Islam, Peradaban Pusat dan Peradaban Pinggiran

 Islam, Peradaban Pusat dan Peradaban Pinggiran

Kisah Malik bin Dinar dan Tetangganya yang Ugal-ugalan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Islam lahir serta berkembang di Mekkah dan Madinah atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Hijaz.

Pada masa Nabi, dua wilayah utama inilah yang menjadi basis prototype Islam yang menjadi acuan bagi umat Islam pada zaman setelahnya dan di luar daerah tersebut.

Daerah ini, ketika memasuki era modern termasuk dalam wilayah Arab Saudi.

Untuk jangka yang sangat lama, predikat Hijaz sebagai wilayah kelahiran Islam telah menarik umat lsam di berbagai kawasan untuk berkunjung dan belajar Islam secara langsung ke sana.

Akan tetapi Hijaz bukanlah satu-satunya destinasi belajar umat Islam, ada pula Yaman, Mesir, Irak, Iran, Maroko hingga Turki yang menjadi langganan para pengembara ilmu.

Negara-negara tersebut terhimpun dalam sebuah kawasan yang jamak disebut sebagai Timur Tengah.

Peranan Timur Tengah sebagai jantung peradaban Islam selama berabad-abad tidak bisa diragukan lagi.

Dari mulai zaman nabi, sahabat, hingga kekhilafahan, konsentrasi pemerintahan dan studi ilmu keIislaman berada di sana.

Memasuki abad modern, di mana tatanan pemerintahan sudah tidak lagi secara populer menggunakan sistem monarki, Timur Tengah kehilangan maknanya sebagai pusat Islam.

Hal ini secara politis ditandai oleh runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani pasca Perang Dunia I (1924).

Sejak masa itu, di tengah-tengah tren kolonialisme Barat yang belum sepenuhnya usai, Turki Utsmani yang mengalami kekalahan harus rela wilayah kekuasaanya terbagi-bagi (melalui perjanjian Sykes-Picot 1916) menjadi sesuai dengan selera dan kesepakatan negara-negara pemenang Perang Dunia I (Prancis, Britania Raya dan Rusia).

Pasca itu, tatanan dunia berubah, terutama sekali di dunia muslim. Tidak ada lagi otoritas tunggal.

Mustafa Kemal Ataturk lebih memilih mendeklarasikan Republik Turki (1923), meninggalkan model monarki Utsmani. Arab Saudi mendeklarasikan diri sebagai negara monarki (1932) yang lepas dari pertalian pemerintahan mana pun.

Selanjutya, secara bertahap, diikuti oleh negara-negara lain di wilayah Timur Tengah, meskipun harus berurusan terlebih dulu dengan negara-negara koloni.

Dari situ, pengalaman Timur Tengah dalam mengorganisasikan masyarakatnya ke dalam bentuk negara bangsa dimulai.

Dua dekade setelahnya, di kawasan Asia Tenggara, berdiri sebuah negara bernama Indonesia (1945).

Umat Islam Indonesia atau sebelumnya dikenal sebagai nusantara sudah sejak lama memiliki tradisi berziarah ke tanah suci untuk berhaji, ziarah kubur dan sekaligus menuntut ilmu.

Banyak ulama Hijaz yang memiliki murid di nusantara. Bahkan beberapa ulama di antaranya lahir dan berasal dari nusantara seperti Imam Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz at Tarmasi.

Kondisi inilah yang memungkinkan hubungan kehidupan sosial dan keagamaan umat Islam Timur Tengah dan Nusantara tidak pernah putus.

Timur Tengah sebagai pusat yang menyediakan sumber dan Islam nusantara sebagai pinggiran (periferal) yang memerlukan referensi.

Pertanyaannya kemudian, apakah pola pusat-pinggiran itu masih berlaku saat ini?

Apakah Islam Timur Tengah otomatis lebih baik dari pada Islam di Nusantara?

Dalam hal ini, menarik untuk mengutip kesaksian KH Zulfa Musthafa Wakil Ketua Umum PBNU dalam sambutannya melantik PCNU se-NTB.

Disiarkan dalam Channel Youtube TVNU (26/02/22), KH Zulfa bercerita mengenai pengakuan yang pernah disampaikan oleh utusan Grand Syaikh al-Azhar, Ayhmed at-Thayyeb kepada KH Ma’ruf Amin Wakil Presiden RI 2019-2024. Mereka berkata:

“Bapak Wapres, bapak kyai, sekarang ini bukan zamannya orang Indonesia belajar lagi Islam dari Timur Tengah atau merasa kecil dan minder sama ulama Timur Tengah. Tidak.

Justru sebaliknya, sekarang ini zamannya kami dari Timur Tengah yang belajar dari Indonesia. Kenapa begitu?

Karena kami melihat justru Indonesia inilah negara yang sudah mengajarkan dan mengamalkan hidup toleran, berdampingan dan penuh kasih sayang kepada masyarakat yang berbeda dengan mereka”.

Pengakuan tersebut cukup beralasan mengingat keunggulan Indonesia dilihat dari beberapa hal.

Pertama keanekaragaman sosial budaya yang dimilikinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia terbentuk oleh lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku bangsa, 300 etnik, dan 718 bahasa daerah.

Pengalaman ini tidak bisa dirasakan oleh masyarakat Timur Tengah yang cenderung homogen.

Maka tidak heran jika ada adagium “jika Timur Tengah terdiri dari berbagai negara dalam satu bangsa, maka Indonesia terdiri dari berbagai bangsa dalam satu negara”.

Kedua institusi pendidikan Islamnya, yakni pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.

Menurut data Kementerian Agama, Indonesia memiliki 26.975 pesantren.

Dalam sejarahnya, iatidak hanya berfungsi sebagai tempat transmisi pengetahuan, namun sekaligus pembinaan karakter santrinya.

Lulusannya tidak hanya cakap dari segi keilmuan, namun juga kecakapan perilaku yang diperlukan dalam mengemban dakwah di kemudian hari.

Kemudian Madrasah yang menggabungkan kurikulum ilmu agama dan sains.

Di sana agama dan kemajuan teknologi tidak saling menafikan, justru saling menguatkan, sehingga definisi ulama menjadi lebih cair.

Ulama bukan hanya profesi yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan, namun praktik sosial yang lebih beragam.

Di samping itu terdapat berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dari mulai Ma’had ‘Aly, Sekolah Tinggi hingga Universitas.

Sebagaimana Madrasah, Perguruan Tinggi Islam berada di bawah Kementerian Agama. Ia juga tidak melulu tentang kurikulum agama.

Ada banyak keilmuan non agama yang dipelajari di sana, sehingga pendekatan yang digunakan bersifat multi disiplin. Tenaga pengajar pun beragam.

Tidak hanya lulusan Timur Tengah dan dalam negeri, banyak dosen di lingkungan perguruan tinggi Islam melanjutkan studi ke Barat (Amerika, Eropa, dan Australia). Hal ini memungkinkan perjumpaan Islam dan Barat yang kerap mengalami ketegangan dapat diatasi melalui aktivitas akademik.

Bagaimana Islam melihat Barat dan Barat melihat Islam dapat secara fair dibicarakan dalam lingkup akademik.

Berakar dari sistem pendidikan semacam inilah, masyarakat Indonesia pada akhirnya memiliki tradisi otokritik (dan bukannya apologetik) terhadap problem keberislaman yang sedang terjadi.

Ketiga sistem pemerintahan yang relatif demokratis baik secara prosedural maupun praktik.

Meskipun cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai, namun dalam banyak hal Indonesia sedikit lebih maju dari pada negara-negara di Timur Tengah.

Indonesia sukses menggelar empat kali pemilihan presiden secara langsung tanpa menimbulkan perpecahan yang berarti.

Meskipun polarisasi dan gugatan terhadap hasil pemilu kerap terjadi, namun secara umum masyarakat Indonesia dapat menerima hasil apapun yang diputuskan penyelenggara pemilu.

Ini pembelajaran demokrasi paling penting untuk Timur Tengah saat ini. Banyak kasus penyelesaian politik akibat Arab Spring mengalami kebuntuan ketika memasuki tahapan suksesi kepemimpinan nasional.

Keempat organisasi masyarakat yang berorientasi pada kolaborasi, harmoni sosial, kemajuan dan pembaharuan.

Masyarakat Indonesia punya tradisi komunal dengan cara membentuk organisasi masyarakat (Ormas) agar sebuah visi bersama dapat dicapai secara swadaya.

Dua Ormas besar yang kerap dibicarakan adalah NU dan Muhammadiyah. Keduanya lahir sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara bangsa dan peranannya bagi tatanan sosial Indonesia tidak diragukan lagi.

Mereka tidak hanya berfokus pada kerja ideologis yang ekslusif dan berorientasi ke dalam, namun juga pada pelayanan sosial dan filantropi.

Model seperti inilah yang jarang atau sulit ditemukan di Timur Tengah. Ada banyak organisasi dan partai di sana, tetapi kurang berperan dalam merekatkan tatanan sosial.

Alih-alih malah terlibat secara aktif dalam berbagai episode konflik dan perpecahan.

Demikian gambaran dunia Islam hari ini. Islam boleh lahir, berkembang dan berjaya lama di Timur Tengah.

Akan tetapi, memasuki era modern, di mana model pemerintahan Islam tidak lagi disematkan hanya pada satu negara atau institusi, maka kemungkinan untuk memusatkan peradaban Islam di satu titik menjadi sulit terjadi.

Pada titik inilah, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dapat mengambil peranannya secara maksimal. []

Uu Akhyarudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *