Kalamullah Keluar Dari Mana? (Bagian 1)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seperti pada postingan tangkapan layar terlampir, saya pernah memberikan pertanyaan jebakan pada seorang peternak akun Taymiy (pengikut Ibnu Taymiyah) tentang kalamullah yang dia yakini berupa suara dalam arti gelombang getar yang berupa bunyi itu.
Pertanyaannya: “Kalau memang Allah bersuara, lalu suaranya keluar dari mana?”
Dan benar, lawan diskusi saya tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu sebab akan jatuh pada kontradiksi pahit. Namanya saja pertanyaan jebakan; dijawab salah, tidak dijawab pun juga salah.
Saya sengaja menulis status itu dan bilang tak ada yang dapat menjawab agar ada Taymiyun yang terjebak. Seperti biasa, jebakan saya selalu berhasil.
Jadi, sebenarnya bukan soalnya tidak bisa dijawab sebab saya pun tahu apa jawabannya, tapi kalau dijawab dengan benar, maka mazhab sesatnya Taymiyun akan terbongkar atau runtuh dan itulah tujuan saya.
Salah yang terjebak dalam pertanyaan sederhana ini adalah akun atas nama Abu Usaid yang jawabannya akan kita bahas sekarang.
Karena menurut saya bahasanya sopan, maka saya mengapresiasinya dengan jawaban dalam status khusus.
Dia berupaya membenturkan saya dengan Syaikh Ibnu Qudamah rahimahullah yang menurutnya telah menjawab dengan baik pertanyaan saya sejak lama. Syaikh Ibnu Qudamah menjawab pertanyaan itu dalam tiga poin yang intinya sebagai berikut:
(1) Huruf dan suara tidak mesti keluar dari jisim.
(2) Sifat-sifat Allah yang lain ditetapkan tanpa jisim, maka suara dan huruf juga bisa ditetapkan tanpa harus menetapkan jisim yang menjadi instrumen suara itu.
(3). Allah dapat membuat makhluk berkalam tanpa suara
Dengan demikian, maka dalam perspektif Syaikh Ibnu Qudamah, Allah berkalam dengan suara tetapi itu bukan berarti suaranya keluar dari jisim sehingga jangan diartikan bahwa orang yang menetapkan suara berarti menetapkan kejisiman Allah. Kutipan lengkap perkataan dan argumen Ibnu Qudamah dapat dilihat di SS.
Berikut ini komentar yang saya berikan:
Jawaban Syaikh Ibnu Qudamah itu benar. Dia adalah salah satu pengikut Imam Ahmad garis lurus yang berarti akidahnya sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah, tidak seperti Taymiyun yang melenceng dari akidah Imam Ahmad meskipun tidak mengaku.
Yang tidak diketahui oleh Abu Usaid dan Taymiyun lainnya adalah jawaban seperti itu memang salah satu jawaban standar para ulama Aswaja (Asy’ariyah-Maturidiyah).
Silakan dicek kitab-kitab standar Maturidiyah untuk mengonfirmasi ucapan saya ini.
Para Taymiyun gigih sekali menentang dan menyesatkan akidah Aswaja tetapi tidak paham betul akidah Aswaja itu bagaimana sehingga tanpa sadar mereka kerap mengutip pendapat ulama Aswaja untuk menyalahkan ajaran Aswaja sendiri. Ini blunder khas mereka.
Jadi, ada beberapa poin yang harus diketahui tentang ini:
1. Apa yang diyakini oleh Ibnu Qudamah itu adalah ajaran Maturidiyah dan sebagian Asy’ariyah.
Mereka meyakini bahwa kalamullah itu selain berupa sifat yang qadim melekat pada Allah (berupa kalam nafsi) juga berupa suara dan huruf yang disampaikan pada manusia.
Dan mereka juga sepakat bahwa Allah bukan jisim sehingga tidak mempunyai organ yang bergetar memproduksi gelombang getar bernama suara itu.
Sekali lagi, ini adalah salah satu pendapat Aswaja selain pendapat mayoritas Asy’ariyah yang menyatakan bahwa Allah berkalam tanpa suara dan huruf.
Jadi, memang ada ulama Aswaja yang menetapkan suara, seperti Imam Ahmad, tetapi tetap dalam pemahaman Allah bukan jisim tidak seperti Ibnu Taymiyah yang menetapkan kejisiman Allah. Poin penetapan suara ini adalah salah satu tema perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Namun sebagaimana maklum, keduanya adalah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga mau ikut yang mana pun terserah.
2. Suara yang ditetapkan di sini karena tidak keluar dari jisim maka otomatis bukanlah suara yang berasal dari getaran jisim atau organ penghasil suara.
Lalu keluar dari mana? Tidak keluar dari mana-mana, tapi diciptakan. Ya, suara dalam arti gelombang getar yang didengar gendang suara manusia adalah suara yang diciptakan alias makhluk.
Ia tidak qadim tetapi jelas-jelas hadits alias punya awal mula.
Dengan demikian, suara ini bukan sifat Allah tetapi sesuatu yang diciptakan oleh Allah sebagai media untuk menyampaikan kalam-Nya pada manusia.
Sifat Allah seluruhnya qadim tanpa awal mula, sedangkan suara yang didengar telinga tentu saja tidak ada yang qadim sebab ia punya awal mula. Tidak ada yang mengingkari ini kecuali orang-orang yang logikanya sakit. Bersambung ke Bagian 2