Warga Negara dalam Fikih Siyasah

 Warga Negara dalam Fikih Siyasah

Warga Negara dalam Fikih Siyasah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Berikut ini adalah sedikit catatan Kiai Ma’ruf Khozin mengenai warga negara dalam fikih siyasah dari program Fikih Peradaban yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU.
PBNU menggulirkan program Fikih Peradaban yang dibagi ke dalam tema:
1. Fikih Siyasah Dan Negara Bangsa
2. Fikih Siyasah Dan Kewarganegaraan
3. Fikih Siyasah Dan Masalah Kaum Minoritas
4. Fikih Siyasah Dan Tatanan Dunia Baru
5. Fikih Siyasah Antara Perang Dan Damai
Sejak pagi sampai menjelang sore Pondok Pesantren Mahasiswa An-Nur yang didirikan oleh Prof KH Imam Ghazali Said mengadakan seminar ini dengan sangat serius, mulai menghadirkan Rais Am dan Wakil Rais Am, narasumber dari para guru besar dan pesantren di sekitar Surabaya.
Saya hadir sebagai peserta. Tapi entah kenapa kok dipaksa naik ke panggung bersama Prof Hilmy dan Prof Inung.
Ulama Mesir menyebut warga negara dengan istilah muwathin. Kalau merunut kembali pada lembaran turats kitab-kitab klasik dan ijtihad kebangsaan ulama saat ini terjadi pergeseran.
Dulu permasalahan yang berkaitan dengan kenegaraan lebih diarahkan pada ranah akidah.
Namun perkembangan selanjutnya lebih dititikberatkan pada ranah sosial.
Ada cukup banyak persoalan antar pemeluk agama yang dulu dihukumi haram secara ijtihad tetapi ulama kontemporer cenderung membolehkan.
Tentu suasana keadaan yang menjadi salah satu perubahan ijtihad itu.
Misalnya dahulu terus mengarah pada peperangan, akan tetapi saat ini lebih mengarah pada perdamaian.
Salah satu ulama Al-Azhar yang fatwanya sering dikutip dalam Fatawa Al-Azhar, Syekh Athiyyah Shaqr, memberi uraian soal warga negara, baik muslim dan non muslim:
ﻭﺭﺃﻯ ﻋﻤﺮ ﻳﻬﻮﺩﻳﺎ ﺿﺮﻳﺮا ﻳﺴﺄﻝ، ﻓﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻪ، ﻭﻛﺘﺐ ﻟﻠﻮﻻﺓ ﺑﻤﻌﻮﻧﺔ اﻟﺬﻣﻴﻴﻦ اﻟﻔﻘﺮاء، ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﻟﻏﻴﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻣﻨﻄﻠﻖ ﺃﻥ اﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻦ اﻟﺴﻼﻡ، ﻻ ﻳﺒﺪﺃ ﺃﺣﺪا ﺑﺤﺮﺏ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﻣﺴﺎﻟﻤﺎ، ﻗﺎﻝ {ﻭﺇﻥ ﺟﻨﺤﻮا ﻟﻠﺴﻠﻢ ﻓﺎﺟﻨﺢ ﻟﻬﺎ ﻭﺗﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﻪ}
Artinya:
“Umar melihat ada orang Yahudi buta yang mengemis, lalu Umar memberi bagian dari Baitul Mal untuk mencukupi kebutuhannya. Dan Umar menulis kepada para gubernur untuk membantu orang-orang Dzimmi yang tidak mampu.
Interaksi sosial dengan non muslim ini bagian dari Islam sebagai agama yang damai. Islam tidak mendahului perang pada seseorang selama ia bersedia hidup damai. Allah berfirman: “Jika mereka condong pada damai maka condonglah pada damai. Dan bertawakallah kepada Allah.” (Q.S. Al-Anfal 61)
ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ: ﺇﻥ ﺃﺧﺬ اﻟﺠﺰﻳﺔ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺬﻣﺔ ﻇﻠﻢ ﻟﻬﻢ ﺃﻭ ﺟﻌﻠﻬﻢ ﻣﻮاﻃﻨﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺪﺭﺟﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺗﻘﺎﺑﻞ اﻟﺰﻛﺎﺓ اﻟﺘﻰ ﻓﺮﺿﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﻛﻠﺘﺎﻫﻤﺎ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﻮاﻃﻨﻴﻦ ﺟﻤﻴﻌﺎ .
Artinya:
“Tidak boleh dikatakan bahwa pemungutan jizyah dari ahli dzimmah adalah bentuk kezaliman pada mereka atau menjadikan mereka sebagai warga kelas dua.
Sebab jizyah sebanding dengan zakat yang diwajibkan kepada kaum Muslimin. Keduanya adalah untuk kepentingan warga negara keseluruhan.” (Fatawa Al-Azhar, 10/111) []

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *