sanubari, pramila menungsa gesang mboten utawi tanpa iman ing Allah. Saestu badhe ketiwasan kawusanipun.”
Penafsiran tersebut dapat dijelaskan bahwa iman merupakan tonggak atau dasar bagi seorang muslim untuk bertindak atau bartingkah laku selama hidup di dunia.
Semakin tinggi keimanan seseorang maka semakin baik pula tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang tersebut.
Dan sebaliknya jika tingkat keimanan nya tipis, maka niscaya akan lebih banyak melakukan kemaksiatan di dunia.
Jadi, jika manusia hidup di dunia tanpa keimanan dalam hati sanubarinya, maka niscaya dia akan hidup tersesat di dunia. []