Aurat Perempuan yang Berlaku di Indonesia
HIDAYATUNA.COM – Di Indonesia selama ini, utamanya akhir-akhir ini, batasan aurat perempuan yang dipakai adalah pendapat Hanafiyah. Yakni seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan ditambah lengan bawah (sampai siku) dan kaki bagian bawah menurut sebagian ulama mereka.
Syaikh al-Bajuri, salah satu ulama besar Syafi’iyah menyarankan agar mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa tangan hingga siku bukan aurat. Pendapat ini bagi saya bijak sebab bagian-bagian itu memang sangat sulit ditutup terus menerus ketika beraktivitas dan siapa juga lelaki yang tertarik melihat itu dalam kondisi normal.
Meski pendapat ini sudah dipraktIkkan secara luas, tapi banyak yang takut membahasnya secara terbuka seperti ini. Sebab pendapat ulama Syafi’iyah selaku mazhab resmi mayoritas justru tergolong ketat. Jadinya banyak yang takut dibully atau malas ribet menjelaskan.
Apalagi kalau ketemu mutashawwif yang ketat ketika membahas aurat tapi ahli mantengin medsos dan youtube tanpa merasa bersalah. Jadi ruwet masalahnya. Haha.
Shufi biasanya ketat dan suudzon ke diri sendiri tetapi longgar dan husnudhon ke orang lain. Kebalikannya adalah mutashawwif alias orang berlagak Shufi.
Pendapat Fikih
Saya kenal beberapa orang yang layak disebut Shufi, mereka tak punya media sosial bahkan tak mau pakai Android karena takut jadi lalai katanya.
Beda lagi dengan mutashawwif, ketika melihat berita ada gambar wanita tak berjilbab misalnya. Dia santai dan tak kepikiran membaca istighfar karena melihatnya.
Tapi ketika disinggung soal hukum foto wanita yang wajar dan menutup aurat, langsung seolah maksiat besar dan tak peduli ada syahwat atau tidak. Tak peduli aurat atau bukan, pokoknya harus haram dulu secara mutlak, soal dalil gampang dicari.
Adapun di Indonesia zaman dulu saat masih lumrah wanita Jawa pakai kemben, maka itu di luar pendapat fikih mana pun. Saat kemben berhasil dipersopan dengan diubah menjadi kebaya yang masih terbuka bagian dadanya dan tanpa jilbab.
Pun tidak ada pendapat fikih yang bisa mengakomodirnya kecuali pendapat ‘nyeleneh’ orang sekarang yang tak bisa dipakai. Mereka yang berdalih dengan foto ibu Nyai zaman dulu bukanlah orang yang ngerti fikih.
Tidak tahu mereka kalau Para Kyai semuanya tetap sama pendapatnya dengan yang tertulis di kitab fikih soal batasan aurat, dan ini bisa ditanyakan ke murid-muridnya yang ngaji.