Kitab Penyirep Gemuruh Karya Kiai Wahab Chasbullah
HIDAYATUNA.COM – Sebagai seorang ulama yang masyhur dan karismatik Kiai Wahab Chasbullah memiliki rekam jejak yang sangat besar terhadap kemajuan Islam, juga terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kiprahnya yang begitu mewarnai panggung sejarah membuat namanya terkenang sampai sekarang.
Jika ada yang menilai peninggalan terbesar ulama adalah karya kitab-kitabnya tidak demikian dengan Kiai Wahab Chasbullah. Beliau justru sedikait diantara tokoh yang mampu meninggalkan karya monumentalnya dalam praktik keseharian baik beragama, berpolitik dan berbangsa. Gerak langkahnya adalah tauladan dan sumber rujukan berijtihad. Meskipun begitu bukan berarti beliau tidak memiliki karya kitab, ada sat-satunya kitab peninggalan beliau yaitu kitab Penyirep Gemuruh.
Sebagaimana penelusuran Komunitas Pegon, kitab Penyirep Gemuruh dicetak oleh Percetakan al-Irsyad Surabaya yang selesai ditulis pada 16 Muharram 1343 H atau bertepatan dengan 17 Agustus 1924. Dalam kitam itu tertulis jelas jika kitab ini merupakan karya KH. Abdul Wahab yang ditulis menyikapi rencana takmir masjid Paneleh Surabaya yang akan melakukan renovasi pelebaran masjid.
Polemik tentang pelebaran Masjid Paneleh Surabaya ketika itu telah terjadi sedemikian ruma sehingga Kiai Wahab Chasbullah melakukan ijtihad dengan mengarang kitab. Pokok permasalahannya adalah sekitar masjid merupakan areal pemakaman.
Masjid Paneleh merupakan tempat bersejarah. Masjid ini dibangun pada masa Sunan Ampel. Pada masa silam, di seputar masjid, banyak makam-makam tua. Untuk menjawab perihal boleh tidaknya memperbesar masjid dengan menggusur makam tersebut, Kiai Wahab melakukan empat langkah. Mulai meneliti perihal makam, studi literatur fiqhiyah, istifta hingga bahtsul masail.
Yang pertama kali diteliti oleh Kiai Wahab adalah perihal siapa-siapa yang dimakamkan di sekitar Masjid Paneleh tersebut. Adakah makam waliyullah, ulama, hafidz Quran, orang yang melanggengkan adzan di sana.
Selanjutnya yang diteliti adalah status kepemilikan tanah. Ternyata tanah tersebut tak diketahui siapa pemiliknya, begitu pula nadzirnya. Sehingga tanah kubur tersebut dinyatakan sebagai tanah majhul dan dihukumi Mal Dlo’i [harta yang tersia-sia].
Dengan dua hal tersebut, kuburan yang ada boleh dipindahkan serta tanah makam itu juga boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti halnya pelebaran Makam Paneleh.
Dua hal tersebut menjadi informasi yang wajib dicari berdasarkan pada literatur kitab fiqih yang ada. Setidaknya Kiai Wahab merujuk pada Kitab Syarwani yang merupakan hasyiyah dari Kitab Tuhfatul Muhtaj. Sedangkan tentang kepemilikan tanah, ia merujuk pada kitab I’anah Tholibin
Sebagai ahli fiqih, Kiai Wahab memang mendasarkan semua argumentasinya pada kitab-kitab fiqih yang muktabarah di kalangan pesantren. Selain dua kitab tersebut, ia juga merujuk pada Al-Umm, Minhajul Qowim, Tafsir Al-Baghawi, Jamal Hasyiyah Muhtaj, Fathul Jawad, Jam’ul Jawami’, dll
Selain melakukan kajian pustaka sendiri, dalam kitab tersebut Kiai Wahab juga melengkapinya dengan istifta [meminta fatwa] kepada ulama di Jawa maupun di Mekkah. Seperti kepada Syekh Said Yamani, Syekh Baqir, Syekh Ahmad Nahrawi, dan Kiai Abdul Muhith.
Kitab ini juga memuat pandangan Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari juga dimintai pendapat oleh Kiai Wahab yang dibalas dalam bentuk surat.
Sebagaimana tradisi di NU saat ini, keputusan fiqhiyah tidak bisa diambil secara mandiri meski telah memiliki kajian yang mendalam. Namun, tetap harus dirembukkan dalam kajian bersama yg dikenal dengan bahtsul masail.
Berikut ini para pesertanya yang ikut membahas persoalan renovasi Masjid Peneleh Surabaya. Ada 14 kiai yang terlibat, di antaranya:
- Kiai Munthoha Bangkalan
- Kiai Hasyim Jombang
- Kiai Said Ampel
- Kiai Azhari Surabaya
- Kiai Mas Alwi Sepanjang
- Kiai Mas Abdullah Tawangsari
- Kiai Bisri Jombang
- Kiai Zakariya Surabaya
- Kiai Said Paneleh
- Kiai Basuni Paneleh
- Kiai Syarif Surabaya
- K. Faqih Sedayu
- Kiai Ahmad Dahlan Kebondalem Surabaya
- dan Kiai Wahab sendiri yang bertempat tinggal di Kertopaten Surabaya
Atas berbagai kajian dan hasil bahtsul masail yang menyetujui pemugaran, akhirnya Masjid Paneleh terus dibangun hingga sebagaimana kita ketahui saat ini. Kitab ini sendiri, oleh Kiai Wahab disusun untuk mengkonter pendapat miring yang masih muncul karena keterbatasan informasi.
Source: Komunitas Pegon (yang menemukan Penyirep Gemuruh pada tahun 2017 dari perpustakaan peninggalan Kiai Sholeh Lateng)