Kisah Kesabaran Seorang Sufi Ibrahim bin Adham
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ketika seorang hamba Allah mencapai ketakwaan yang tinggi, jabatan, semua harta dan kekuasaan yang dimiliki sudah tidak ada artinya lagi baginya.
Hal paling utama bagi mereka adalah Al-Haq. Menemukan hakikat hidup yang sebenarnya adalah yang mereka cari. Semua hal yang berbau duniawi dianggap semu belaka.
Adalah Syeikh Ibrahim bin Adham yang terjun ke jalan tasawuf dengan meninggalkan jabatan sebagai raja di Balkh, Iran.
Kekuasaan dan kekayaan beliau tinggalkan demi menemukan Al-Haq yang selalu beliau rindukan.
Pada suatu hari terjadi peristiwa memilukan yang menimpa Syeikh Ibrahim bin Adham di gurun pasir yang lapang.
Dalam sebuah perjalanan, Syeikh Ibrahim bin Adham mendadak dihampiri seorang prajurit berwatak kasar.
“Di mana kampung yang paling damai?” tanya prajurit itu kepada Syeikh Ibrahim bin Adham.
Syeikh Ibrahim bin Adham menjawab dengan isyarat telunjuk yang mengarah ke lokasi pemakaman.
“Kau menghina seorang prajurit?!” kata prajurit itu marah.
Tidak puas dengan jawaban Syeikh Ibrahim bin Adham, si prajurit pun memukulkan kepalan tangannya tepat ke arah kepala Syeikh Ibrahim bin Adham. Beberapa kali memukul Syeikh Ibrahim bin Adham, seseorang melerai.
“Apa yang kau lakukan kepada Syeikh Ibrahim bin Adham, wabai prajurit bodob?!” kata orang yang melerai itu.
“Ha?!” kata prajurit itu kaget. “Apakah benar engkau Syeikh Ibrahim bin Adham dari Khurasan?”
Aku hanya orang yang bina dari Khurasan, wabai prajurit yang gagah,” Syeikh Ibrahim bin Adham pun menjawab.
“Maafkan kekhilafan saya, wahai Syeikh Ibrahim bin Adham,” kata prajurit itu. “Maafkan saya.”
“Saat engkau memukulku,” kata Syeikh Ibrahim bin Adham. “Aku berdoa kepada Allah Subhanahu wa taala agar memasukanmu ke dalam surga.”
“Mengapa begitu, wahai Syeikh Ibrahim bin Adbam?” tanya prajurit heran.
“Aku tahu,” kata Syeikh Ibrahim bin Adham.
“Aku akan memperoleh pahala karena pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku menjadi baik dengan kerugianmu dan perhitungan amalmu menjadi buruk karena diriku.”
Sungguh bergetar tubuh prajurit itu mendengar jawaban sang syeikh.
Ibrahim bin Adham yang penuh kasih itu. Ia tidak pernah menemui orang yang akhlaknya begitu baik sehingga mampu melelehkan hati batunya.
Cara Syeikh Ibrahim bin Adham menasihati dan ketulusannya menerima risiko menyadarkannya untuk lebih serius dalam mencari kebenaran.
“Subhanallah!” kata prajurit itu. “Sungguh saya merasa hina sekali. saya telah berbuat jahat kepadamu, tetapi engkau mendoakanku masuk surga.”
Sejak peristiwa itu, prajurit itu mulai membenahi wataknya yang kasar. Ia menjadi prajurit yang lembut dan penuh kasih sayang.
Pelajaran yang diajarkan oleh Syeikh Ibrahim bin Adham diamalkan olehnya sehingga ia menjadi pribadi yang dihormati. []