Konsepsi Pemimpin Menurut Abu Hasan Al-Amiri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Memasuki tahun-tahun politik, kontestasi memperebutkan kursi-kursi kepemimpinan di Indonesia mengalama eskalasi yang cukup tinggi.
Tahun-tahun politik yang ditandai dengan rentetan kampanye, seleksi penokohan sampai ke kontroversi tokoh tersebut menjadi perbincangan hangat di tengah Masyarakat.
Untuk itu dianjurkan bagi kita semua agar benar-benar menggunakan hak pilihnya dengan baik serta mengenali secara fundamental para figur calon pemimpin yang akan menahkodai bahtera perjuangan NKRI tercinta ini.
Salah satu filsuf muslim yang terkenal di bidang pemikiran kepemimpinan, yaitu Abu Hasan Al-Amiri.
Al-Amiri memberikan penjelasan tentang pendidikan politik kriteria dan ciri-ciri pemimpin yang baik yang dapat dipilih untuk mengemban amanah memimpin masyarakat.
Al-Amiri dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqib al-Islam menjeklaskan bahwa politik adalah jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat.
Politik adalah jalan menuju ketenangan hidup, yang tujuannya adalah menuntaskan kesengsaraan atau permusuhan dalam beragam perbedaan.
Politik Menurut Al-Amiri
Pada hakikatnya setiap manusia adalah berpolitik sesuai dengan koridornya masing-masing.
Negara sebagai sebuah organisasi politik memiliki tiga komponen krusial yang menjaga keseimbangannya, yaitu para penjamin makanan, para penjaga dan para pemimpin.
Para penjamin makanan dikategorikan sebagai mereka yang bekerja agar barang kebutuhan manusia dapat tersedia.
Komponen ini terdiri atas golongan petani, tukang, pedagang, buruh serta pengemudi transportasi umum.
Para penjaga adalah mereka yang mengabdikan diri untuk kepentingan umum.
Mereka harus hidup dengan cara mengutamakan kepentingan umum yang salah satunya adalah menjaga komponen para penjamin makanan.
Contoh dari golongan ini adalah TNI, Polri dan ASN. Yang terakhir adalah para pemimpin.
Komponen ini menurut Al-Amiri adalah golongan orang yang mengerti tentang filsafat negara dan kehidupan serta mampu menjaga kestabilan sebuah negara serta dapat dipercaya oleh para penjamin makanan dan para penjaga.
Al-Amiri menjelaskan bahwa secara natural setiap manusia pada tiga komponen tersebut harus mampu memahami potensi mereka masing-masing.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki peran dan fungsinya masing-masing sesuai kapasitas dan kemampuan yang ia miliki.
Oleh karena itu ia harus menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.
Pemimpin Menurut Al-Amiri
Menurut Al-Amiri, Pemimpin secara strategis adalah orang yang paling sempurna dari golongannya, siap dipimpin dan siap memimpin serta memiliki keunggulan itelektual, moral dan spiritual.
Sebuah pemerintahan dikatakan kuat apabila pemerintahan tersebut mampu membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan dan mampu mengoptimalkan pikiran dan tindakan segenap komponen masyarakat demi kemajuan bangsa.
Sedangkan sebuah pemerintahan dikategorikan lemah apabila pemimpinnya tidak mampu membebaskan rakyatnya dari perpecahan tak berujung, krisis moral dan intelektual serta kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.
Islam menyerukan agar sebuah pemerintahan mampu menciptakan kelompok masyarakat yang saling bekerjasama dalam ikatan persahabatan dan persaudaraan.
Islam tidak menghendaki situasi sebaliknya ketika rakyat hidup dalam perpecahan yang menimbulkan percikan permusuhan.
Bagi para pemimpin, rakyat tidak sekedar dijadikan sebagai objek untuk dikelola, tetapu juga sebagai subjek yang harus dibela dan dipertahankan.
Untuk itu penting bagi seorang pemimpin agar tidak menutup mata terhadap kritikan dan saran dari rakyatnya.
Rakyat adalah kekuatan utama untuk dimuliakan (asy-Syarif), diberdayakan (al-Qawi), dan diayomi (al-Wali), dan bukan direndahkan (al-Wadi), dilemahkan (adh-Dhaif), dan dimusuhi (al-adluwwi).
Maka dari itu kebutuhan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah menjaga perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai hikmah untuk kemaslahatan segenap rakyatnya. []