Warga Kashmir Mogok Kerja dan Sekolahan sebagai ‘Aksi Perlawanan’

 Warga Kashmir Mogok Kerja dan Sekolahan sebagai ‘Aksi Perlawanan’

Srinagar, daerah Kashmir yang dikelola oleh India – Shabir Ahmad menutup tokonya pada jam 9:30 pagi, dia hanya bekerja selama dua jam setiap harinya. Hal ini termasuk bagian dari ‘gerakan mogok kerja’ yang sedang berlangsung di Srinagar sebagai upaya menentang keputusan pemerintah India yang mencabut status otonomi khusus Kashmir.

Dalam empat hari terakhir, Shabir, yang mencari uang dengan berjualan tirai dan seprai belum mendapatkan satu sen pun, tetapi penjaga toko berusia 60 tahun itu menegaskan ‘gerakan mogok kerja’ yang dilakukan oleh para pedagang ini sangat penting ‘demi masa depan anak-anak mereka”’.

“Kehidupan kami telah selesai (hancur) dan sekarang kami takut akan hari esok dari anak-anak kami,” katanya kepada Al Jazeera ketika ia duduk di tokonya yang terletak di daerah Nowhatta, sebuah daerah yang telah menjadi pusat bentrokan antara pemuda dan angkatan bersenjata India

“Semua cara yang kami lakukan untuk memprotes tidak digubris, ini adalah satu-satunya cara kami untuk melawan.”

Akhir-akhir ini para pedagang di wilayah itu telah menjalankan bisnisnya hanya selama dua jam dari 7:30 pagi sampai 9:30 pagi, mereka melakukannya sebagai tanda protes terhadap keputusan pemerintah India pada tanggal 5 Agustus yang membatalkan Pasal 370 konstitusi yang memberikan hak khusus kepada wilayah yang mayoritasnya adalah Muslim tersebut.

Penghentian aktivitas sipil, sekolah-sekolah dan bisnis yang hampir total di wilayah yang disengketakan itu telah memaksa pemerintah untuk memasang iklan satu halaman penuh di surat kabar setempat, yang isinya mendesak warga disana untuk membuka lagi toko mereka dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah.

Judul iklan itu berbunyi, ‘Toko tutup, tidak ada angkutan umum? Siapa yang akan diuntungkan?’, lalu meminta orang-orang untuk membuat pilihan. Namun, iklan itu tidak memiliki dampak sama sekali, karena warga disana tetap melanjutkan aksi mereka ‘sebagai tindakan pembangkangan’ kepada pemerintah.

Pada hari Senin, pihak berwenang telah memulihkan akses layanan telepon seluler pascabayar yang dimiliki oleh hampir 1,8 juta orang warga disana.

Tetapi pemadaman internet dan akses telepon prabayar masih terus diberlakukan untuk mengisolasi warga disana dari dunia luar. Sampai saat ini larangan tersebut sudah diberlakukan selama lebih dari 70 hari lamanya.

Shabir mengatakan dia telah mampu menghasilkan $100 sejak tanggal 5 Agustus sampai sekarang, tapi toko ponsel yang berdekatan dengan tokonya yang dijalankan oleh Jalees Ahmad yang berusia 45 tahun bernasib lain, toko tersebut tidak memiliki penjualan sama sekali di tengah pembatasan akses telepon yang belum pernah terjadi sebelumnya ini.

Setelah pencabutan status khusus Kashmir pada tanggal 5 Agustus, pihak berwenang telah menangkap ribuan pemimpin grup separatis, demonstran, dan politisi Kashmir yang pro-India. Mereka juga membawa ribuan pasukan tambahan ke salah satu zona yang paling termiliterisasi di dunia itu.

Puluhan ribu orang telah tewas ketika India mengerahkan hampir dari setengah juta pasukan militer untuk memadamkan pemberontakan bersenjata yang meletus pada akhir tahun 1980-an. Pada tahun 2000-an jumlah kematian telah menurun tajam, tetapi sejak Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) berkuasa lebih dari lima tahun yang lalu, wilayah tersebut mengalami peningkatan lagi dalam jumlah tindakan kekerasan.

Pencabutan Pasal 370 sendiri adalah salah satu sumber poling utama Perdana Menteri Narendra Modi, BJP menentang status otonomi khusus yang diberikan kepada Kashmir sebagai bagian dari visi mereka ‘satu negara, satu konstitusi’.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan ratusan dari mereka yang telah ditangkap, termasuk anak-anak di bawah umur dan pasien terminal, telah dijerat berdasarkan Undang-Undang Keamanan Publik (PSA), sebuah undang-undang kontroversial di mana seseorang dapat ditahan hingga dua tahun tanpa melalui proses pengadilan.

Walaupun sebagian besar pemilik toko merasa tertekan karena kehilangan sumber penghasilannya, mereka tetap bersama-sama memutuskan untuk melanjutkan ‘aksi protes’ mereka.

“Aksi protes ini adalah bagian dari upaya kami demi kebebasan yang telah kami perjuangkan sejak 30 tahun yang lalu, dimana ribuan orang telah terbunuh dan buta,” kata Jalees yang duduk di tokonya menunggu pelanggan.

Seperti Shabir, Jalees juga harus membayar biaya sewa tokonya. Dia juga harus membiayai pendidikan anak-anaknya dan menghidupi keluarganya yang akan menghabiskan seluruh gaji bulanannya. Tetapi mereka siap ‘menderita kerugian’.

“Ini adalah tanah mayoritas Muslim, tetapi kami khawatir ini semua akan berubah,” kata penjaga toko lain tidak ingin disebutkan namanya.

“Jika polisi melihat kami sedang berbicara dengan wartawan, mereka mungkin akan langsung menjemput kami di malam harinya. Hanya ada ketakutan di antara orang-orang yang telah ditindas dari segala sisi ini,” tambahnya.

Kepala polisi wilayah itu, Dilbagh Singh, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemberontak bersenjata menarget orang-orang yang mencoba untuk melanjutkan pekerjaan mereka seperti normal lagi.

Dia mengatakan bahwa target paling baru yang ditemukan adalah seorang pengemudi truk non-lokal yang berusia 45 tahun, dari negara bagian Rajashthan yang ditembak mati di distrik Shopian, Kashmir selatan, pada hari Senin malam ketika dia sedang memuat apel di truknya.

“Ada gerilyawan yang menyebarkan poster dan mengancam para pemilik toko dan petani,” kata pejabat itu. Dia menambahkan bahwa mereka telah melacak jaringan dari kelompok-kelompok bersenjata tersebut dan menangkap 20 orang.

Pejabat polisi mengatakan bahwa ancaman-ancaman itu telah muncul di distrik Kashmir selatan, tempat dimana pemberontak sedang aktif.

Selain sektor ekonomi, sektor pariwisata dan kerajinan tangan juga sangat terpukul. Hal itu dikarenakan arus masuk turis hampir berhenti total di tengah situasi keamanan yang membahayakan ini.

Abdul Ahad yang bekerja sebagai supir turis wisata, menuduh pemerintah ‘membawa para pekerja BJP’ ke Kashmir dan ‘menghadirkan mereka sebagai turis’.

“Mereka sibuk menunjukkan sektor pariwisata telah kembali normal melalui media propaganda mereka. Demokrasi yang mereka serukan di Kashmir didasarkan pada kebohongan. Mereka berbohong setiap hari,” katanya sambil mengisap rokok.

Senada dengan para pemilik toko, siswa sekolah dan mahasiswa di wilayah ini juga tidak ada yang pergi ke kelas mereka. Ujian tahunan sudah dekat, tetapi para siswa sama sekali belum menyelesaikan silabus mereka.

“Orang tua kami membesarkan kami selama 10-15 tahun. Kami belajar dan bekerja keras, tetapi suatu hari tiba-tiba kami terkena peluru (musibah). Apa masa depan kami? Mengapa kami harus khawatir tentang sekolah ketika kami tidak yakin tentang masa depan kami sendiri,” kata Bisma Shafi, seorang mahasiswa berusia 25 tahun.

“Apa arti sebuah pendidikan dalam situasi seperti ini, ketika hidup kami selalu terancam, ketika anak-anak dipenjara dan disiksa?” tanya Shafi.

Setelah tanggal 19 Agustus, ketika jam malam di Kashmir telah dicabut, pemerintah mengumumkan pembukaan kembali lembaga-lembaga pendidikan, tetapi para siswa menjauh darinya karena para orang tua takut akan keselamatan anak-anak mereka.

Seorang profesor perguruan tinggi di Srinagar mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka diminta oleh pihak berwenang untuk ‘memotivasi para siswa untuk menghadiri kelas-kelas’.

“Mereka ingin kami memberikan tugas kepada para siswa, memaksa mereka datang untuk ikut ujian, tetapi kami tidak ingin melakukannya, karena ini bukan situasi yang normal,” kata profesor yang tidak mau disebutkan namanya itu.

Banyak juga penduduk yang menyatakan kekecewaan mereka tehadap organisasi HAM internasional dan PBB.

“Apa yang sedang dilakukan oleh PBB?” tanya Sameed Ahmad, 31 tahun, yang bekerja di Timur Tengah dan datang ke Kashmir untuk menghadiri pernikahan saudara perempuannya.

“Mereka [PBB] tidak melakukan apa-apa untuk orang-orang yang tertindas di dunia, mereka telah gagal,” katanya.

Sumber : Aljazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *