Kentongan, Bedug Masjid dan Strategi Dakwah Kebudayaan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di banyak masjid kita menjumpai kentongan dan bedug. Benda yang ditabuh sebelum adzan dikumandangkan.
Bahkan di momen tertentu, bedug bisa dimaknai oleh sebagian masyarakat muslim sebagai penanda waktu berbuka di bulan Ramadhan.
Maka dari itu, beberapa pemerhati kebudayaan menilai bedug sebagai strategi dakwah berislam yang unik dan khas dari para wali terdahulu.
Agus Sunyoto dalam karya monumentalnya Atlas Wali Songo (2012) memberikan penuturan lengkap terkait bedug.
Menurutnya, bedug merupakan salah satu tambur tengara untuk penganut Kapitayan.
Saat Islam mulai merangsek masuk ke jantung peradaban Jawa, bedug tidak lantas dimusnahkan.
Bedug malah dimanfaatkan sebagai penanda waktu beribadah umat Islam.
Bedug dan Kentongan, Kontribusi Sunan Kalijaga
Bagi Agus Sunyoto, tindakan ini dilakukan pertama kali oleh Sunan Kalijaga. Wali yang memiliki kontribusi cukup signifikan dalam menegosiasikan antara kebudayan setempat dengan syariat Islam.
Melalui strategi tersebut, Sunan Kalijaga menilai Islam akan lebih mudah diterima oleh masyarakat yang masih awam.
Ceritanya dimulai dari Sunan Kalijaga yang memerintahkan Sunan Pandanarang untuk membuat bedug dan kentongan.
Sunan Pandanarang ini belakangan kita kenal sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat yang dikebumikan di Klaten, Jawa Tengah.
Akhirnya Sunan Pandanarang pun menunaikan perintah tersebut. Saat kentongan rampung dibuat lantas ditabuh menghasilkan bunyi tong… tong… tong…, bunyi ini oleh Sunan Kalijaga dimaknai secara religius.
Bunyi ‘tong’ ini berarti ‘kotong’ (dalam bahasa Jawa) atau kosong. Artinya, masjidnya masih kosong belum ada yang datang untuk beribadah.
Kemudian ketika bedud sudah selesai dan ditabuh, menghasilkan bunyai deng… deng… deng… Bunyi tersebut dimaknai Sunan Kalijaga sebagai sedeng (dalam bahasa Jawa) atau masih muat.
Maka makna yang dihasilkan, masjidnya masih muat digunakan untuk beribadah bagi umat muslim. Barangkali kita luput tidak tahu makna bunyi dari kentongan dan bedug.
Bunyi yang terdengar lumrah dan biasa saja, ternyata memiliki makna transendetal sebagai seruan bagi sekian umat muslim untuk bermunajah pada-Nya.
Bedug dan Kentongan di Masa Kolonial
Dalam perjalanannya, bunyi kentongan dan bedug mengalami produksi makna sesuai konteks zamannya.
Bunyinya tidak lagi hanya sebagai seruan untuk beribadah pada-Nya.
Tetapi bunyi yang dihasilkan juga turut mewarnai kehidupan masyarakat dari sisi sosial, budaya, dan keamanan.
Nurudin melalui bukunya Sistem Komunikasi Indonesia (2007) mencatat setidaknya ada tiga peran kentongan dan bedug di masa setelah eranya Walisongo.
Kita bisa menduga catatan ini terjadi saat kolonial atau penjajah datang di negeri ini.
Karena di masa itu, alat komunikasi yang mampu menggerakkan massa dalam jumlah besar, bisa dilakukan salah satunya dengan bunyi kentongan dan bedug.
Pertama, kentongan dan bedug yang ditabuh terus-menerus. Masyarakat kita di masa silam mengenalnya dengan doro muluk.
Bunyi yang dihasilkan dari kentongan dan bedug ini menandakan akan terjadi bahaya besar; kebakaran, pembunuhan, bencana alam, dan lain-lain.
Selanjutnya bunyi kentongan dan bedug yang ditabuh loro-loro (dua-dua). Bunyi ini menandakan ada peristiwa pencurian di saat itu.
Mereka yang mendengarnya memiliki dua pilihan; melindungi barang berharga miliknya di dalam rumah atau turut terlibat menangkap pencuri.
Keduanya ini saya rasa selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.
Terakhir bunyi kentongan dan bedug yang ditabuh telu-telu (tiga-tiga). Bunyi ini mewartakan bahwa di daerah tersebut, ada orang yang meninggal.
Mereka yang mendengarkan akan ikut melayat, menyolati, sekaligus mengantarkan ke pemakaman.
Terlepas dari makna tambahan yang dihasilkan kentongan dan bedug ini, saya rasa alat penyeru peribadatan umat Islam di masa silam masih relevan untuk digunakan.
Sebab kentongan dan bedug tidak hanya sebagai produk penerimaan Islam terhadap budaya setempat.
Tetapi lebih dari itu, kentongan dan bedug juga jadi simbol penghargaan dalam konteks kebhinekaan, pluralisme, dan tentu saja toleransi. []