Fatherless dan Budaya Patriarki yang Tak Pernah Kunjung Usai

 Fatherless dan Budaya Patriarki yang Tak Pernah Kunjung Usai

Fatherless dan Budaya Patriarki yang Tak Pernah Kunjung Usai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Istilah fatherless pertama kali penulis dengar setelah melihat postingan Kalis Mardiasih di feed instagramnya yang sedikit menyinggung fenomena tersebut di Indonesia.

Mungkin bagi sebagian orang istilah fatherless jarang didengar karna pada umumnya masyarakat lebih mengenal istilah single mother/father dan broken home.

Mengutip antaranews.com, Retno Listyarti (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengatakan,

Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayat tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan.”

Akhir-akhir ini istilah fatherless kembali menjadi perbincangan publik, pasalnya Indonesia menjadi negara fatherless nomor tiga dunia.

Melansir dari theasianparent.com fenomena fatherless ini muncul karena hilangnya peran ayah dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak.

Perlu penulis ingatkan bahwa hilangnya figur ayah disini bukan dalam bentuk biologis, namun dalam artian fungsi atau peran seorang ayah dalam mendidik anak yang tidak maksimal.

Dalam mendidik anak, kedua orang tua mempunyai peran penting. Masing-masing menduduki fungsinya sendiri-sendiri.

Namun, Fakta sosialnya adalah masyarakat masih banyak terpengaruh oleh budaya patriarki yang telah mengakar sejak lama.

Fatherless dalam Belenggu Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang melekat di masyarakat telah membentuk sebuah stigma permanen dalam rumah tangga.

Perempuan (istri) yang baik dalam masyarakat digambarkan sebagai perempuan yang penurut, lemah lembut dan tidak suka membantah.

Pada akhirnya gambaran perempuan ideal tersebut seringkali membuat perempuan tidak mendapatkan kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkan.

Mungkin kita sering mendengar bahwa tugas perempuan dalam rumah tangga hanya sebatas pada dapur, sumur, dan kasur.

Jika dalam masyarakat jawa istilah tersebut dikenal dengan 3M (macak, manak dan masak).

Ketiga istilah ini telah menjadi praktik sosial yang telah mentradisi hingga pada akhirnya membatasi kegiatan perempuan dan meletakkan posisinya pada ranah domestik rumah tangga saja, yang mana salah satu dari tugasnya adalah merawat, membesarkan dan mendidik anak.

Berangkat dari fakta sosial tersebut menandakan bahwa budaya patriarki yang telah melekat pada masyarakat menjadi salah satu penyebab munculnya keadaan fatherless pada anak.

Lemahnya peran perempuan di ruang publik mengakibatkan semua kegiatan di luar rumah menjadi terbatas dan akhirnya diambil alih oleh suami.

Selama ini budaya patriarki telah mendoktrin masyarakat bahwa peran perempuan (ibu) dan laki-laki (ayah) dalam rumah tangga menjadi dikotomis.

Tugas perempuan (ibu) hanya berkutat perihal persoalan membereskan rumah, mengurus anak, melayani suami dan mengurus hal-hal yang bersifat domestik lainnya.

Sedangkan laki-laki (ayah) bertugas untuk mencari nafkah di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara finansial.

Akibatnya, tanggung jawab finansial yang dibebankan kepada laki-laki (ayah) seringkali menjadi penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam menemani perkembangan anak.

Tanggung jawab ayah di ruang publik membuatnya tidak memiliki waktu yang cukup untuk bersama-sama dengan anak-anak, mengikuti perkembangan dan mendidik mereka.

Adanya peran yang dikotomis antara laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) dalam rumah tangga mengakibatkan kurangnya perhatian pada anak secara utuh.

Anak yang berada dalam pengawasan, pengajaran dan pendidikan yang dilakukan oleh ibu secara perlahan akan merasa kehilangan sosok “ayah” secara fungsional karena kurang mendapatkan pendampingan dan pengajaran dari sosok ayah.

Secara fungsional, idealnya laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) mempunyai tugas dan mengambil peran yang saling melengkapi dalam rumah tangga termasuk merawat dan mendidik anak.

Jika terjadi kepincangan dalam mendidik anak maka akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. oleh karena itu mendidikan anak tidak hanya diserahkan kepada perempuan (ibu) saja melainkan laki-laki (ayah) harus ikut andil dalam proses tersebut.

Mengapa demikian dan seberapa penting peran ayah dalam pertumbuhan anak?

Pentingnya Peran Ayah bagi Anak

Sebagai kepala keluarga pada hakikatnya laki-laki tidak hanya bertugas mencari nafkah semata.

Namun, ada hal lain yang harus diperhatikan yaitu mendidik anak, selain itu laki-laki (ayah) juga harus ikut terlibat dalam proses mengasuh anak karena peran ayah dalam akan mempengaruhi perkembangan anak.

Sebagaimana menurut septiani dan nasution dalam Yemartodillah dkk bahwa keterlibatan ayah dalam mengasuh anak dapat meningkatkan frekuensi, inisiatif, dan pemberdayaan pribadi anak dalam aspek fisik, emosional, sosial, intelektual dan kecerdasan moral.

Dalam struktur keluarga ayah merupakan role model bagi anak-anaknya.

Oleh karena itu ayah harus memberikan contoh yang baik, mengayomi serta membimbing anak-anaknya.

Maka sebagai role model yang baik dalam keluarga ayah harus meningkatkan perannya dalam membina keluarga terutama mendidik anak.

Walaupun tugas utama laki-laki (ayah) adalah menafkahi keluarga namun perlu diingat bahwa disisi lain ada anak yang harus diperhatikan proses tumbuh kembangnya.

Sesibuk apapun ayah di luar rumah setidaknya bisa memberikan waktu luang untuk anak-anaknya.

Hal ini akan membuat anak berpikir bahwa dia tidak pernah kehilangan sosok ayah dalam hidupnya serta tidak menjadi korban fatherless dalam keluarga. Wallahua’lam. []

Khairun Niam

Khairun Niam adalah seorang mahasiswa dan santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta. Dapat disapan melalui Instagram @khn.niam10.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *