Catatan Kritis Pesantren dari Gus Dur
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita mengenal Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai figur yang unik; kontroversial, pemikir Islam yang berani, pengamat sepak bola, dan menjadi presiden dari latar belakang pesantren.
Untuk poin yang terakhir ini, Moeslim Abdurrahman pernah memberi komentar bahwa, Gus Dur itu jualan pesantren.
Komentar itu berangkat dari nasehat Gus Dur kepadanya yang tercatat di dalam buku Gus Dur Santri Par Excellence (2010).
Kata beliau, “Kang kalau kita bertemu dengan orang-orang pintar ilmu sosial, kita jangan ikut terjun dalam ilmu sosial, kita ngomong pesantren dong.”
Nasehat Gus Dur ini bernada mengajaknya berbicara pesantren. Karena di masa Orde Baru, pesantren kurang peroleh pembahasan yang luas.
Pesantren hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menggarap akhlak manusia dan hubungannya dengan Maha Pencipta.
Pesantren diberi jarak untuk tidak dilibatkan atau melibatkan diri dalam isu-isu sosial.
Suara pesantren tidak terdengar. Pun kalau bersuara, terkadang juga tidak dianggap sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan.
Jauh sebelum perjumpaannya dengan Moeslim Abdurrahman, Gus Dur sudah membuat catatan kritis ihwal pemajuan pesantren melalui wawancaranya dengan redaksi Majalah Prisma.
Hasil wawancara itu diolah menjadi artikel Catatan Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis yang terbukukan di dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (2000).
Buku ini belakangan mengalami cetakan ulang di tahun 2010 karena saking banyaknya peminat untuk menelaah pemikiran Gus Dur secara komprehensif.
Berangkat dari pertanyaan untuk siapakah seluruh sistem pendidikan (di) pesantren?
Gus Dur menjawabnya dengan memberi sindiran halus. Bahwa sistem itu memiliki nilai guna pada kalangan pesantren itu sendiri.
Dari sekian santri yang mukim, lantas setengahnya berhasil menjadi ahli agama, maka pesantren itu dinilai berhasil dalam menjalankan sistem pendidikannya.
“Itu sudah merupakan hasil yang maksimal”, kata Gus Dur.
Atau dengan kata lain, upaya memproduksi kalangan elite pesantren dalam konteks pemahamannya dalam ilmu agama telah berhasil.
Konteks Historis Pesantren ala Gus Dur
Hanya saja bagi Gus Dur, capaian tersebut secara samar memang akan membentuk manusia yang cenderung elitis (ahli agama).
Kendati diksi ‘elitis’ itu nantinya juga perlu didefinisikan ulang, jika menilik pada perjalanan pesantren sampai dewasa ini.
Karena pada mulanya, pesantren menjadi pendidikan yang menampung semua lapisan masyarakat yang tidak tertampung dalam dunia pendidikan di Kraton.
Mereka yang tidak berdarah biru, masuk ke pesantren untuk diberi asupan edukasi.
Kraton jadi representasi ruang edukasi golongan elite, sedangkan pesantren berada di sisi sebaliknya, ruang edukasi untuk masyarakat awam.
Maka dari itu, di fase awal kemunculannya, pesantren menambahkan pelajaran umum sebagai bekal mobilisasi ke atas, utamanya dari sisi finansialnya.
Perkembangan selanjutnya, pesantren melembagakan dirinya sebagai ruang untuk mencetak ulama.
Konsekuensinya kemudian, ruang pesantren menjadi lebih sempit lagi. Hal ini karena mereka yang hendak masuk ke pendidikan pesantren, mesti mau untuk berkomitmen kepada Islam sebagai ajaran sekaligus ideologi. Pesantren mulai tampil dengan rupa yang lebih berani.
Kita bisa menduga bahwa fase ini terjadi saat ajaran Islam menjadi alat legitimasi politik di era menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuh puluhan.
Di masa itu, Islam tidak hanya sebagai ajaran. Tetapi Islam menjelma menjadi kekuatan politik yang turut mewarnai perjalanan bangsa ini di usianya yang masih belia.
Bahkan di beberapa tempat, ajarannya dikonkretkan menjadi sekian percobaan untuk membentuk negara tandingan Indonesia yang berlabel Islam.
Pada fase selanjutnya, pesantren berubah wajah menjadi lembaga pendidikan yang menampung sekian ribu anak; tidak masuk di sekolah luar karena di bawah standart, orang tua terkendala biaya, atau anak bercap nakal.
Pesantren membuka pintunya untuk anak-anak siapa saja yang hendak belajar ilmu agama.
“Sepintas kelihatan semua pesantren sama. Di sana ada kyai, santri, dan tempat penampung. Akan tetapi, selebihnya berbeda, seperti sidik jari yang senantiasa berlainan menurut telapak setiap tangan,” ujar Gus Dur.
Konteks historis ini menjadi tanda bahwa pesantren bisa disederhanakan sebagai ruang yang ragam aktivitasnya bernilai pahala sampai membentuk figur yang memahami ajaran Islam secara paripurna.
Pesantren tidak melulu berisi; ngaji Al-Qur’an, membaca-kaji kitab kuning, beribadah, dan bertirakat.
Pesantren juga merupa seturut dengan kondisi zamannya.
Dua Problem Pesantren Menurut Gus Dur
Oleh karena itu, diksi ‘elitis’ yang dialamatkan pada pesantren perlu didefinisikan ulang.
Tetapi terlepas dari itu, bagi Gus Dur ada dua problem yang lebih penting dari sekadar orientasi pendidikan pesantren yang cenderung elitis atau populis.
Problem pertama berkaitan dengan pimpinan di pesantren. Gus Dur mafhum, jika ada banyak pesantren yang memiliki sistem kepemimpinan hierarkis.
Tetapi hal ini tidak terlalu baik bagi perkembangan pesantren, jika ada calon pemimpin yang dinilai memiliki kualifikasi mumpuni tetapi tidak didayagunakan.
Maka dari itu, perlu komunikasi persuasif yang intens agar pesantren bisa berkembang sesuai dengan semangat zaman. Problem selanjutnya tentang pembiayaan pesantren.
Di masa lalu, pesantren dibiayai oleh masyarakat sedangkan sekarang, pesantren cenderung meminta bantuan kepada pemerintah.
Kata Gus Dur,
“Pada hemat saya ini suatu kekeliruan. Kesalahannya bukan pada fakta memintakan bantuan kepada pemerintah, melainkan kesalahan terbesar pihak pesantren ialah pihak pesantren yang tidak mampu menciptakan sikap sosial tertentu, yang memungkinkan atau mendorong masyarakat membiayai pesantren.”
Sebagai penutup, ada pendapat yang saya menarik dari Moeslim Abdurrahman.
Katanya: “(kasarnya) Jualan pesantren di dunia masyarakat politik. Sehingga pesantren ini menarik perhatian di dunia, selain menjadi isu nasional. Pesantren (juga) sering menjadi bahan penelitian orang-orang luar negeri.”
Gus Dur memang berangkat dari kultur pesantren, membacanya dengan jeli, menerjemahkannya dengan bahasa sederhana, dan menarik minat siapa saja untuk menyelami dunia pesantren. Begitu. []