Wakaf Non-Muslim kepada Muslim

Lembaga wakaf MUI (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Wakaf menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas. Bisa juga artinya hadiah atau pemberian yang bersifat suci.
Sementara dari segi bahasa wakaf diambil dari kata waqata, yang berarti berhenti. Oleh sebab itu wakaf dapat diartikan menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa digunakan untuk kebaikan.
Berdasarkan Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf sendiri adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya. Wakaf dikeluarkan untuk keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Lalu bagaimana adakah wakaf bagi Non-Muslim? Bagaimana pula hukumnya Musim menerima Wakaf dari Non-Muslim?
Dilansir dari Republika, pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara para fuqaha terkait kebolehan dan keabsahan wakaf non-Muslim kepada Muslim. Hal ini dijelaskan oleh Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU), KH Mahbub Ma’afi Ramdlan.
Wakaf yang Dibolehkan bagi Muslim
Kiai Mahbub melanjutkan, kebolehan wakaf tersebut dengan catatan, sesuatu yang diwakafkan itu memang layak untuk dimiliki Muslim.
Misalnya, kata kiai Mahbub, kalau ada wakaf dari perusahaan minuman keras itu jelas tidak boleh, karena itu dilarang bagi Muslim. Jadi, sepanjang orang Muslim itu bisa memilikinya, maka wakaf itu sah.
“Mengapa? Karena para ulama sepakat, bahwa Islam itu bukan merupakan syarat bagi sahnya wakaf,” tuturnya dikutip dari Republika.co.id, Senin (8/3).
Wakaf berorientasi pada manfaat dari harta-benda yang diwakafkan. Pemanfaatan itu terfokus hanya pada kebaikan semata untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Konsekuensinya, dzat harta benda wakaf itu sendiri tidak bisa ditasharrufkan karena dalam wakaf yang ditasharrufkan adalah manfaatnya sehingga harta-bendanya masih tetap utuh,” terangnya.
Dia melanjutkan, definisi wakaf menurut syariat adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya beserta kekalnya dzat harta-benda itu sendiri, dan dilarang untuk mentasharrufkan dzatnya.
Sedangkan mentasharrufkan kemanfaatannya yakni dalam hal kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar.