Dilema Mengaji Menggunakan Kitab
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Memang seharusnya ngaji itu pakai kitab. Tapi ternyata dalam implementasinya bisa berbagai macam kendala.
Yang paling ideal, jamaahnya sudah bisa bahasa Arab lancar, dan semuanya pegang kitab. Lalu ustadznya perintahkan satu per satu jamaah untuk membaca bergantian.
Yang lain ikut menyimak apa dibaca temannya. Dan begitulah sampai semua jamaah kebagian baca.
Satu lagi yang juga penting, ngajinya harus rutin setiap hari. Setidaknya seminggu dua tiga kali.
Kalau seminggu sekali gimana? Hmm sudah agak lumayan sih meski kurang optimal.
Karena semua sudah bisa bahasa Arab, maka sang ustadz sudah tidak perlu lagi memaknai satu kata satu kata.
Juga tidak perlu lagi meributkan mana mubtada dan mana khabar. Urusan nahwu Sharaf ada jamnya tersendiri di luar kajian.
Yang didiskusikan justru isi dan konten kitab itu sendiri. Dan bila tidak ada masalah yang perlu didiskusikan, baca kitab bersama itu bisa berjalan dengan cepat.
Sepuluh dua puluh halaman bisa selesai dalam hitungan 1 SKS alias 50 menit. Tapi . . .
Pemandangan kayak gitu di alam nyata tentu amat langka. Yang kebanyakan saya saksikan di berbagai kancah majelis taklim justru sebaliknya.
1. Yang pegang kitab cuma ustadznya doang. Jamaahnya pakai tangan kosong alias jiping (ngaji modal nguping).
2. Kalaupun jamaahnya diwajibkan punya kitab, masalah belum selesai. Sebab mereka toh tidak bisa bahasa Arab. Kalau pun bisa baca lancar tapi belum tentu paham makna dan isinya.
3. Dengan demikian, ustadznya terpaksa memaknai tiap kata satu persatu. Dan tehnik kayak gini bikin lama dan kajian tidak selesai-selesai. Tapi apa mau dikata, soalnya jamaahnya juga tidak bisa bahasa Arab.
4. Kadang teks bahasa Arab itu beda tarkib dengan bahasa Indonesia. Maka kudu dijelaskan mana fiil, mana fail dan mana maful. Kalau keasyikan diskusi nahwu maka isi kitab jadi tidak penting.
5. Paling sering ustadznya juga tidak baca kitab secara serius. Cuma dibaca satu paragraf doang, lalu isi pengajian loncat pindah kesana kemari keluar dari isi kitab. Bicara bebas sebebas-bebasnya.
Dalam hal ini, kitab cuma berfungsi sebagai ritual pengajian yang dibaca di awal. Itupun hanya ustadznya yang baca.
Setelah itu diterangkan sesuai selera dan jadinya malah kemana-mana.
Yang lebih parah terkadang ustadznya pun kurang menguasai bidang ilmu yang diwakili oleh kitab tersebut.
Maka isi pembahasannya sudah bisa dipastikan mengambang, tidak ngetan tidak ngulon. Pokoknya ngaji itu cuma yang penting ngalap barokah.
Sebagai contoh sederhana, ngaji pakai kitab Bulughul Maram. Isinya hadits semua, khusus hadits terkait hukum fiqih.
Kalau ustadznya tidak punya latar belakang ilmu fiqih perbandingan mazhab, maka penjelasannya akan menggiring opini jamaah kepada versi mazhab si ustadz.
Sama juga dengan ngaji tafsir ayat hukum. Kesimpulan hukumrnya akan disesuaikan dengan selera fiqih di ustadznya.
Yang ideal memang seharus kitab itu ditulis langsung oleh sang ustadz. Biar dia betul-betul menguasai isinya, karena memang kitab susunannya sendiri.
Tapi ustadz yang bisa nulis kitab berbahasa Arab itu langka, bahkan nihil. Dan kalau pun bisa, sebenarnya agak mubazzir juga.
Buat apa si ustadz menyusun kitab berbahasa Arab? Bukankah jamaahnya sama sekali tidak paham bahasa Arab.
Mendingan juga ditulis pakai bahasa Indonesia. Biar jamaahnya paham ketika baca dan kesulitan apapun.
Dari situlah saya lebih giat menulis buku-buku keislaman, khususnya fiqih, dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan fakultas saya di S-1 Syariah.
Dan sekarang lagi konsentrasi menulis tafsir, sesuai dengan prodi saya di pasca sarjana yaitu Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT).
Biar lebih manfaat, bukan yang penting keren karena ngaji pakai kitab berbahasa Arab. Padahal jatuhnya cuma jiping alias ngaji nguping.
Sambil nulis sambil langsung dipakai buat ngajar tafsir rutin seminggu tiga kali.Memang jadinya kejar tayang, tapi seru. []