Haedar Nashir: Wasathiyah Islam Harus Jadi Komitmen Kolektif

 Haedar Nashir: Wasathiyah Islam Harus Jadi Komitmen Kolektif

Ilustrasi/Hidayatuna

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Menanggapi dinamika keberagama-an di tanah saat ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir bersuara. Haedar mengatakan bahwa wasathiyah Islam harus menjadi komitmen kolektif. Pasalnya, kata dia, masalah persatuan dan keutuhan bangsa disebut sebagai hal yang serius.

Karena itu, lanjut Haedar, wasathiyah Islam dinilai relevan untuk direnungkan dan harus dijadikan sebagai komitmen bersama dalam merawat kebersamaan sebagai umat dan bangsa.

“Saat ini terdapat fenomena. Dimana perbedaan paham politik dan perbedaan kepentingan di tubuh bangsa dan tubuh umat Islam yang cenderung dipertajam dan di buka ruang perbedaan. Serta tidak dicari titik temu dan tasamuh, tetapi malah mempertajam perbedaan,” ungkap Haedar Nashir. Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, Jumat (5/2/2021).

Haedar pun mejelaskan. Pada dasarnya Indonesia sebagai sebuah tanah air, bangsa, dan negara lahir dalam proses sejarah dan sosiologis yang panjang.

Di dalamnya penuh dengan dinamika. Tidak hanya itu, dalam sejarahnya Indonesia dibangun dengan karakter kuat kehidupan yang moderat.

“Mengapa penting moderasi? Pertama karena radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Sebagaimana dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme,” jelas Haedar.

Menurutnya, masalah moderasi telah dipilih untuk melawan masalah mendesak saat ini, yaitu ekstremisme. Haedar menilai hal itu sangat penting.

“Karena saat ini, agama dan tradisi telah dituduh sebagai tuan rumah ide ekstremisme dan bertanggung jawab karena menanamkan ‘idenya kepada para pengikut ekstremis,” ujarnya.

Kedua, Moderasi Indonesia merupakan kontinyuitas dari akar masyarakat yang berwatak moderat dan telah mengambil konsensus nasional. Khususnya dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai titik temu dari segala arus keindonesiaan.

“Titik temu merupakan bentuk moderasi dari keragaman. Satu sama lain saling berkorban atau berbagai dan peduli. Di dalamnya terdapat toleransi, akomodasi, kerjasama, dan membangun koeksistensi sebagai Bhineka Tunggal Ika,” tegasnya.

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *