Kalamullah Keluar Dari Mana? (Bagian 2)

 Kalamullah Keluar Dari Mana? (Bagian 2)

Jalan Menuju Saintis Al-Qur’an

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Berikut ini adalah tulisan lanjutan dari Abdul Wahab Ahmad mengenai Kalamullah Keluar Dari Mana? 
Para Taymiyun gigih sekali menentang dan menyesatkan akidah Aswaja tetapi tidak paham betul akidah Aswaja itu bagaimana sehingga tanpa sadar mereka kerap mengutip pendapat ulama Aswaja untuk menyalahkan ajaran Aswaja sendiri. Ini blunder khas mereka.
Jadi, ada beberapa poin yang harus diketahui tentang ini, pada tulisan bagian 1 telah dipaparkan dua poin, berikut ini poin-poin lanjutannya:
3. Meskipun suara yang didengar telinga adalah makhluk, tetapi apabila suara itu berisi pesan kalamullah, maka dalam kebiasaan Aswaja suara itu juga disebut sebagai kalamullah.
Ayat at-Taubah: 6 adalah salah satu dalil yang memperkuat kebiasaan menyebut suara berisi pesan kalamullah sebagai kalamullah itu sendiri.
Akan tetapi, dilarang keras mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk sebab ini membuat orang salah paham seolah sifat kalam yang qadim adalah makhluk juga. Jadi, istilah kalamullah sendiri musytarak atau dipakai untuk dua hal yang berbeda, yakni untuk hakikat sifat Allah yang qadim dan untuk hakikat suara yang didengar oleh telinga manusia yang tentu saja tidak qadim (makhluk).
4. Hasyawiyah (Hanabilah garis bengkok) menolak nalar sehat perincian ini. Mereka bersikukuh mengatakan bahwa suara Allah adalah suara dalam arti yang biasa kita kenal (sebagai gelombang getar) yang keluar dari Allah, mempunyai awal mula dan akhiran, tapi juga qodim dan bukan makhluk.
Karena saking absurdnya, para ulama Aswaja menyebut mereka Hasyawiyah (orang pinggiran yang tidak perlu dihiraukan).
Mana ada sesuatu yang jelas-jelas punya awalan lalu disebut qadim (tak berawal)? Wahabi yang ada sekarang banyak sekali yang masuk kategori Hasyawiyah sehingga selalu menabrak akal sehat.
5. Syaikh Ibnu Taymiyah dan para Taymiyun garis keras melangkah lebih jauh dari sekedar Hasyawiyah.
Sering saya bahas bahwa dia adalah seorang mujassim yang meyakini Allah adalah wujud berukuran fisik besar yang mempunyai sisi-sisi tubuh yang beragam, memiliki berat badan yang membuat Arasy merintih, punya arah fisik, batasan fisikal dan tentu saja punya organ-organ dengan fungsi tertentu semisal memegang, melihat, mendengar dan bersuara.
Buku saya yang berjudul “Kerancuan Akidah Wahabi” sudah mengulas lengkap akidah mereka dari sumber-sumber primer yang otentik. Pertanyaan jebakan saya di atas dibuat hanya agar Taymiyun yang bertaqiyyah mau membuka topengnya. Mereka yang cerdas tidak mau menjawab pertanyaan itu sebab paham konsekuensinya.
6. Akidah tajsim para Taymiyun tentu sangat berbeda dengan akidah Syaikh Ibnu Qudamah yang jelas-jelas mengatakan bahwa dia hanya mengimani teks ayat atau hadis saja (mujarrad al-alfadz) tapi sama sekali tidak memaknai atau menafsirkan apa pun terkait sifat Allah.
Ingat, sifat Allah bukan jisim Allah. Adapun Taymiyun bukan hanya mengimani teksnya, tapi malah menafsirkan dan memaknainya sehingga berbenturan dengan akal sehat dan jatuh pada tajsim.
Jadi, pertanyaan yang saya ajukan pada para mujassim Taymiyun di atas tidak dapat dipatahkan dengan pernyataan Ibnu Qudamah tersebut, malah tidak nyambung.
Sebagai catatan yang selalu saya ulang, teks hadis tentang suara dianggap sahih oleh ulama yang menetapkannya sedangkan bagi ulama yang menolaknya dianggap lemah. Ini khilafiyah yang lumrah terjadi dalam bidang hadis. Tak bisa ada yang dibilang sesat sebab berbeda pendapat soal derajat hadis.
7. Kalau Abu Usaid atau Taymiyun lainnya mau mengikuti pendapat Ibnu Qudamah yang notabene juga sama dengan pendapat Maturidiyah dan sebagian Asy’ariyah, maka dipersilakan saja bahkan bagus. Tetapi harus konsisten di situ dan jangan sampai melampaui batas hingga menjadi Hasyawiyah atau Mujassimah.
Jika konsisten, maka mereka akan mentafwidh kata “suara” atau mentakwilnya dan tidak akan memaknainya dengan makna yang dikenal sebagai gelombang suara yang berasal dari getaran jisim. Sebagai informasi bahwa Ibnu Qudamah rahimahullah dalam beberapa detail terkena wahm (salah paham) tentang ajaran Asy’ariyah sehingga mengutuk keras Asy’ariyah.
Ini tidak menjadikan Asy’ariyah salah sebab kritik itu hanya muncul dari kesalahpahaman belaka.
Ulama Asy’ariyah pun tidak pernah ambil pusing dengan kritik wahm seperti itu dan tidak juga baper hingga menyesatkan balik Ibnu Qudamah atau membuang waktu membantahnya secara khusus di kitab-kitab mereka. Kapan-kapan saja saya bahas soal ini.
8. Bila menolak untuk memahami “suara Allah” dengan tafwidh dan takwil, maka akan jatuh pada dua konsekuensi yang sama-sama pahit bagi para Taymiyun: (1) Jatuh pada tajsim yang disepakati sebagai kesesatan. (2) Jatuh pada kesimpulan bahwa kalamullah tidak qadim (alias makhluq) sebab suara jelas-jelas tidak qadim. Silakan dipilih yang mana.
Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *