DPD RI Usulkan Kembalikan UUD 1945 ke Naskah Aslinya, Muhammadiyah Minta Harus Dikaji Secara Seksama, Terbuka, dan Konstitusional
HIDAYATUNA.COM – Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengadakan pertemuan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta pada Selasa (26/9). Pertemuan ini melibatkan Ketua DPD RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti, dan juga melibatkan diskusi mengenai usulan amandemen UUD 1945 yang akan mengembalikan konstitusi ke naskah aslinya sebelum mengalami empat kali amandemen antara tahun 1999-2002.
Dalam naskah akademik yang dibahas, terdapat lima proposal perubahan yang berkaitan dengan sistem tata negara, dengan yang paling pokok adalah mengembalikan fungsi dan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari lembaga ad hoc menjadi lembaga tertinggi negara.
Ketua DPD RI, LaNyalla, menjelaskan urgensi untuk mengembalikan UUD 1945 ke naskah awal dan menyempurnakannya. Ini disebabkan oleh kekhawatiran akan semakin liberalnya sistem tata negara yang dianggap telah keluar dari jati diri bangsa. DPD RI juga berpendapat bahwa amandemen 1999-2002 telah menciptakan ketidaksetaraan dalam berbagai dimensi, seperti sosial, ekonomi, dan politik, yang semakin liberal dan kapitalistik.
“Alasannya negara kita ini (sedang) menggunakan demokrasi liberal, sedangkan pendiri bangsa kita itu sudah jelas demokrasi Pancasila. Kita ini jangan sampai mengkhianati Pancasila,” jelas LaNyalla.
Sementara itu, Muhammadiyah, yang merupakan unsur utusan golongan, menyambut baik kajian DPD RI mengenai amandemen UUD 1945 pasca reformasi. Namun, Muhammadiyah belum mencapai kesimpulan untuk mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya, meskipun telah melakukan kritik tajam terhadap amandemen tersebut.
Menurut Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, Muhammadiyah setuju dengan kajian DPD RI yang menyatakan adanya kesalahan arah dalam amandemen UUD 1945 pasca reformasi. Amandemen awalnya dimaksudkan untuk membatasi masa jabatan presiden, tetapi akhirnya membawa perubahan signifikan seperti penurunan fungsi MPR dari lembaga tinggi menjadi lembaga ad hoc serta liberalisasi terhadap pasal-pasal HAM dan penghapusan peran negara.
Haedar Nashir mengungkapkan pandangan bahwa sejak tahun 2007, Muhammadiyah telah melakukan berbagai kajian yang menghasilkan tiga buku yang membahas perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menekankan bahwa terdapat kerancuan dalam sistem ketatanegaraan yang muncul setelah reformasi dan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Kerancuan ini mencakup aspek politik, ekonomi, dan budaya, yang pada intinya mengarah kepada proses liberalisasi yang signifikan.
Namun, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah belum memutuskan untuk kembali ke naskah asli UUD 1945. Mereka hanya sejauh ini setuju dengan pemikiran untuk mengembalikan MPR pada posisi tertinggi. Muhammadiyah berpendapat bahwa perihal apakah anggota MPR harus merupakan perwakilan politik, golongan, daerah, atau variasi lainnya, serta apakah pemilihan presiden harus dilakukan oleh MPR atau langsung oleh rakyat, masih perlu menjadi bahan diskusi lebih lanjut.
Haedar menyampaikan pesan penting bahwa Muhammadiyah menyarankan DPD RI untuk melakukan kajian secara seksama, terbuka, dan konstitusional. Ia menekankan bahwa gagasan perubahan konstitusi harus disampaikan secara konstitusional dan melalui dialog dan diskusi antarlembaga. Haedar berpendapat bahwa menjaga proses ini sesuai dengan konstitusi adalah hal yang penting untuk menghindari masalah di masa depan.
“Jadi setiap gagasan perubahan yang menyangkut konstitusi harus tetap secara konstitusional. Dan bahkan kami sarankan terus perluas komunikasi dengan berbagai lembaga karena ini menyangkut hal-hal mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Dalam pertemuan ini, Haedar Nashir didampingi oleh Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, dan pimpinan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah. Sedangkan LaNyalla didampingi oleh Wakil Ketua II DPD RI Mahyudin, Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Ketua Kelompok DPD RI Muhammad Syukur, Pimpinan Komite I DPD RI Habib Abdurrahman Bahasyim, dan Ichsanuddin Noorsy.