Urban Sufisme, Oase di Tengah Dahaga Modernisasi

Tarbiyah Ruhiyyah Melalui Puasa Ruh, Akal, dan Jiwa (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Modernisasi kehidupan telah membawa manusia pada kemudahan teknis di segala lini.
Kemudahan-kemudahan tersebut merupakan buah dari spesialisasi ilmu pengetahuan yang diorientasikan pada cara-cara hidup efisien.
Terlebih dengan hadirnya smartphone, dari mulai bangun tidur sampai hendak tidur kembali banyak aktivitas yang melibatkan benda satu ini.
Mulai dari membeli sarapan, belanja kebutuhan sehari-hari, mobilitas, hiburan audio-visual, hingga panduan membaca doa sebelum tidur.
Bisa dibayangkan, dengan perilaku yang super efisien seperti itu, berapa aktivitas yang dapat dilakukan tanpa melibatkan diri dengan orang lain.
Berapa banyak kegiatan fisik yang dapat dihemat. Berapa lama waktu yang pada akhirnya teralokasikan untuk berdiam diri menatap layar smartphone.
Situasi seperti itu, di mana seseorang menjadi bergantung pada satu atau beberapa alat keseharian sangat mudah untuk terdampak perasaan terasing (alienasi diri).
Mereka disibukkan oleh sesuatu yang pada dasarnya bersifat instrumental, sehingga melupakan hal lain yang lebih penting yang sifatnya esensial.
Dalam kerawanan-kerawanan seperti itulah, manusia-manusia urban yang (kembali) gandrung pada spiritualitas dan laku sufisme muncul.
Saat mereka mulai menyadari adanya ruang kosong di dalam bagian hidupnya, mereka terdorong untuk segera menambalnya.
Melalui sufisme, hidupnya menjadi lebih penuh dan bermakna.
Persis seperti penamaannya, urban sufisme identik dengan perilaku masyarakat urban yang rasional, individual, non-kultus, filosofis, esensialis dan inklusif.
Urban sufisme (berbeda dengan sufisme tradisional) menekankan pada pencaharian makna hidup dan pencerahan jiwa melalui pergulatan internal.
Tidak jarang dari mereka menempuh pengembaraannya hingga melampaui tradisi dan pakem keagamaan resminya.
Di Indonesia, istilah urban sufisme mulai populer di tahun 1990-an. Diperkenalkan oleh Martin van Bruinessen dan Julia Howell dalam bukunya berjudul Urban Sufism.
Julia mengamati fenomena Yayasan Wakaf Paramadina pada masa itu yang salah satu concern-nya adalah menebarkan ajaran sufisme dalam kemasan yang menarik sehingga mengundang antusiasme masyarakat urban sekitarnya.
Meski demikian, secara teori fenomena urban sufisme bukanlah sama sekali baru. Ia tidak bisa dilepaskan juga dari sejarah tasawuf modern-nya Hamka dan neo sufisme-nya Nurcholis Madjid di Indonesia.
Tasawuf modern dikembangkan oleh Prof. Hamka dengan penekanan pada aspek perilaku dan etis masyarakat modern. Bagi Hamka, tasawuf dan modernitas bisa saling menopang dan menguatkan.
Berbeda dengan tasawuf tradisional yang dipandangnya lebih bersifat ritual dan isolasionil, tasawuf modern mendorong pengamalnya untuk mengintegrasikan antara kepentingan akhirat dan praktik duniawi seperti profesional, berwira usaha, hingga penyelenggara pemerintahan.
Neo sufisme di Indonesia dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid atau akrab disapa Cak Nur.
Dalam hal ini ia terpengaruh oleh gurunya yang berhaluan neo modernis Islam di Chicago, Fazlur Rahman.
Apabila tasawuf modern lebih menekankan pada sisi personal dan praksis, maka neo sufisme lebih kepada filosofi dan sosialnya.
Sebagai bentuk tangapan terhadap sufisme tradisional yang cenderung heterodoks, neo sufisme hadir untuk menegaskan kembali posisi Al-Qur’an dan hadis dalam penerapan sufisme.
Tidak heran bila secara historis, ajaran neo sufisme erat kaitannya dengan tokoh dan gerakan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Seperti yang digambarkan Julia Howell, Urban Sufisme di Indonesia lahir lebih belakangan.
Modernisasi di berbagai bidang di paruh kedua Orde Baru melahirkan mayarakat yang memungkinkan terjadinya gerakan-gerakan baru sebagai bentuk respon rohaniah terhadap realitas modern.
Dikutip dari tulisan Wasisto Raharjo Jati dalam Jurnal Kajian dan Pengembangan Manajemen Dakwah tahun 2015 berjudul, “Sufisme Urban Di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menenengah Muslim, urban sufisme lahir dan berkembang berbarengan dengan situasi yang sama di wilayah perkotaan lain di belahan dunia.
Ada kebutuhan untuk kembali pada dunia spiritualitas sebagai ekses modernitas yang serba rasional, individualis dan materialis sehingga hidup terasa kering dan hampa.
Kebutuhan akan pencarian jati diri dan makna hidup melahirkan gerakan-gerakan baru yang menekankan spiritualitas seperti Anand Khrisna dengan Brahma Kumaris-nya dan Lia Aminuddin dengan Komunitas Eden-nya.
Di samping itu, muncul pula Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir al-Musawwa, Majelis Dzikir Al-Dzikra pimpinan KH. Arifin Ilham, Majelis Ta’lim Qur’an, Manajemen Sedekah pimpinan KH. Yusuf Mansyur, dan Manajemen Qolbu pimpinan K.H Abdullah Gymastiar.
Menurut Komarudin Hidayat sebagaimana ditulis Oman Fathurohman dalam “Urban Sufisme; Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf” di situs oman.uinjkt.ac.id terdapat empat alasan tentang sufisme semakin berkembang di kota-kota besar.
Pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup.
Kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual.
Ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis. Keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan.
Keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan.
Sebagai sarana pencarian makna hidup, bisa dicirikan dari kemunculan majelis-majelis kerohanian seperti dzikir dan shalawat sebagaimana disebutkan di atas.
Sebagai kanal pencerahan, tema sufisme dan spiritualitas bermunculan dalam berbagai seminar, diskusi, halaqah dan semacamya.
Sebagai terapi, tasawuf bahkan belakangan dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri di perguruan tinggi.
Banyak ajaran dan praktik tasawuf yang beririsan dengan teori-teori psikologi modern sehingga dipandang menarik untuk dikaji dan diperkenalkan lebih jauh.
Dalam banyak kasus, perilaku sufistik juga tidak bisa lepas dari budaya populer yang menghiasi fenomena keberagamaan masyarakat.
Dengan hadirnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi, kebutuhan akan kembali mengenal laku sufisme dan spiritual semakin relevan.
Pola hidup masyarakat yang mengalami digitalisasi yang kemudian menciptakan dampak negatif baru seperti adiksi dan perasaan terasing dari realitas sosial memungkinkan pesatnya gerakan bercorak sufistik.
Dalam hal ini, muncul ‘santri online’ Ngaji Ihya yang diampu Ulil Abshar Abdalla, pelanggan konten Masjid Jenderal Sudirman (Ngaji Filsafat yang diampu Dr. Fahruddin Faiz), pengikut kajian Khalid Basalamah, penikmat Ngaji Gus Baha, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki dan sebagainya. []