Siti Hawa Korban Patriarki? Ini Penjelasannya
HIDAYATUNA.COM – Cerita penciptaan manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa yang sering didengar, kerap kali mendarah daging hingga turun-menurun dari generasi satu ke generasi berikutnya. Sekalipun kebenaran dan validitas ceritanya juga perlu dikaji ulang dan ditelusuri lebih dalam.
Validitas kebenarannya pun sulit untuk mengalahkan dari cerita yang memang telah mengakar kuat meskipun ditemukan data terbaru yang lebih akurat. Menurut cerita yang beredar, pada umumnya masyarakat meyakini bahwa asbab-musabab turunnya Adam dari surga. Lantaran telah dirayu oleh Siti Hawa untuk memakan buah Khuldi yang dilarang Allah.
Al-Baqarah turut mencatat dalam ayat 36, al-A’raf turut memeriahkan di ayat 20-22, bahkan di Surat Thaha lebih terperinci dan detail lagi (lihat ayat 112-121).
Dari redaksi ayat yang ada, tidak satu pun yang secara eksplisit menyatakan kesalahan Hawa dalam membujuk rayu si Adam. Justru malah sebaliknya, Alquran mendedahkan secara eksplisit dan berulang lantaran bujuk rayu setan dengan cara menghasutnya.
Di surat Al-Baqarah 36 tadi, dengan redaksi “faadzallahuma asy-syaithanu” dan di surat Al-A’raf 22 dengan redaksi “fawaswasa lahuma asy-syaithanu” . Dari kedua redaksi tersebut tentu sangat jelas posisi fa’il (pelaku) atas pekerjaan menggelincirkan (azalla) dan membisikkan pikiran jahat (waswasa) adalah setan. Mengapa malah ibu Hawa yang dikambinghitamkan?
Bukan Siti Hawa Ataupun Nabi Adam, Melainkan Setan
Imam al-Maraghi dalam tafsirnya juga menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat. Setan malah menyerupai Adam untuk membujuk hawa, dan Hawa untuk membujuk Adam.
Ternyata apa yang selama ini beredar bahwa Hawa penyebab keluar atau turunnya Nabi Adam dari surga merupakan penggalan kisah-kisah isra’iliyyat. Ini juga terdapat dalam beberapa kitab tafsir. Kisah yang diambil dari seorang Yahudi dan Nasrani yang menyatakan bahwa Hawa-lah yang terpedaya pertama kali lantaran sifatnya yang lemah dan mudah terperdaya.
“Maka dilihat oleh perempuan itu bahwa buah pohon itu baik akan dimakan dan sedap dan sedap kepada pandangan mata, yaitu sebatang pokok asyik akan mendatangkan budi. Maka diambilnya daripada buah, lalu dimakannya serta diberikannya pula pada lakinya, maka ia pun makanlah”. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian 3: 6.
Dari kejadian ini, membiaklah persepsi banyak orang bahwa perempuan memang tempat salah sejak dari sana-nya. Gerak-gerik perempuan pun kemudian sering dibatasi, sering menjadi biang fitnah seolah kehadiran perempuan di dunia sebagai konco wingking saja. Mahluk yang dinomor-duakan, meminjam istilah Simone de Beauvoir sebagai the second sex. Puncaknya membuat perempuan terdomestikasi; sebatas reproduksi dan prokreasi.
Orang-orang yang di kepalanya tertanam kuat benih-benih patriarkis akan menyebutkan sebuah hadis untuk melegitimasi pendapatnya. Lalu seolah memojokkan perempuan dengan anggapannya bahwa perempuan memang lebih infeiror dari lelaki dan tidak pantas naik panggung kehidupan.
اطلعت فى الجنة فرأيت أكثر أهلها الفقراء واطلعت فى النار فرأيت أكثر أهلها النساء (رواه البخارى ومسلم)
“Aku diperlihatkan surga, aku melihat kebanyakaan penghuninya adalah kaum fakir. Lalu aku diperlihatkan neraka, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para perempuan.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Penghuni Neraka Bukan Perempuan
Al-Mubarakfury dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mencoba menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam hadis itu bukan berarti secara kuantitas penghuni neraka adalah perempuan. Melainkan hadis tersebut hanya sebagai anjuran bagi perempuan untuk menjaga agamanya agar terhindar dari api neraka.
Secara sepintas mungkin akan menyatakan kesetujuannya. Pertama karena hadis ini bersumber dari hadis shahih dan kisah sebagaimana di muka, kedua mungkin karena budaya patriarki yang telah mengakar kuat.
Namun ketika mau menelisik lebih jauh, tidak mungkin Allah menciptakan dan memasukkan surga atau neraka berdasar kelamin. Malah di beberapa ayat disebutkan amal perbuatannya-lah yang sangat memengaruhi, bukan dari jenis kelamin. (lihat, Surah an-Nisa’: 124; an-Nahl: 16).
Islam seringkali dilibatkan untuk melegitimasi budaya patriarkis dengan aneka tafsir dan pemahaman yang terkadang bias gender. Padahal secara esensial Islam tidak pernah sedikit pun mensubordinasi perempuan. Tidak mungkin Islam mendiskreditkan perempuan, bahkan di banyak kesempatan Islam banyak menjunjung tinggi nilai-nilai perempuan, mengangkat derajatnya daripada sebelumnya saat masa pra-Islam yang sering mengalami pengucilan, hingga kelahirannya pun menjadi aib dan tidak diharapkan.
Islam hadir sebagai agama yang ramah perempuan. Ibu Sinta Nuriyah Wahid juga dengan tegas menyatakan Islam adalah agama yang memihak kaum perempuan. Buktinya Alquran mencatut nama an-Nisa (perempuan) dalam salah satu suratnya, tidak dengan nama ar-Rijal.
Diakui atau tidak masyarakat kita saat ini, pengambil keputusan dan kebijakan umumnya diambil oleh laki-laki. Begitu pun dalam agenda kehidupan sosial kemasyarakatan bahkan keagamaan, laki-laki lah yang mendominasi, sedang perempuan, sekali lagi terdomestikasi dengan dalih Islam sebagai basis legitimasinya. Wallahu A’lam bis as-Shawab