Adakah Hari Naas Dan Mujur ?
Setiap umat Islam pasti pernah mendengar tentang hari naas dan mujur. Pertanyaannya, adakah hari naas dan mujur? Berikut ini penjelasannya
HIDAYATUNA.COM – Kata “Naas” terambil dari kata Bahasa Arab nahs yang biasa diterjemahkan sial. Kata ini ditemukan dua kali dalam Al Qur’an. Yang pertama dalam bentuk tunggal dalam kata “hari sial” (Yaum nahs) dalam ayat 19 surat al-Qamar : إِنَّآ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِى يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّ dan yang kedua dalam bentuk jamak dalam arti kata “hari-hari sial” (Ayyam Nahisaat) dalam ayat 16 surat Fushilat : فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِىٓ أَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ
Kedua ayat itu (“hari sial” dan “hari-hari sial”) diungkapkan Al-Qur’an dalam konteks penjelasannya tentang siksaan yang melanda kaum A’d yang durhaka kepada Allah. Dalam ayat 7 surat al-Haqqah dijelaskan bahwa hari-hari itu berlangsung selama tujuh hari delapan malam. “Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).”
Beberapa tafsir meriwayatkan bahwa hari sial itu hari Rabu, sementara hari-hari sial itu bermula di hari Rabu. Ada juga yang menyatakan bahwa hari sial itu bermula di hari Jumat. Pendapat yang dikutip dalam kitab-kitab ini tidak bersumber dari kitab-kitab hadits standar. Misalnya, Ibnu Katsir seorang pakar Al-Qur’an dan Hadits, sekedar mengutip dan menyatakan bahwa pendapat itu diriwayatkan oleh Al-Baghawi, tokoh yang dikenal oleh kritikus kitab tafsir sebagai amat “grandrung” mengutip pendapat-pendapat aneh, kisah-kisah, dan pendapat bersumber dari budaya Yahudi dan Nasrani atau yang dikenal dengan istilah Israiliyat.
Memang, ada beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa ada hari-hari sial. Akan tetapi, nilai riwayat-riwayat itu lemah. Riwayat yang paling kuat berkualitas mursal dalam arti ia dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa melalui sahabatnya. Nilai hadits semacam ini tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan.
Jika kita mengamati ayat-ayat Al-Qur’an di atas, maka kita melihat bahwa hari-hari sial bukanlah hanya satu hari, tetapi tujuh hari secara berturut-turut. Perhatikan kembali ayat 16 surah Fushilat dan ayat 7 surat al-Haqqah yang dikutip di atas. Ini berarti bukan hanya hari Rabu, tetapi seluruh hari dan malam dalam seminggu.
Namun, di sisi lain, al-Qur’an juga secara tegas menyatakan bahwa ada malam penuh berkah : إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ (Qs. Ad-Dukhan [44] : 3). Ada juga Malam Kemuliaan (Laylah al-Qadr), dan ini berarti bahwa malam-malam itu bukanlah malam-malam sial. Dengan demikian, kedua ayat yang berbicara tentang hari sial itu tidak boleh dipahami sebagai adanya hari-hari tertentu yang sial. Ia harus dipahami, dalam arti bahwa ada kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seseorang yang terjadi di siang atau malam hari. Kemudian, saat-saat itu dinamai hari-hari atau malam-malam sial.
Memang Bahasa sering kali menisbahkan sesuatu kepada tempat, waktu, atau keadaan. Al-Qur’an, misalnya menyatakan makr al-layl (Qs. Saba’ [34}: 33) yang diterjemahkan secara harfiah sebagai “tipu daya malam”, tetapi maksudnya ialah tipu daya yang terjadi di malam hari.
وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱسْتُضْعِفُوا۟ لِلَّذِينَ ٱسْتَكْبَرُوا۟ بَلْ مَكْرُ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَآ أَن نَّكْفُرَ بِٱللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُۥٓ أَندَادًا ۚ وَأَسَرُّوا۟ ٱلنَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ وَجَعَلْنَا ٱلْأَغْلَٰلَ فِىٓ أَعْنَاقِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ۚ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Arti: “Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak) sebenarnya tipu daya (di waktu) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Was’al al-qaryah (Qs. Yusuf [12]: 82) yang bila diterjemahkan secara harfiah sebagai “Dan tanyalah desa”, tapi ia berarti tanyailah penduduk yang bertempat tinggal di desa.
Rasulullah SAW. Mengingatkan dalam sabdanya, “janganlah mencerca masa, karena Allah adalah (yang mengatur) masa.” Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Artinya : “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku (karena) dia suka mencela waktu (masa). Padahal Aku-lah pencipta (pengatur) masa. Aku-lah yang menggilir antara siang dan malam”.
Dengan demikian, tidak dibenarkan menjatuhkan kesalahan atau keburukan kepada waktu tertentu, dengan menyatakan hari sial atau hari mujur. Sebagian ulama, antara lain, Syeikh Muhammad ‘Abduh, berpendapat bahwa sebab turunya surah al-‘Ashr adalah bahwa ketika itu sebagian orang yang gagal dalam usahanya mengeluh di waktu asar bahwa harinya adalah hari sial. Karenanya, surah itu menguraikan bahwa kegagalan dan sukses bukanlah disebabkan oleh waktu, tetapi antara lain oleh usaha manusia. Oleh sebab itu, rugilah mereka yang tidak beriman dan beramal, serta tidak saling berwasiat tentang kebenaran dan ketabahan.
Kita harus yakin bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Kuasa. Dialah Pengatur siang dan malam dan Dialah juga yang menguasainya. Mempercayai adanya penguasa selain Allah atau mempercayai bahwa hari dan malam dapat mempengaruhi keadaan mujur atau sial tanpa keterlibatan Allah dapat mengantarkan kepada kemusyrikan atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislamaan Yang Patut Anda Ketahui