Berbicara Mengenai Mimpi (Bagian 1)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kebanyakan yang namanya mimpi itu sekedar bunga tidur.
Orang bilang mimpi adalah rekayasa alam bawah sadar atas sekian banyak keping memori di otak, lalu tersusun ulang secara liar hingga melahirkan berbagai persepsi baru yang aneh-aneh namun bersifat sementara.
Kadang jadi versi kisah buruk dan ini sering terjadi. Tapi kadang bisa juga jadi versi indah yang mengawang-awang.
Seperti itulah mimpi-mimpi yang datang menghampiri kita dalam tidur.
Nabi SAW pernah menasehati siapa yang pernah mimpi buruk untuk pindah posisi tidur, lalu baca sekian banyak doa.
Asumsinya, setan boleh jadi ikut berperan dalam menyusun skenario jahat yang diangkat dari beberapa keping memori alam bawah sadar kita.
Makanya kita sebelum tidur disunnahkan baca ayat atau doa minta perlindungan dari semua itu.
Yang jelas mimpi buruk itu tetaplah hanya mimpi. Rasa takut kita dipermainkan oleh mimpi buruk.
Kuncinya agar terhindar sebenarnya mudah saja, yaitu jangan pernah risau dengan mimpi buruk itu.
Pokoknya jangan dianggap sama sekali. Lupakan dan tidak usah diingat-ingat, apalagi dihubung-hubungkan dengan ini dan itu.
Soalnya mimpi kita kita ini lebih banyak hoaksnya, bunga tidur yang tidak ada faedahnya. Buat apa juga dipikirin.
Lain halnya dengan mimpi para nabi dan rasul, kebanyakannya bagian dari wahyu samawi.
Ada beberapa ayat Qur’an yang menceritakan bagaimana mimpi yang datang menghampiri para nabi ternyata memang bagian dari wahyu.
Pertama
Nabi Ibrahim dapat perintah sembelih anak lewat mimpi.
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
Artinya:
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.” (Q.S. Ash-Shaffat ayat 102)
Tentu kita tidak boleh mengaku-ngaku mimpi diperintah Allah SWT terkait update syariat.
Hukum syariat tidak boleh didasarkan atas mimpi manusia biasa, tetapi harus dengan hujjah yang logis dan bisa dicerna akal, serta teruji.
Kedua
Nabi Yusuf pernah bermimpi lihat matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya.
يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya:
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (Q.S. Yusuf ayat 4)
Mimpi beliau ini tentu tidak ada kaitannya dengan syariah atau perintah agama. Namun isinya semacam isyarat terkait apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Ketiga
Nabi Muhammad SAW juga pernah bermimpi. Al-Quran bercerita bahwa mimpi Beliau SAW adalah masuk Masjidil Haram dalam keadaan aman.
Padahal saat itu masih dalam suasana perang terbuka dengan pihak Mekkah.
Tidak mungkin Beliau SAW masuk masjid al-haram dengan aman. Pasti akan diperangi dan dibunuh oleh penguasa Mekkah.
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman.” (Q.S. Al-Fath ayat 27)
Saking bahagianya dapat mimpi kayak gitu, Nabi SAW langsung bergerak menuju Mekkah dengan berihram. Tidak lupa mengajak 1.400-an shahabat ikut serta.
Ternyata pihak penguasa Mekkah tidak kasih izin masuk. Terpaksa Nabi SAW balik lagi ke Madinah, setelah menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Kejadiannya di tahun ke-6 Hijriyah.
Rupanya mimpi masuk Mekkah dengan aman itu baru kejadian di tahun depannya, yaitu tahun ke-7 Hijriyah, ketika melakukan umrah qadha’.
Bahkan mimpi Nabi SAW yang sebegitu jelas pun tidak ujug-ujug langsung jadi kenyataan. Tetap ada meleset-melesetnya juga ketika direalisasikan.
Kalau sekelas Nabi SAW bisa meleset dalam memetakan makna mimpinya, padahal mimpinya 100% sudah benar karena bersumber dari Wahyu, lantas bagaimana dengan takwil mimpi kita?
Pertama, mimpi kita bukan Wahyu, lebih potensial sebagai bunga tidur yang hasil hayal potongan memori yang tersusun secara logika terbalik-balik.
Kedua, kalau pun isi mimpi kita benar, belum kita bisa memahaminya dengan benar. [Bersambung ke Bagian 2]