Pentingnya Peran Ustaz dalam Mendampingi Proses Mencari Ilmu
HIDAYATUNA.COM – Bagi seseorang Muslim mencari ilmu adalah kewajiban, hal ini didasari hadis nabi yang mewanti-wanti kita untuk terus mencari ilmu di mana pun kita berpijak. Baik saat masih belia maupun yang telah lanjut usia. Mencari ilmu tidak dilihat dari umur seseorang, tidak dilihat dari mana ia berasal, terpenting memiliki kemauan untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam Islam mencari ilmu memiliki keutamaan yang sangat penting. Bukankah ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah ”iqra’” yang memiliki arti “bacalah!” Hal ini mengindikasikan bahwa membaca merupakan jembatan utama dan pertama untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Tak berlebihan jika terdapat pepatah Arab yang menyatakan “الفهم يأتى بعد القراءة” (Pemahaman akan datang setelah membaca).
Proses mencari ilmu tentu akan banyak ditemukan jalan terjal yang menghampiri. Entah itu harus melawan rasa malas, ngantuk tak tertahankan, pekerjaan lain yang belum kelar. Belum lagi susahnya dalam memahami sari-sari yang harus direngkuh dalam jejeran kitab-kitab.
Imam Syafi’i pernah menyatakan dengan beberapa syairnya:
من لم يذق ذل التعلم ساعة # تجرع ذل الجهل طول حياته
“Barang siapa yang belum pernah merasakan pahitnya belajar walau sebentar saja, maka dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya”
Betapa pun sulitnya jalan terjal yang harus dicapai, Imam Syafi’i menyarankan paling tidak ada 6 syarat yang harus dimiliki dalam proses mencari ilmu. Kesemuanya harus terikat satu paket yang harus sejalan dalam proses perolehan ilmu. Di antaranya ialah:
- Kecerdasan (dzaka’)
- Rakus atau haus ilmu (hirshun)
- Semangat (ijtihad)
- Modal (bulghatun/dirham)
- Pendampingan guru (shuhbatu ustaz)
- Waktu yang panjang (thuulu zaman)
Mencari Ilmu dengan Pendampingan Guru
Dari keenam poin di atas, akan saya titik-tekankan pada “suhbatu ustaz” atau “pendampingan seorang guru”. Hal inilah yang sering diabaikan dan dilupakan, terlebih masa sekarang yang katanya serba digital. Berbagai fitur dan layanan banyak tersedia dalam satu genggam gadget yang begitu mudah dan murah didapatkan.
Tak jarang dari sebagian orang menjadikan internet sebagai rujukan primer untuk sekedar belajar tanpa mengetahui integritas dan kredibelitas website yang ditelusuri. Merasa cukup dengan internet yang menyebabkan menegasikan pentingnya peran seorang guru dalam rangka transfer pengetahuan. Baik untuk pengembangan ilmu umum, terlebih dalam mempelajari persoalan keagamaan.
Namun diakui atau tidak internet yang juga didalamnya meliputi media sosial seperti Facebook, WhatsApps, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya. Selain dijadikan alat komunikasi di satu sisi, juga di sisi lain dijadikan media. Utamanya untuk penyebaran ideologi melalui narasi-narasi keagamaan yang seolah bebas dari berbagai kepentingan.
Problemnya adalah di media sosial kita dapat menjadi apa pun. Berpeci dianggap ustaz, yang bersorban disangka kiai, bergamis disangka Habib. Meski hidung agak menenggelam sedikit.
Jika pakaian atau penampilan menjadi tolok ukur kesalihan dan integritas keilmuan seseorang. Boleh jadi seorang Abu Janda, ehhh Abu Lahab yang bergamis, jika di-Edo Tensei (hidup lagi) muncul di dunia digital sekarang akan dikira alim laiknya seorang habib. Kita benar-benar tidak mengetahui siapa yang ada di hadapan layar untuk kita keruk ilmunya.
Jangan Ngasal-Pilih Ustaz!
Fenomena dakwah dengan merebaknya ustaz yang terkadang mendapat hati di tengah-tengah pemuda berbanding terbalik. Antara banyaknya followers dan integritas rantai keilmuan (sanad) yang dimiliki tidak seimbang sehingga narasi keagamaan yang disampaikan cenderung parsial. Layaknya kacamata kuda, menafikkan yang lain dengan menganggap paham dan pemahaman dirinya-lah yang paling benar. Sementara yang lain salah.
Perlu digarisbawahi, fenomena di atas bahwa bukan hanya yang pandai beretorika tapi juga beretika. Bukan hanya yang lihai mencomot ayat ini dan hadis itu tapi juga pandai mengekstrak nilai-nilai rahmah yang terkandung dalam Alquran. Hingga mampu mengaplikasikannya dalam laku kehidupan.
Kembali pada posisi guru atau ustaz tadi, terdapat adagium menarik perlu kita renungi dewasa ini;
تحصيل العلم بالتلقى على يد الشيخ
“Ilmu diperoleh melalui tallaqi (pendampingan/ bertatap muka) dengan guru”
Jika merasa cukup hanya dengan kecanggihan teknologi yangmenyediakan pernak-pernik suguhan pengetahuan. Tanpa diimbangi suhbatu ustazin dan seleksi dari konten narasi keagamaan yang begitu beragam yang sarat akan kepentingan. Secara tidak langsung para penikmat media sosial tidak akan jauh berbeda dengan pohon sumbernya.
Jadi, jangan heran jika nanti budaya takfir dan membid’ahkan semakin membiak. Sementara konten yang mengemuka di media sosial adalah mereka yang biasanya cenderung eksklusif.
Peran Ustaz dalam Mendampingi Mencari Ilmu
Syaikh Bakr ibn Abdillah Abu Zaid juga memberi penekanan akan pentingnya seorang guru, agar tidak merasa cukup hanya membaca buku. Hal demikian termuat dalam kitabnya Hilya Thalib al-‘Ilm hingga ia menyebut guru sebagai “jalan pintas”. Dengan demikian “ilmu dapat mudah dipahami” serta “terjalin ikatan antara guru dan murid”.
Dari pernyataan syaikh Bakr, jika dihadapkan dengan zaman kita sekarang. Zaman dengan banyaknya referensi selain dengan buku, layanan e-book yang murah pun berserakan.
Ustaz-ustaz di kancah dunia maya juga membludak sehingga sering dijadikan rujukan sebagai bahan pembelajaran. Kita pun harus benar-benar pandai menyeleksi kapasitas dan integritas keilmuannya yang hendak digali. Tak hanya berhenti di situ, kita harus mengetahui latar belakang dan kejelasan rantai ilmunya.
Betapa pun berubahnya zaman, pendampingan guru (shuhbatu ustaz) atas murid sebagaimana disyaratkan Imam Syafi’i tetap dibutuhkan dan sangatlah penting. Hal itu untuk menjaga dari kesalahpahaman.
Baik dari sisi pendoktrinan ideologi tak kasat mata yang terselubung menggunakan cara halus dibungkus narasi keagamaan nan islami. Dengan sedikit memberi jarak dari pengetahuan yang diterima dengan cara membandingkan pengetahuan tersebut dengan narasi lain hingga terbentuk pemahaman yang komprehensif. Wallahu ‘Alam bi as-Shawab