‘Audatul Firdaus: Naskah Drama Mesir Bertema Kisah Kemerdekaan Indonesia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sejarah telah mencatat, bahwa salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir.
Maka wajar saja apabila hari ini banyak sekali pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negeri yang dijuluki “The Gift of Nile” itu.
Namun hal ini bukan sesuatu yang bisa terjadi tanpa sebab.
Karena ternyata pada tahun 1946 ada sebuah karya sastra berbentuk naskah drama yang mengabadikan kisah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam sebuah naskah drama sehingga membuat simpati rakyat Mesir pada waktu itu.
Naskah drama tersebut tersebut berjudul ‘Audatul Firdaus.
‘Audatul Firdaus merupakan sebuah naskah drama yang mengisahkan tentang perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah.
Naskah drama ini sendiri ditulis oleh salah satu penyair Mesir yang memiliki ikatan kuat dengan Indonesia, yaitu Ali Ahmad Bakatsir.
Ali Ahmad Bakatsir adalah seorang sastrawan berkebangsaan Mesir yang lahir di Surabaya pada 1910 M.
Ia menghabiskan masa kecilnya di Surabaya hingga pada umur 8 tahun orang tua beliau mengirimnya ke Hadramaut, Yaman untuk melanjutkan pendidikan.
Hingga pada akhirnya Bakatsir pindah ke Mesir dan menetap di sana.
Walaupun sudah menetap di Mesir dan menjadi warga negara tersebut, namun Bakatsir tidak pernah lupa dengan negara tempat ia lahir, yaitu Indonesia.
Mengabiskan masa kecil di Indonesia membuat rasa cintanya kepada negeri yang pada waktu itu belum sepenuhnya merdeka ini begitu mendarah daging.
Bukti kecintaannya yang begitu tinggi kepada tanah kelahirannya tersebut Bakatsir tuangkan pada sebuah naskah drama yang ia terbitikan pada tahun 1946, naskah drama tersebut berjudul ‘Audatul Firdaus atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Kembalinya Surga Firdaus.
Dalam naskah drama ini, Bakatsir berusaha meyuarakan bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil perjuangan bangsa itu sendiri dan bukan merupakan pemberian dari kaum penjajah.
Naskah drama ini juga menceritakan tentang jiwa nasionalisme serta usaha-usaha bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan baik secara fisik maupun diplomasi politik.
Naskah drama ini juga menggunakan beberapa nama-nama tokoh pejuang kemerdekaan Indoenesia seperti Syahrir dan juga Soekarno.
Para tokoh yang terdapat dalam naskah ini juga menujukkan bagaimana para pejuang kemerdekaan Indonesia menggunakan semangat nasionalisme dan cinta tanah air sebagai visi dan misi untuk meraih cita-cita besar bangsa Indonesia.
Penolakan atas penindasan yang terjadi serta semangat satu nusa satu bangsa dan satu bahasa yang dimunculkan dalam dialog-dialog antar tokoh Isi dari naskah ini juga menjelaskan bagaimana sebuah kerangka berpikir yang disebut dengan nasionalisme.
Nasionalisme yang tumbuh di berbagai negara bekas imperialism bangsa Barat bisa membangkitkan semangat bangsa-bangsa dunia ketiga untuk meraih kemerdekaan yang pada saat itu terjajah.
Kondisi dunia yang pada itu sedang carut marut pasca perang dunia kedua mengharuskan mereka untuk bangkit dan menolak segala macam bentuk imperialism di muka bumi.
Secara tidak langsung Bakatsir menjelaskan bahwa bangsa-bangsa yang terjajah harus meniru semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Bakatsir secara imajiner menggambarkan kondisi empiris bangsa Indonesia secara komprenehsif yang dibalut dengan pengunaan bahasa yang mudah dan ringan.
Naskah drama ini begitu popular di tanah Mesir pada akhir tahun 40-an.
Menurut beberapa sumber, dialog serta isinya yang menarik membuat masyarakat Mesir pada waktu itu sangat menaruh simpati pada perjuangan bangsa Indonesia.
Kepopuleran naskah ini di Mesir menjadi salah satu titik awal pengakuan Mesir atas kedaulatan Republik Indonesia yang baru berdiri.
Hingga saat ini ‘Audatul Firdaus masih terus bisa di nikmati sebagai salah satu pemantik refleksi kebangsaan Indonesia. []