Yang Radikal dari Din Syamsuddin adalah Sikap Kritisnya
HIDAYATUNA.COM – Siapa yang tak kenal sosok Proffesor Din Syamsuddin? Seorang guru besar politik Islam UIN Syarif Hidayatullah, lulusan UCLA (University of California, Los Angeles) dengan disertasinya bertajuk “Religion and Politics in Islam: The Case of Muhammadiyah in Indonesias New Order”.
Sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2005-2010 dan 2010-2015, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Beliau bahkan pernah menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban hingga melahirkan Bogor Message, dan beragam jabatan sentral lainnya.
Baru-baru ini mencuat nama Proff Din Syamsuddin di media massa, lantaran tudingan dan laporan yang dialamatkan kepada dirinya sebagai seorang yang radikal. Hal ini diketahui laporan tersebut berasal dari Gerakan Anti Radikalisme (GAR) ITB.
Dari laporan tersebut, banyak menuai komentar dan pembelaan dari berbagai kalangan. Baik itu dari para Akademisi, tokoh Muhammadiyah, MUI, dan dari berbagai lapisan lainnya.
Mulai dari anggapan bahwa tudingan tersebut tidak masuk akal sebagaimana dilontarkan Proffesor Azyumardi Azra. Kemudian tanggapan “salah alamat” dari Abdul Muti, bahkan Mahfud MD turut berkomentar bahwa Pak Din merupakan sosok yang “kritis bukan radikalis”. Serta beragam pembelaan lainnya yang senada.
Jika NU memiliki konsep NKRI berasaskan pancasila sejalan dengan Islam atau menyebutnya sebagai Darul Mistaq. Di kalangan Muhammadiyyah ada Pak Din yang menggagas dan menguatkan konsep negara Pancasila sebagai Darul al-Ahdi wa al-Syahadah sehingga menjadi keputusan resmi Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar.
Sisi Lain Pak Din
Memang sepak terjang dan peran Pak Din dalam mengokohkan arus Islam moderat yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan tidak diragukan lagi. Saya sangat mengakui kredibelitas dan integritas keilmuan beliau sebagai pakar dalam politik Islam.
Namun diakui atau tidak sedikit banyak dari rekam jejak pemikiran-pemikiran serta lontaran ucapan-ucapannya, seringkali menuai polemik yang sempat menjadi sorotan publik luas.
Misal saja begini, beberapa tahun lalu, sebagaimana termuat di rmol.id dengan tajuk “Din Syamsuddin: Khilafah itu Mirip Eksistensi Vatikan” yang cukup membuat gaduh dunia maya. Penuturan Pak Din dalam konteks mengomentari penerbitan Perppu ormas yang diasumsikan untuk membubarkan HTI.
“Pemerintah dinilai tidak perlu merespon wacana pendirian khilafah yang digagas HTI. Apalagi menuding HTI sebagai kelompok yang anti Pancasila. Khilafah yang dimaksud HTI mirip dengan eksistensi tahta suci Vatikan, yang menghilangkan sekat negara dan menjadi kiblat bagi umat Katolik di seluruh dunia.
Khilafah gagasan HTI juga memiliki cita-cita untuk memiliki pimipinan tertinggi umat Islam seperti Paus. Bukan berarti dengan keberadaan khilafah umat Islam menjadi anti Indonesia dan anti pancasila.”
Di kasus yang berbeda, saat ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indoensia di tengah kontestasi politik pilpres 2019. Pak Din menyampaikan kepada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden agar menghindari penyebutan istilah khilafah dalam kampanye Pilpres 2019.
Menurutnya itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif. Imbauan ini sebagaimana tertuang dalam Tausiyah Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno ke-37.
Kritis Terhadap Pemerintah
Pak Din menegaskan bahwa meski khilafah di Indonesia sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Alquran adalah ajaran Islam yang mulia.
Pernyataan itu membuat Rais PCINU Australia, Gus Nadirsyah Hosen turut hadir memberi koreksi dalam twitnya. Paling tidak terdapat dua kesalahan dalam pernyataan tersebut.
Pertama, tidak bisa membedakan antara sistem khalifah dan khilafah. Kedua, yang amat fatal kelirunya “tidak ada satu pun ayat Alquran yang menggunakan khilafah, yang ada hanya soal khalifah. Namun Majelis Ulama Indonesia gagal paham bedakan keduanya.
Pak Din juga membela aksi 212, mendukung aksi bela tauhid, dan tidak tegas terhadap ideologi HTI. Selain hal di atas, yang tak kalah sengitnya meramaikan sesak persoalan di dunia maya. Pak Din beberapa waktu lalu, terlibat dalam polemik diskusi daring tentang pemakzulan presiden.
Beliau menyebut terdapat tiga pra-syarat yang bisa dijadikan alasan ihwal pemakzulan pemimpin atau presiden yang menurutnya dinukil dari al-Mawardi. Kebetulan juga sering dijadikan rujukan antek-antek HTI yakni ketidakadilan ketiadaan ilmu pengetahuan. Ketiga, tidak memiliki kemampuan atau kewibawaan dalam situasi kritis, yang nantinya menuai kritik salah satunya dari Proffesor Machasin dengan mengecek ulang karya dari al-Mawardi.
Ternyata al-Mawardi hanya memberikan dua pra-syarat tidak lebih. 1) Luka pada keadilannya, 2) Kekurangan dalam fisiknya. Lebih lanjut baca tulisan Muhammad Alvin Nur Choironi “Pemakzulan Presiden, Din Syamsuddin Mengutip Kitab Rujukan HTI”. Bahkan karena ini juga Pak Din dilaporkan oleh GAR ITB pada waktu sebelumnya.
Paling tidak yang menjadi titik poin GAR ITB ini adalah: 1) sering mengkritik pemerintah, 2) terlibat webinar pemakzulan Presiden, 3) dianggap tak segan menyerang pemerintah. Dari ketiganya inilah yang dianggap melanggar koridor batas-batas label radikal.
Dalih Radikal sebagai Bentuk Pembungkaman
Terbitnya Perpres ekstrimisme memang sebagai bentuk upaya pencegahan dini untuk menangkal ekstimisme-radikalisme. Baik itu dilakukan individual maupun komunal. Sementara yang masih dbingungkan masyarakat adalah batas statuta seorang dapat dikatakan radikal karena tampak begitu kabur dalam penerapannya.
Ketika beredar hal yang menimpa Pak Din, berpotensi membuat masyarakat berspekulasi negatif bahwa isu radikalisme sekedar alat pembungkam saja bagi mereka yang kritis. Padahal laku ekstrimisme-radikalisme benar-benar ada dan di hidup di tengah-tengah kita.
Saya tidak menuduh salah kepada siapa pun, tapi ini seolah sinyal dari pemerintah bagi masyarakat untuk berlaku negatif akibat kekaburan batasnya. Saya sepakat dengan Ahmad Khoiri yang menyatakan bahwa klimaks ekstrimisme-radikalisme mudahnya adalah “mengganti sistem demokrasi ke khalifah”.
Meski orang radikal sering mengkritik pemerintah, bukan berarti semua kritik dapat digeneralisasi lalu dikategorikan radikalis. Yang perlu ditekankan bahwa kritik atas pemerintah bukan semata ciri radikal.
Kritik yang membangun merupakan tiang tegaknya demokrasi. Pak Din dalam beberapa kasus di atas, tidak pernah sedikit pun berkeinginan untuk menerapkan khilafah. Perkara ia berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh lainnya sah-sah saja, sejauh tidak menuntut keras mendirikan tegaknya khilafah.
Meski demikian, yang perlu digarisbawahi dari Pak Din sebagai publik figur yang pakar dalam bidang politik Islam adalah lebih berhati-hati lagi dalam bertutur. Dari sekian tutur pemikirannya, khawatir dijadikan bahan legitimasi kebenaran orang-orang radikal.
Betapa pun Pak Din tidak tegas dengan ideologi ala HTI dan seolah mendukung beberapa hal lainnya, bukan berarti Pak Din seorang radikalis.
Beliau cukup berjasa dalam penguatan islam wasathiyah, tak ada niatan sekalipun untuk mengganti sistem pemerintahan yang berlaku. Ihwal diskusi pemakzulan, sah-sah saja bagi seorang yang konsen di bidangnya untuk berbicara.
Jika misal hal itu terbukti webinar pemakzulan karena kebencian personal, ya tanpa ragu boleh lah, dikatakan dia adalah radikalis. Jangan sampai label radikalis dijadikan senjata untuk saling serang karena bersebarang paham. Wallahu A’lam bi al-Shawab.