Benarkah KB Dilarang dalam Islam? Begini Penjelasannya

 Benarkah KB Dilarang dalam Islam? Begini Penjelasannya

Puasa dan Laku Diri (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Istilah Keluarga Berencana (KB) selalu memunculkan pro dan kontra, baik di kalangan ulama hingga masyarakat. KB disebut-sebut sebagai pembatasan jumlah anak.

Isu KB pada awalnya dipicu oleh pandangan Robert Malthus. Ia adalah seorang ahli demografi dan ekonom politik dari inggris. Robert Malthus-lah yang menyarankan terhadap kontrol laju pertumbuhan penduduk melalui pengendalian kelahiran.

Mulanya konsep KB sebagai pengendalian kelahiran. Namun dengan berkembangnya wacana tentang Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk di dalamnya tentang hak reproduksi, konsep ini pun berkembang. Semula hanya mengendalikan kelahiran menjadi perencanaan keluarga.

Pada masa kini, KB lebih ditekankan untuk mengontrol jumlah penduduk dengan menekan kelahiran melalui penggunaan kontrasepsi modern. Di antaranya seperti pil KB, kondom ataupun susuk dan lain sebagainya.

Adapun NU memandang KB ialah sebagai ikhtiar penjarangan kehamilan. Pada tahun 1969 NU mengeluarkan fatwa berkaitan dengan KB sebagai berikut:

  • Keluarga berencana harus diartikan sebagai pengaturan penjarangan kehamilan untuk kesejahteraan, bukan untuk pencegahan kehamilan untuk pembatasan keluarga.
  • Keluarga berenacan harus didasarkan atas kepentingan kesejahteraan ibu dan anak dan bukan takut kemiskinan, kelaparan dan sebagainya.
  • Keluarga berencana tidak boleh dilakukan dengan pengguguran kandung.
  • Tidak diperbolehkan merusak atau menghilangkan bagian tubuh suami atau istri

Ulama yang Pro KB

Isu keluarga berencana di Indonesia khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), dianggap telah memberikan kontribusi. Hal ini terkait penekanan ledakan penduduk khususnya pada masa orde baru.

Dalam hukum Islam, ada dua hal pokok yang menjadi tujuan di dalam setiap masalah. Pertama, Ghayah yakni tujuan dari sesuatu perbuatan dan Wasilah yaitu jalan atau cara mencapai ghayah.

Pelaksaan KB tak lepas dari pro dan kontra. Di antara ulama yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al Hariri, Syekh Mahmud Syaltut dan Sayyid Sabiq.

Imam Ghazali sendiri tidak melarang KB karena mempertimbangkan kesukaran yang dialami seorang ibu. Akibat sering melahirkan, ibu tentu akan mengalami berbagai problem, serta bertujuan menjaga kesehatan dan kecantikan si Ibu.

Adapun Syekh al Hariri, Mufti besar Mesir, memberikan ketentuan bagi seseorang yang ingin melaksanakan KB. Misalnya, untuk menjarangkan anak, untuk menghindari penyakit, untuk menjaga kesehatan si ibu karena setiap hamil selalu menderita penyakit. Kemudian untuk menghindari cacat fisik karena ibu dan bapaknya mengidap penyakit menular seksual.

Lebih lanjut, menurut Mahmud Syaltut membedakan konsep tahdiid al-nasl dan perencaan keturunan (tandzim al nasl). Tandzim al-nasl di umpamakan dengan menjarangkan keturunan karena situasi dan kondisi khusus. Baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan atau masyarakat dan negara.

Sayyid Sabiq dalam kitab fiqh as Sunnah juga membolehkan seorang untuk melaksanakan KB. Hal ini lantaran sang ayah adalah seorang yang fakir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya dan ibu adalah seorang yang dhaif (lemah).

Ulama yang Kontra KB

Selain ada ulama yang pro terhadap KB, ada juga ulama yang kontra terhadap KB seperti Abu ‘Ala al Madudi (Pakistan). Menurutnya, pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam karena Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai fitrah manusia.

Barang siapa mengubah atau bahkan menyalahi fitrah, apalagi takut kemiskinan dan melupakan bahwa Allah adalah Maha Pemberi rezeki, maka itu bertentangan dengan Islam.

Landasan Ulama yang kontra terhadap KB adalah dalil Alquran surah Al-Isra’ [17]: (31).

“Dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: (31).

Sementara itu, Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1969 memberikan keputusan bahwa mencegah kehamilan adalah berlawanan dengan ajaran Islam. Hal ini sama halnya dengan keluarga berencana yang dilaksanakan dengan pencegahan kehamilan.

Meski demikian, jika dalam keadaan darurat diperbolehkan dengan syarat persetujuan suami istri dan tidak mendatangkan mudharat jasmani dan rohani. Oleh karena itu, sejatinya KB diperbolehkan apabila kesehatan si ibu terganggu jika mengandung anak lagi. Perlu diperhatikan juga bahwa KB ditujukan untuk penjarangan kehamilan bukan untuk mencegah kehamilan.

Nafilah Sulfa

https://hidayatuna.com/

Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa Pamekasan Madura, dan Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir semester akhir di IAIN Madura. Pegiat kajian Feminisme.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *