Masjid Agung Djenne Terbuat dari Lumpur
HIDAYATUNA.COM – Masjid Agung Djenne merupakan bangunan masjid megah terbesar yang keseluruhan terbuat dari lumpur berdiri sejak pada tahun 1240 Masehi oleh Sultan Koi Kunboro. Lokasi masjid ini terletak di kota Djenne, Mali, di dekat Sungai Bani, Afrika Barat.
Ketika Sultan Koi Kunboro masuk Islam abad ke 13, lalu mengubah istananya menjadi sebuah masjid. Sangat sedikit informasi tentang bentuk dari masjid pertama tersebut, namun masjid tersebut dinilai terlalu mewah oleh Sheikh Amadou, penguasa Dejene diawal abad ke 19 masehi.
Bangunan yang sekarang ini adalah masjid tiruan yang dibuat semirip mungkin dengan bangunan aslinya. Karena masjid ini telah diresmikan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan situs sejarah dunia pada 1988 dan bersama dengan Kota Kuno Djenne yang menjadi Situs Warisan Dunia. Selain itu kota Djenne juga merupakan lambang terkenal Afrika sebagai pusat komunitas.
Kota Djenne merupakan kota kecil di negara Mali yang memiliki sejarah panjang sebagai salah satu peradaban Islam pertama di Afrika Barat. Kota yang sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan dunia bersama masjid tuanya itu kini masih menjadi tujuan para wisatawan dari mancanegara yang datang untuk melihat-lihat keindahannya dan untuk beribadah disana bagi yang beragama muslim.
Masjid tua ini menjadi salah satu bangunan penting umat muslim di Afrika Barat dan para turis seluruh dunia datang mengagumi struktur bangunan masjid. Wisatawan berdatangan selain untuk beribadah, ada juga yang berdoa, belajar dan juga berguru.
Di Kota Djenne, masih banyak masyarakat yang kurang mampu, setiap tahun atau setiap bulannya mengirim anak-anak mereka untuk belajar menulis dan membaca.
Sejarah pentingnya kota Djenne terdapat berbagai hal seperti perdagangan, menjadi pusat pembelajaran, dan ziarah. Sehingga membuat menarik para pendatang yang dari seluruh wilayah Afrika Barat.
Masjid ini sempat mengalami beberapa kali renovasi, pada 1830 M Sheykh Amadou kemudian membangun masjid kedua lantaran bangunan pertama sudah rapuh dan runtuh. Sedangkan, renovasi bangunan ketiga dilakukan oleh para saudagar setempat pada 1906, dikarenakan masjid yang 99 persen terbuat dari tanah liat asli dan mengalami beberapa kali renovasi.
Didirikan ulang kembali di tahun 1907 Masehi, untuk dirancang setelah setahun kemudian Prancis menguasai Mali yang memberikan bantuan finansial dan dukungan politik bagi pembangunan masjid serta sekolah Islam di dalam lingkungan masjid tersebut. Kekaisaran Prancis dengan perintah dari Katedral Notre Dame memerintahkan untuk membangun ulang Masjid Agung Djenne di tempat aslinya.’
Perancangan masjid didesain oleh arsitek Ismaila Traoré, kala itu Mali sudah berada dibawah kekuasaan Prancis. Pembangunan masjid yang terbuat dari lumpur terbesar di dunia ini dan dianggap oleh banyak arsitek sebagai gaya arsitektur Sudano Sahelian terbaik. Renovasi telah mengembalikan struktur awalnya yang serupa dengan bangunan aslinya, tetapi dari waktu ke waktu telah mengubahnya lebih halus.
Bangunan masjid seluas 5.625 meter persegi, sedangkan dinding masjid yang dibangun di atas tanah ini terbuat dari bata lumpur yang dijemur di bawah matahari (disebut ferey) lalu bagian luarnya diplester dengan lumpur yang lembut.
Masjid ini dibangun dengan lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah disekitarnya. Keseluruhan bahan bangunannya dari lumpur yang dikeringkan dibawah sinar matahari. Balok-balok lumpur kemudian disusun dan direkatkan satu sama lain menggunakan lumpur basah dan diplester permukaannya juga menggunakan lumpur basah.
Masing masing ketebalan dinding memiliki 40 sampai 60 sentimeter. Makin ke atas making menipis dindingnya. Ketebalan dinding itu berfungsi untuk menahan berat dari struktur masjid juga memberikan insulasi terhadap sinar matahari gurun yang menyengat.
Di waktu siang hari tembok tersebut akan memanas secara perlahan dari luar dan tetap memberikan kesejukan di dalam masjid. Sebaliknya di malam hari udara panas yang tersimpan di tembok tersebut tetap memberikan kehangatan di dalam masjid dari terpaan udara extrim gurun pasir.
Untuk Ruang sholat masjid ini ditopang (penyanggah) oleh sembilan puluh tiang kayu untuk menahannya, sehingga dapat menampung hingga 3000 jamaah sekaligus. Struktur masjid tersebut memungkinkan untuk tetap memberikan suasana sejuk di dalam masjid sepanjang hari.
Masjid Agung Djenne juga dilengkapi dengan ventilasi udara di bagian atap yang ditutup dengan keramik hasil karya para wanita Djenne. Tutup tersebut dapat dibuka pada malam hari untuk mensirkulasi udara di dalam masjid.
Kiblat Masjid Agung Djenne menghadap ke arah timur menuju Baitullah di Mekkah. Di depan dinding kiblat masjid ini, didominasi tiga menara besar mencapai hingga sebelas meter yang menjorok keluar dari dinding utama. Setiap menara masjid dihiasi tangga spiral menuju ke atap masjid dan dipuncak menara berbentuk kerucut telur burung unta yang menyimbolkan kemurnian atau kesuburan Kota Djenne.
Di ruang utama untuk sholat, setiap menara di dinding kiblat memiliki ceruk atau mihrab. Imam memimpin shalat dari mihrab di menara yang lebih besar. Sebuah celah sempit di langit-langit mihrab ini terhubung dengan sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian atas menara
Tembok masjid Agung Djenne juga menggunakan pohon-pohon palm yang digunakan sebagai penyanggah masjid dari bahan lumpur tersebut. Kayu-kayu tersebut digunakan sebagai penyanggah bagi para tukang yang selama proses pembangunan masjid, tetapi juga dipasang secara permanen di tembok masjid untuk digunakan setiap tahunnya memplester ulang masjid tersebut dengan lapisan lumpur yang baru.
Untuk terus menjaga Masjid Djenne tetap kokoh, setiap tahunnya penduduk Mali mengadakan festival untuk melakukan perawatan dan perbaikan bangunan Masjid Djenne sudah menjadi tradisi tahunan.
Perbaikan tahunan masjid Djenne telah menjadi festival tahunan di Djenne yang menarik perhatian banyak wisatawan. Proses perbaikan berupa pemlesteran ulang bangunan masjid dengan bahan campuran lumpur dan sekam padi, di awasi oleh 80 orang pekerja senior yang sudah berpengalaman. Mereka juga yang mengkoordinir keseluruhan proses perbaikan masjid sekali dalam setahun.
Karena bangunan yang terbuat dari lumpur ini mudah sekali mengalami kerusakan akibat hujan tahunan, perubahan suhu hingga kelembapan yang mengakibatkan beberap bangunan terkikis dan retak.
Masjid ini dipercaya dapat meningkatkan kerukunan warga disetempat, karena secara tidak disengaja warga bergotong-royong untuk menambal dinding yang retak terkena teriknya matahari.