Zakat, Disalurkan pada Lembaga atau Langsung pada Mustahik?
HIDAYATUNA.COM – Dunia maya kini sedang digemparkan dengan dugaan kasus penyelewengan dana yang dilakukan oleh salah satu lembaga filantropi di Indonesia. Majalah tempo yang terbit pada Juli 2022 menyebutkan beberapa penyebab parahnya keuangan lembaga tersebut, seperti adanya gaji yang tinggi, pemborosan dalam iklan, juga adanya dugaan penyelewengan dana oleh oknum pengurusnya. Hal ini menjadikan masyarakat berbondong bondong membuat tagar di twitter yang menyatakan “Kami tidak percaya ACT”.
Terkikisnya kepercayaan masyarakat pada lembaga filantropi tersebut bisa saja berimbas pada filantropi lain jika bola opini tersebut bergulir bebas kesana sini tanpa adanya kajian lebih dalam. Kemana sebenarnya kita menyalurkan zakat? Apakah lebih baik disalurkan pada lembaga atau langsung pada mustahik?.
Perlu kita cermati beberapa hal. Formalisasi syariat (masuknya syariat Islam pada undang-undang) kedalam undang undang nasional membutuhkan tenaga yang sangat besar. Perjuangan itu dilakukan dari tahun 1960an sampai lahirnya undang undang nomor 23 tahun 2011. Salah satunya formalisasi zakat dengan diundangkannya undang undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Keberhasilan itu kembali disempurnakan dengan lahirnya undang undang nomor 23 tahun 2011 yang semakin memperhatikan zakat sebagai filantropi Islam untuk mewujudkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan (Pasal 3 UU/23/2011).
Undang undang nomor 23 tahun 2011 merupakan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa Islam bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi juga agama yang mempunyai dimensi sosial. Banyak kajian yang membuktikan dampak positif zakat dikelola oleh lembaga secara professional. Contohnya penyaluran zakat yang dilakukan di Kabupaten Bogor. Zakat yang didistribusikan pada mustahik oleh lembaga zakat dapat mengurangi tingkat kemiskinan sampai 44 %. (Nurul Huda, Zakat Perspektif Mikro Makro, Pendekatan Riset: 103). Hal ini berarti tujuan zakat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan sebagai tujuan syariah (maqashid as-syariah) tercapai. Beda halnya jika zakat disalurkan langsung kepada mustahik, maka hal tersebut tidak akan terlalu berdampak karena sifatnya yang konsumtif.
Penyaluran zakat melalui lembaga sifatnya produktif. Lembaga zakat mempunyai program pemberdayaan masyarakat dengan pemberian modal kerja, pelatihan usaha, atau dalam bentuk beasiswa dan lain lain. Tetapi, meski zakat kelembaga bisa berdampak positif, ada beberapa catatan untuk lembaga zakat agar kepercayaan masyarakat tidak hilang. Karena lembaga zakat merupakan lembaga yang modal terbesarnya adalah kepercayaan dari masyarakat.
Pertama, hak para amil. Memang, Al Qur’an memberikan hak bagi para amil dari harta zakat itu sendiri (At Taubah: 60). Namun perlu diketahui, amil mendapatkan zakat karena pengelolaannya, sementara fakir miskin mendapatkan zakat karena keadaannya yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhannya. Jangan sampai amil mengambil gaji yang sangat besar, sampai ratusan juta, sehingga para amil hidup mewah, sementara mustahik lain yang pertama disebutkan (fakir miskin) hanya mendapatkan beberapa saja dari haknya, meski memang bisa mengubah nasibnya, tetapi ukurannya kecil jika dibandingkan dengan hak amil sebagai pengelola. Mustahik bisa berdaya berkat dana zakat yang kecil diusahakan olehnya, bukan secara langsung mendapatkan dana zakat yang besar sehingga ia bisa berdaya.
Kedua, selama ini yang gencar disampaikan melalui media sosial adalah upaya agar masyarakat berzakat dilembaganya, tentunya dengan berbagai edukasi yang memang itu juga penting untuk dilakukan. Namun, jika dibandingkan dengan sosialisasi program zakat sangat jomplang, sehingga apabila ada mustahik yang membutuhkan bantuan, para mustahik tidak tahu bagaimana dan apa saja syaratnya untuk mendapatkan haknya dari dana zakat. Maka sosialisasi program zakat untuk para mustahik perlu digencarkan lagi, jangan hanya dimedia sosial yang itupun masih minim, karena tidak semua mustahik melek tekhnologi. Bekerjasama dengan RT / RW / Masjid yang lebih tahu kondisi masyarakat disekitarnya sehingga sifatnya bukan hanya top down tetapi juga bottom up.
Ketiga, penyalurannya harus dilakukan di daerah lembaga zakat itu terlebih dahulu. Baru setelah nanti masyarakat disekitarnya berdaya, disalurkan ketempat lain. Bukankah itu juga merupakan amanah undang undang?. Pasal 26 UU nomor 23 tahun 2011 mengharuskan distribusi zakat memperhatikan aspek kewilayahan. Tetapi yang terjadi adalah lembaga zakat menyalurkan dananya kewilayah yang jauh dari domisili lembaganya, sementara didekat lembaganya masih ada mustahik yang sulit mencari makan, pengangguran, dan membutuhkan bantuan segera dari dana zakat. Padahal pendapat kuat dalam madzhab syafii, zakat harus disalurkan didaerah muzaki (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab).
Syekh Zainudin Al Malibari berkata dalam kitabnya fathul mu’in
ولا يَجوزُ لِمالِكٍ نقْلُ الزّكاةِ عنْ بلدِ الْمال ولوْ إلى مسافةٍ قريبةٍ، ولا تُجزِئ
“Tidak diperbolehkan bagi muzaki memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tidak dapat mencukupinya (tidak sah)”.