Virus Corona Telah Mengubah Prosesi Berkabung dan Pemakaman
HIDAYATUNA.COM – Kematian dalam tradisi Islam adalah peristiwa komunal. Umat Muslim biasanya berkumpul untuk melakukan sholat jenazah yang dipimpin oleh seorang imam dengan almarhum atau almarhumah diletakkan di depan para jamaah. Tetapi di tengah pandemi virus corona, status lockdown yang diterapkan di seluruh dunia telah mengubah cara orang-orang yang sedang berkabung, sekaligus mengubah prosesi pemakaman.
Di Inggris, pertemuan sosial saat prosesi pemakaman telah dilarang, beda halnya dengan di Italia yang masih diizinkan. Meski begitu, pemerintah sudah menetapkan pembatasan baru pada jumlah dari pelayatnya.
Hasina Zaman, salah seorang pendiri dari Compassionate Funerals di Inggris, menggambarkan bahwa pedoman dari pemerintah tentang pembatasan dalam prosesi pemakaman sebagai samar atau tidak jelas.
Di antara para pengurus prosesi pemakaman, ia juga menambahkan ada sebuah kebingungan mengenai apakah virus corona tersebut masih aktif setelah individu yang terjangkit itu telah meninggal.
Oleh karena itu, mengikuti saran dari Dewan Muslim Inggris, ghusl, prosesi pemandian mayat, hanya dapat dilakukan jika pengurus pemakaman telah mengenakan alat pelindung diri dari virus corona.
“Tapi saya pikir itu (ghusl) akan menjadi hilang seiring minggu-minggu ini terus berjalan,” kata Zaman.
Mansur Ali, seorang dosen dalam studi Islam di Universitas Cardiff, mengatakan bahwa British Board of Scholars dan para Imam di Inggris sekarang mulai merujuk pada ‘poin hukum Islam yang jarang digunakan terkait dengan prosesi pemakaman’.
Misalnya, prosesi memandikan mayat tidak lagi harus dilakukan, dan kantong mayat dapat digunakan untuk menggantikan kain kafan. Beberapa pengurus pemakaman Muslim juga telah mengambil langkah-langkah tersebut untuk mencegah risiko penularan dari virus corona itu sendiri.
“Mereka memasukkan mayat ke dalam kantong plastik khusus mayat, mereka melakukan tayammum (menyeka kantong mayat), memasukkan mayat ke dalam peti mati, dan langsung (memasukannya) ke kuburan,” kata Zaman.
Selain itu, saat ini pandemi virus corona juga telah meniadakan doa bersama dan pertemuan para pelayat saat prosesi pemakaman di banyak masjid, gereja, sinagog, dan kuil.
Di Iran, salah satu negara di dunia yang paling terdampak akibat COVID-19, prosesi pemakaman Muslim Syiahnya telah ditinggalkan, dengan keluarga dari almarhum atau almarhumah dilarang untuk datang ke kuburan, dan mayatnya langsung dikuburkan tanpa dimandikan terlebih dahulu.
Pada hari Rabu. United Synagogue, sebuah kesatuan dari sinagoge Orthodox British Jewish, mengumumkan bahwa upacara-upacara pengaturan batu pemakaman akan ditunda.
Semua perkuburan telah ditutup, dan mereka yang sedang duduk shiva, periode berkabung selama tujuh hari, telah diberi tahu bahwa mereka tidak boleh menerima pengunjung.
Di Irlandia, Irish Association of Funeral Directors, menyarankan kepada para pengurus prosesi pemakaman untuk tidak membalsem orang meninggal yang akan dikuburkan, dan untuk mengadakan acara pemakaman dengan peti mati dalam posisi tertutup dari yang biasanya diadakan dengan peti mati terbuka.
Saat ini, teknologi adalah solusi dan sumber informasi bagi sebagian orang, namun perlu diketahui juga bahwa masih banyak orang di luar sana yang belum bisa mengakses media sosial.
Di Llangollen, sebuah kota pedesaan di Wales utara, Pastor Lee Taylor mengetuai empat gereja yang tersebar di daerah itu.
Dia mengatakan bahwa langkah-langkah social distancing yang diambil oleh pemerintah telah berdampak pada anggota jamaatnya, yang termasuk para lansia yang tua dan rentan, yang mengandalkan pengumuman di gereja pada hari Minggu untuk mendapatkan sumber informasi.
“Banyak orang meninggal di komunitas saya, dan saya tidak dapat mengabari (teman-teman mereka) karena mereka tidak mempunyai media sosial,” katanya.
Dia mengatakan bahwa praktik pastoralnya terasa kaku dan apatis pada saat sebuah kehadiran dan sentuhan secara fisik merupakan sumber penghiburan yang sangat kritis bagi orang yang sedang berduka.
“Secara tradisional, ketika seseorang meninggal, saya akan mengunjungi kerabat terdekat dalam keluarganya. Berada bersama mereka secara fisik, berada di samping mereka, minum teh, meletakkan tangan di bahu mereka, berdoa bersama mereka dengan memegang tangan mereka, itu adalah bagian yang sangat penting dari pekerjaan sebagai seorang pastor,” kata Taylor.
“Ketika seseorang meninggal, kamu merasa terisolasi. Kamu merasa berada di hutan belantara. Dengan adanya pembatasan dan tindakan isolasi ini, rasanya sepuluh kali lipat lebih buruk lagi,” tambahnya.
Douglas Davies, seorang direktur dari Pusat Studi Kematian dan Kehidupan di Universitas Durham di Inggris, mengatakan bahwa hilangnya sebuah komunitas secara fisik di saat kesedihan terjadi pasti akan terasa pada seluruh tradisi agama maupun sekuler.
“Ada sebuah rasa kehilangan di masyarakat secara luas, kehilangan sebuah hubungan, kehilangan sentuhan manusia. Tetapi perasaan intuitif bahwa seluruh masyarakat juga telah kehilangan sesuatu pada saat ini, mungkin membuat lebih mudah bagi individu yang sedang berduka, merasa seperti berada di kapal (situasi) yang sama dengan ribuan orang lainnya,” kata Davies. (Aljazeera.com)