Mbah Muqoyyim, Ulama Pejuang dan Pendiri Pesantren Buntet Cirebon
HIDAYATUNA.COM – Mbah Muqoyyim adalah pendiri Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Ulama yang sangat peduli terhadap lingkungannya. Ia merupakan Mufti Keraton Kanoman, berdakwah dikalangan Kerajaan Cirebon, mendirikan pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam dan basis perlawanan terhadap belanda. Pondok Pesantren Buntet didirikan oleh Mbah Muqoyyim pada 1750 Masehi.
Pada tahun 1689, Mbah Muqoyyim lahir di Srengseng Krangkeng, Karang Ampel Indramayu. Berdasarkan buku silsilah pesantren Buntet, beliau adalah putra Kiai Abdul Hadi yang berdarah Kesultanan Cirebon.
Mbah Muqoyyim memiliki kedekatan dengan keluarga Keraton Cirebon. Jika melihat silsilahnya, ayah dari Mbah Muqoyim merupakan putra dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, putri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara. Mbah Muqoyyim juga sempat tinggal di Keraton. Hidup bersama orang tuanya dan mendapat pendidikan ajaran Islam dan ketatanegaraan yang cukup baik dari guru dan orang tuanya. Tak hanya kedua ilmu tersebut, Mbah Muqoyyim juga belajar kedigdayaan sehingga ia pun juga dikenal dengan kiai yang sakti mandraguna.
Pada saat itu, Cirebon mengadakan hubungan dengan Banten, yang berada di bawah naungan pemerintahan Adipati Anom Amangkurat II, dimana perkembangan ilmu keagamaan yang cukup tinggi. Sebelumnya, mbah Muqoyyim mendatangi sebuah tempat yang pernah disinggahi Syaikh Yusuf Al Makasari, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten sebelum masa pemerintahan Amangkurat I. di tempat-tempat itu, ia bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid-murid Syaikh Yusuf.
Beliau menulis beberapa buku tentang fiqih, tauhid dan tasawuf yang dikirim pada Sultan Kanoman agar dijadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon.
Tidak di sangka jika beliau di kemudian hari diangkat sebagai Mufti. Mbah Muqoyyim menikah dengan Randu Lawang, putri tunggal Kiai Entol Rujitnala. Selain itu, dia juga dikenal sakti, tapi rendah hati kepada siapa pun. Dia sangat mengedepankan akhlakul karimah.
Konon salah satu karomah beliau yaitu, bisa membuat bendungan dengan hanya seutas benang. Hal ini dilakukan Mbah Muqoyyim saat mengikuti sayembara yang dikeluarkan Kiai Entol Rujitnala. Dimana isi sayembara tersebut yaitu barang siapa sanggup membuat bendungan yang dapat menahan banjir Sungai Nanggela, akan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Randu Lawang.
Kiai Entol Rujitnala ketika itu adalah seorang pembesar yang dikenal sakti tapi gagal membuat bendungan penahan banjir yang selalu menggenangi Sungai Nanggela. Sehingga daerah Setu selalu kebanjiran bila musim hujan datang. Hanya saja Kyai Entol tidak mampu membuat bendungan penahan banjir, Kiai Entol kemudian mengadakan sayembara dengan hadiah anak semata wayangnya bagi yang berhasil membuat bendungan penahan banjir.
Mbah Muqoyyim yang ketika itu menjadi Mufti Keraton Kanoman lalu mengikuti sayembara itu. Tapi dengan niat kemanusiaan, yaitu mengatasi banjir. Demikian dengan sifat aslinya beliau yang rendah hati, dia juga tidak ingin mempermalukan penyelenggara. Caranya, sementara dia melakukan tugasnya untuk membangun bendungan, dimintanya Kyai Entol berdoa.
Dengan seutas benang yang dikeluarkan dari jubahnya, dibentangkan di beberapa titik yang akan dibangun bendungan. Kemudian, dengan sekali percobaan, tercipta lah bendungan itu lengkap dengan dinding batu yang kokoh. Sejak itu penduduk Setu terhindar dari banjir.
Secara pandangan belanda terhadap keraton Cirebon sudah terlalu jauh sehingga masuk dalam wilayah pengambilan keputusan dan kebijakan keraton, mengobarkan kemarahan Mbah Muqoyyim. Namun, merasa dirinya hanya Mufti, tindakan perlawanan tidak kontrontatif, melainkan berupa pengunduran diri dengan cara meninggalkan keraton.
Ia kemudian mendirikan Pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam dan basis perlawanan kultural terhadap Belanda, ia ingin bergerak dibidang pendidikan mental dan spiritual agar dapat melaksanakan ajaran agama Islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih. Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penjajah Belanda.
Mbah Muqoyyim memilih Buntet sebagai lokasi pesantren yang berjarak 12 KM arah timur dari pusat keraton. Alasannya karena disitu Kepala Desa Cirebon atau Uwak Syarif Hidayatullah, pernah mendirikan Padepokan. Berkat sayembara membuat nama Mbah Muqoyyim menjadi terkenal sebagai pemenang sayembara membangun bendungan dan kedudukan Mufti Sultan Kanoman, Pesantren Buntet cepat berkembang.
Dalam perjalanan, Belanda melihat Mbah Muqoyyim sebagai ancaman serius, segera menyerang dan mengosongkan Pesantren Buntet. Perlawanan sengit dilakukan oleh pihak pesantren. Disini sangat di uji para santri yang dibekali mental dan komitmen pesantren untuk tidak berkompromi dengan penjajah Belanda. Panji jihad berkibar, aroma surga tercium dan mati syahid pun menjadi tujuan.
Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Dalam pertempuran yang terjadi saat itu, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri di daerah pesawahan sindang laut dimana itu tempat adiknya bermukim. Disana beliau mendirikan tempat ibadah (masjid).
Ketika membangun Masjid tersebut, ia hanya menggunakan sebatang pohon jati yang banyak tumbuh disitu, sehingga tempat asal pohon tersebut dikenal hingga sekarang dengan nama Jati Sawit (Jati Satu Pohon).
Setelah membangun masjid, ia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan Pesantren Pesawahan. Salah satu santri beliau adalah Chaeruddin, dari silsilah Chaeruddin ini sebagai cucu Adipati Anom, sehingga masih ada hubungan dengan keluarga Mbah Muqoyyim.
Semasa hidupnya di Cirebon Mbah Muqoyyim memanfaatkan waktunya untuk membangun kembali Pesantren Buntet, yang berantakan. Tetapi Allah SWT berkehendak lain. Tidak lama kemudian, ditengah usahanya untuk menata kembali Pesantren Buntet Mbah Muqoyim dipanggil Kehadirat Ilahi Rabbi.
Mbah Muqoyyim dikenal sederhana dan ahli tirakat. Dalam sebuah riwayat diceritakan ketika berpuasa Mbah Muqoyyim, sahurnya hanya sega aking atau nasi yang dikeringkan. Caranya cukup unik, beliau kalau mau sahur, mendekati sega aking yang ditempatkan dalam sebuah wadah yang terbuat dari kantong. Lalu dengan menggunakan pena cocor bebek (pena khas santri zaman dahulu), dimasukanlah pena cocor bebek itu kedalam wadah untuk mengambil nasi aking. Dalam satu kali mengambil berapapun yang didapatkanya, itulah yang dibuka untuk berbuka puasa.
Sumber:
- Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara
- Pesantren Buntet Cirebon, hidayatuna.com
- Kisah Karomah Kiai Muqoyyim Pendiri Pesantren Buntet Cirebon, daerah.sindonews.com