Kitab Kuning sebagai Penjaga Semangat Ruh Pesantren
HIDAYATUNA.COM – Pesantren menjadi tempat mencetak kader-kader ulama melalui lembaga pendidikan, sekaligus tempat penyebaran ilmu agama. Ulama tidak bisa dilepaskan dari kitab-kitab klasik seperti kitab kuning.
Sebagai pendidikan khas Nusantara, pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren (1985), terdiri dari lima unsur yang meliputi: Kiai, santri, masjid, pondok, serta pengajaran kitab kuning. Dari lima unsur tersebut, kitab kuning merupakan hal cukup menarik sampai hari ini.
Kitab kuning atau kitab ‘gundul’ bukanlah hal yang asing bagi kalangan santri. Pasalnya, setiap hari santri selalu meng(k)aji kitab kuning. Penyebutan kitab kuning bukan tanpa alasan karena kertas untuk mencetaknya berwarna kuning.
Dalam buku Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (1995), Van Bruinessen mengatakan bahwa kitab kuning adalah salah satu unsur pesantren yang sangat penting. Kitab kuning ini pula yang mengkonstruksi pengetahuan kaum santri sehingga tradisi pesantren, salah satunya dibentuk oleh kajian kitab kuning.
Selain untuk mempelajari bahasa Arab, kitab kuning juga memilki fungsi untuk menjaga semangat ruh pesantren. Disamping itu, penulis menilai beberapa kebermanfaatan kitab kuning sebagai berikut.
Manifestasi dari dialog peradaban
Maksudnya adalah kitab kuning lahir dari budaya luar yang berdialog dengan budaya lokal. Arab pegon, misalnya, ia adalah aksara arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Perpaduan antara lokalitas dan budaya luar inilah yang menjadi corak tersendiri bagi kalangan pesantren, khususnya, dan terhadap Islam Nusantara pada umumnya.
Selain kitab kuning yang beraksara arab pegon, sebetulnya, maniestasi dari dialog peradaban itu juga terdapat dalam banyak. Misal, syai’ir-sya’ir Jawa yang bernafaskan Islam seperti Lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul karya Sunan Kalijaga, serta masih banyak lainnya.
Memberi pemahaman yang inklusif serta sarat akan toleransi
Tidak hanya itu, di dalam kitab-kitab kuning termuat berbagai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luruh seperti toleran (tasammuh), tawazzun (keseimbangan), tawassuth (pertengahan), dan ‘itidal (konsisiten-proposional) ada di dalamnya.
Melalui kitab kuning, seorang santri dibiasakan berhadapan dengan berbagai ragam pandangan ulama sehingga tidak gumunan terhadap perbedaan pendapat. Pemahaman seperti ini pula membuat para santri terbuka dengan orang yang berada diluar dirinya.
Refrensi ilmiah dan pelestari rentetan intelektual (sanad) sampai kepada Rasulullah
Contoh sederhananya adalah ketika sebelum memulai mengaji sebuah kitab, seorang Kiai/Ustaz akan membacakan al-Fatihah kepada mushonnif (pengarang) juga kepada guru-guru yang telah mengajarkan kepadanya. Tradisi ini, tentu bukanlah perkara sepele, sebab melalui mengirimi fatehah kepada guru-guru dan pengarang kitab ruh pesantren itu terjaga.
Hal yang cukup menarik lagi adalah walalupun masa pandemi covid-19 dan para santri diliburkan selama bulan Ramadhan, ngaji pasanan tetap berlanjut. Walaupun dilaksanakan secara online. Ini menandakan bahwa betapa pentingnya kitab kuning sebagai penjaga dan pelesatari semangat ruh pesantren, secara khusus, dan tentu secara umum sebagai pelestari ke-Islaman ala Islam Indonesia.
Semaju apa pun zaman, secangggih apa pun peradaban, semodern apa pun teknologi, kitab kuning tetaplah kitab kuning yang memberikan cakrawala pengetahuan kepada para santri. Al- Muhafazatu ‘ala al-Qodimu ash-Shalih wa al-Akhzdu bi al-Jadid al-Ashlah (Memelihara suatu hal yang sudah baik, tetapi pada saat bersamaan juga selalu mengimbangi dengan mengambil hal-hal yang lebih baik). Wallahu’alam bish-showab.