Kisah Sahabat Tuna Netra yang Terlibat Asbabun Alquran

 Kisah Sahabat Tuna Netra yang Terlibat Asbabun Alquran

Membincang Sosok Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum ini istimewa, beliau tuna netra sejak dari lahir. Nama beliau ini “terlibat” dalam sebab turunnya ayat Alquran (asbab) tidak hanya sekali.

Pertama, an-Nisa’ 95

Ayat ini bertutur tentang kewajiban jihad fi sabilillah. Saat Kanjeng Nabi Saw menyampaikan bagian “tidaklah sama derajat orang-orang mukmin yang hanya duduk”, Abdullah berkata kepada beliau Saw: “Wahai Rasulullah, saya ini buta….”

Kiranya, maksud Abdullah ialah ia tak ingin disamakan kedudukannya dengan orang-orang mukmin yang hanya duduk-duduk; bukannya tidak mau bekerja keras, berjuang.

Kanjeng Nabi Saw terdiam oleh ucapan Abdullah beberapa saat, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat terusan pada ayat tadi: “….kecuali orang-orang yang sedang dalam kedaruratan….”

Seketika tenanglah hati Abdullah –sampai akhir ayat dituntaskan.

Mungkin saja ayat tersebut memang telah lengkap panjang begitu, hanya Kanjeng Nabi Saw terputus membacakannya karena tersela oleh ucapan Abdullah. Tetapi, juga bisa jadi, Allah Ta’ala merespons langsung ungkapan Abdullah dengan memberikan pengecualiaan kepada keterbatasan keadaannya (ulid dharar). Aku tak tahu, belum menemukan keterangannya. WaLlahu a’lam bidh shawab.

Surat ‘Abasa Bagian-bagian Awal

Sosok yang dimaksud a’ma (buta) dalam ayat tersebut adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Saat itu ia belum masuk Islam dan sedang dalam proses pencarian/pertanyaan tentang Islam kepada Rasulullah Saw.

Di waktu yang sama, Kanjeng Nabi Saw sedang menghadapi tokoh Quraisy yang mendebat beliau Saw, Walid bin Mughirah. Beliau Saw berfokus meladeni debat Walid. Beliau Saw sangat mendambakan Walid masuk Islam, karena pangaruhnya tentulah akan sangat besar bagi masadepan dakwah Islam.

Di tengah situasi itulah Abdullah berkata dan bertanya kepada Kanjeng Nabi Saw tentang risalah yang disyiarkannya, Islam. Kanjeng Nabi Saw tak langsung meresponsnya, tetap fokus kepada Walid. Lalu turunlah rangkaian ayat ‘Abasa tersebut.

Sejumlah kalangan menyebutkan bahwa surat ‘Abasa itu adalah teguran Allah Ta’ala kepada Kanjeng Nabi Saw karena dipandang “berpaling” dari Abdullah yang tuna netra dengan fokus kepada Walid si tokoh masyarakat.

Saya kurang sreg dengan pandangan ini. Kuyakini, Kanjeng Nabi Saw dalam bimbingan Allah Ta’ala tidaklah wajar ternisbatkan dengan ungkapan-ungkapan, ekspresi-ekspresi, perbuatan-perbuatan miring.

Ayat ini kiranya adalah pembelaan dan pemuliaan Allah Ta’ala kepada Abdullah (dan siapa pun) yang sungguh-sungguh hendak belajar dan memeluk Islam. Walau ia seorang tuna netra, dibanding Walid yang “banyak lipstiknya” walau ia seorang tokoh masyarakat.

Bukankah tentulah Allah Ta’ala tahu isi hati semua manusia, termasuk Abdullah dan Walid? Bahwa ada bagian pengajaranNya kepada Kanjeng Nabi Saw di situ. Tentu saja, wajar saja, yang hikmah abadinya adalah pengajaran kepada umat Islam semuanya kemudian.

Ayat tentang “batas sahur”

Hatta yalijal jamalu di sammil hiyath.… (Ini tak kubicarakan di sini).

Sangat mengesankan adalah pola dan posisi Abdullah yang tampak serupa antara konteks kejadian dlm kedua ayat awal itu. Abdullah diposisikan dlm pola dan posisi “ingin menjadi mukmin yang sejati”, baik dalam konteks pertama (‘Abasa) dan perihal jihad dalam konteks lainnya (an-Nisa’).

Tentulah, beliau adalah sosok mukmin yang luar biasa, apalagi sampai-sampai Allah Ta’ala mengabadikannya….

Wallahu a’lam bish shawab.

Edi AH Iyubenu

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *