Dakwah Lewat Seni dan Budaya

 Dakwah Lewat Seni dan Budaya

HIDAYATUNA.COM – Seni Pertunjukan yang potensial menjadi sarana komunikasi dan transformasi informasi kepada publik, terbukti dijadikan sarana dakwah yang efektif oleh wali songo dalam usaha penyebaran berbagai nilai, paham, konsep, gagasan, pandangan, dan ide yang bersumber dari Agama Islam. Cara ini dilakukan, baik melalui proses pengambilalihan lembaga pendidikan asrama atau dukuh maupun melalui pengembangan sejumlah seni pertunjukan dan produk budaya tertentu untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dari sini, lahirlah bentuk-bentuk baru kesenian hasil asimilasi dan sinkretisasi kesenian lama menjadi kesenian tradisional khas yang memuat misi ajaran Islam.

Pada masa Majapahit, seni pertunjukan umumnya berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual yang mengacu pada nilai-nilai budaya agraris yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan Hindu-Budha. Seni pertunjukan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual keagamaan memiliki ciri-ciri khas:

Membutuhkan tempat pertunjukan yang lazimnya dianggap sakral, dibutuhkan pilihan hari dan waktu yang tepat yang juga dianggap sakral, butuh pemain terpilih yang dianggap suci atau bersih secara spiritual, dibutuhkan sesaji yang banyak jenis dan macamnya, tujuan spiritual lebih diutamakan dari pada nilai estetis, menggunakan busana khusus.

Salah satu seni pertunjukan tertua sebagaimana tercatat dalam Prasasti Balitung berangka tahun 829 Saka (907 Masehi) adalah wayang yang digelar untuk Tuhan (Si Galigi Mawayang Buat Hyang Macarita Bimmaya Kumara). Dan, dalam Prasati Wilasrama yang berangka tahun 852 Saka (930 masehi), telah menyebut keberadaan seni pertunjukan yang dalam Bahasa Jawa Kuno disebut Wayang Wwang. Di dalam sastra kakawin Sumanasantaka gubahan Mpu Monaguna, tembang yang terdiri atas 188 pupuh, dari masa kerajaan Kadhiri bertahun 1104 Masehi di bawah Sri Prabu Warsajaya itu, juga disebut adanya seni pertunjukan Wayang Wwang, yang meski tidak jelas gambaranya sebagai drama tari, namun cerita yang dibawakan berasal dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Dalam naskah Mahabharata yang digubah Mpu Sedah, seni wayang digambarkan dalam kalimat.

Dr.G.A.J Hazeu dalam disertasi berjudul Bijdrage Tot de Kennis van Het ja vaansche Tooneel (1897) beranggapan bahwa istilah-istilah sarana pertunjukan wayang seperti wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak, cempala adalah Bahasa jawa asli dan pertunjukan wayang Purwa pada dasarnya adalah ciptaan orang Jawa. Menurut Hazeu, bagi perasaan orang jawa, wayang terjalin dengan unsur-unsur paling typisch dan yang paling erat hubunganya dengan pertunjukan animistis yang di Indonesia sudah umum sekali pada waktu itu. Namun, dengan ini ia tidak mengira bahwa karakter pra-Hindu dari wayang sudah pasti, karena tidak diputuskan bahwa hubungan antara teater wayang dan kultus nenek-moyang dalam bentuk-bentuk genetik. Hazeu menduga wayang sudah dikenal sebagai produk budaya animism Jawa, sekurang-kurangnya sebelum tahun 400 Masehi.

Pertunjukan wayang Wwang yang merupakan pertunjukan ritual keagamaan, dalam pergelaranya dikaitkan pula dengan usaha-usaha spiritual yang di sebut murwakala atau ruwatan, yaitu kegiatan semacam upacara spiritual yang bertujuan agar orang yang diruwat bebas dari sukerta, terhindar dari bencana-bencana bersifat gaib. Karena pertunjukan wayang bersifat spiritual, kedudukan dalang diposisikan setara dengan orang suci atau pendeta, bahkan dewa-dewa. Di dalam kitab Tantu Panggelaran di gambarkan kedudukan dalang dalam pertunjukan wayang sebagai

Berdasar paparan Tantu Panggelaran, dilukiskan bagaimana Bhattara Iswara Brahma-Wishnu turun ke bumi mempergelarkan pertunjukan wayang untuk menyebarkan ajaran agama, etika, dan filasafat kepada manusia. Dalam konteks memosisikan seni pertunjukan ini dengan sejumlah upacara ritual yang khas, para penyebar Islam yang tergabung dalam Lembaga Wali Songo melakukan pengambilalihan seni pertunjukan ini dengan sejumlah penyesuaian yang selaras dengan ajaran Tauhid dalam Islam.

R. Poedjosoebroto dalam wayang lambang ajaran islam (1978) menjelaskan bahwa Sultan Demak yang pertama setelah mempertimbangkan masak-masak dengan beberapa orang dari para wali tentang keberadaan seni pertunjukan wayang, memperoleh pandangan bahwa (1) seni wayang perlu di teruskan dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman (2) kesenian wayang dapat dijadikan alat dakwah islam yang baik (3) bentuk wayang yang mirip arca-arca seperti manusia harus dideformasi karena diharamkan menurut islam (4) cerita-cerita dewa harus di ubah dan diisi paham yang mengandung jiwa islam untuk membuang kemusyrikan (5) cerita wayang harus di isi dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan santun (6) cerita wayang karangan walmiki dan wiyasa harus diubah menjadi berjiwa islam (7) menerima tokoh-tokoh wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai dengan ajaran islam (8) pergelaran wayang harus disertai tata cara dan sopan santun yang baik, jauh dari perbuatan maksiat (9) memberi makna yang sesuia dengan dakwah islam seluruh unsur seni wayang, termasuk alat-alat gamelan dan nama-nama tembang macapatnya, sehingga pemberian makna dapat berturut-turut secara sistematis menurut ajaran agama yang benar.

Dengan Sembilan ketetapan yang ditetapkan Sultan Demak Bersama Wali Songo, dilakukanlah perubahan-perubahan bersifat  deformatif dalam rangka penyesuaian seni pertunjukan wayang dengan ajaran Islam. Pertunjukan wayang yang sampai masa majapahit Digambar di atas kain dengan di beri warna, dan dikenal dengan nama Wayang Beber Purwa atau Karebet yang diiringi gamelan slendro, pada masa awal kekuasaan Demak, wayang-wayang Digambar pipih dua dimensi dengan gaya dekoratif menjauhi kesan bentuk manusia sebagaimana tampak pada relief-relief candi. Bahan wayang tidak lagi Digambar di atas kain, melainkan di gambar di atas selembar kulit kerbau dengan warna putih dan hitam.

Wayang tidak lagi berwujud gambar utuh, tetapi berupa satuan-satuan gambar lepas dengan tangan menyatu dengan tubuh. Meski sudah dipisah-pisah sebagai satuan-satuan gambar wayang masih mirip dengan Wayang Beber atau Karebet. Pada dasawarsa kedua awal abad ke-16, atas kreativitas salah seorang tokoh Wali Songo, Sunan Kalijaga, wayang di sempurnakan dengan tangan bisa digerakan dan warna-warna yang digunakan makin beraneka macam.

Sesuai  ketetapan Sultan Demak pertama dengan Wali Songo, usaha-usaha mengembangkan wayang sebagai seni pertunjukan untuk sarana dakwah, tidak sekedar mengembangkan bentuk-bentuk gambar wayang beserta kelengkapan sarana pertunjukanya, melainkan yang tak kalah penting adalah adanya usaha penyususnan pakem cerita tentang poliandri yang menyangkut tokoh Drpadi sebagai istri kelima bersaudara Pandawa, diubah menjadi cerita pondogami dengan menggambarkan tokoh Drupadi sebagai istri Yudhistira, putra tertua Pandu.

Dewa-dewa yang merupakan tokoh sembahan yang hidup di kahyangan, dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan Nabi Adam dari galur Nabi Syits. Tokoh-tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala gareng dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewa-dewa hindu.

Azimat kerajaan Amarta yang kekuatan adiduniawinya mengalahkan kekuatan dewa-dewa, yang di sebut Jimat kalimosodo dimaknai sebagai Layang kalimata Sahada yang berkaitan dengan persaksian keislaman dalam wujud Dua kalimat Sahada yang berkaitan dengan persaksian keislaman dalam wujud Dua kalimat Syahadah. Bahkan, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus adalah tokoh-tokoh Wali Songo yang dianggap telah ikut menyempurnakan perlengkapan pertunjukan wayang dengan menggunakan kelir, debog, blencong untuk pertunjukan semalam suntuk yang di tandai candrasengkala, “geni dadi sucining jagad”, yang mengandung makna tahun 1443 Saka atau tahun 1521 Masehi.

Demikianlah, latar lahirnya seni Pertunjukan yang berasal dari zaman Wali Songo, yang merupakan seni pertunjukan hasil asimilasi seperti Wayang Purwa dan Wayang Wong yang membawakan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata Karebet dan Wayang Krucil yang membawakan kisah-kisah panji kentrung dan jemblung yang membawakan kisah-kisah menak dan babad, drama tari seperti jatilan dan sandul, seni genjring, tari topeng, yang diikuti berkembangnya seni sungging, seni ukir, seni batik, seni lukis, seni suara, seni music, seni arsitektur, yang bercirikan islam, yang berkembang di lingkungan masyarakat muslim, yang umumnya terproses dalam Pendidikan pesantren.

Sembilan ketetapan Sultan tentang Seni pertunjukan Wayang

  1. Seni wayang perlu diteruskan dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman
  2. Kesenian wayang dapat dijadikan alat dakwah islam yang baik
  3. Bentuk wayang yang mirip arca-arca seperti manusia harus dideformasi karena diharamkan menurut Islam
  4. Cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung jiwa islam untuk membuang kemusyrikan
  5. Cerita wayang harus diisi dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan santun
  6. Cerita wayang karangan walmiki dan wiyasa harus diubah menjadi berjiwa islam
  7. Menerima tokoh-tokoh wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai dengan ajaran islam
  8. Pergelaran wayang harus disertai tata cara dan sopan santun yang baik, jauh dari perbuatan maksiat
  9. Memberi makna yang dengan dakwah islam seluruh unsur seni wayang, termasuk alat-alat gamelan dan nama-nama tembang macapatnya sehingga pemberian makna dapat berturut-turut secara sistematis menurut ajaran agama yang benar.

Sumber : Atlas Wali Songo

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *