Upaya Santri Menjaga Tradisi KeIslaman Indonesia
HIDAYATUNA.COM – Gus Dur dalam bukunya Islam Kosmopolitan (2007) berpandangan bahwa pesantren adalah subkultur. Sebagai subkultur, menurut Gus Dur, ada tiga unsur pokok yang menjadi prinsip pendidikan pesantren yang tetap bertahan sampai sekarang.
Pertama, pola kepemimpinan yang berada di luar kepemimpinan masyarakat umum. Kedua, literatur universalnya yang terus dipelihara, dan, ketiga, adanya sistem nilainya yang terpisah dari yang diikuti masyarakat luas.
Sebagai subkultural, pesantren telah mewarnai pendidikan khas Indonesia. Tidak hanya mewarnai, pesantren juga menjadi penjaga dan pelestari tradisi keislaman (di) Indonesia.
Lebih dari itu, pesantren juga mampu melahirkan kader-kader tangguh untuk merawat Indonesia. Terhadap kekhasan Islam di Indonesia, diperlukan upaya-upaya santri dalam menjaganya.
Upaya yang menurut penulis tidaklah mudah, bahkan menemui berbagai tantangan. Kemampuan dan kecakapan santri dituntut agar mampu menjaga role model keberagamaan Islam Indonesia. Agar tetap lestari budayanya, lestari nilai-nilai luhurnya dan lestari segala apa yang dikandungnya.
Selalu Meningkatkan Pengetahuan
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren (1981) mengatakan bahwa, tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan duniawi. Akan tetapi ditanamkan kepada para santri bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Artinya, kepada para santri ditekankan bahwa belajar adalah sebuah kewajiban dan sebagai bentuk pengabdian, kepasrahan, dan ketundukan kepada Allah SWT.
Prinsip dasar pengabdian, kepasrahan dan ketundukan kepada Allah inilah yang menjadi pompa untuk santri selalu belajar. Belajar apa saja yang di ajarkan selama di pondok pesantren. Mulai dari keilmuan yang paling dasar sampai jenjang yang lebih tinggi.
Melihat kondisi arus informasi yang cukup deras tak terbendung. Orang dengan mudah mengakses berbagai pengetahuan keagamaan di media sosial.
Entah dari mana rujukannya, yang terkadang tak tau siapa gurunya. Tentu ini berbeda dengan tradisi keilmuan di pesantren yang harus bandongan ataupun sorogan dalam proses transfer keilmuan. Sanadnya jelas, tidak hanya bermodal mbah gugel.
Disinilah peran santri, ketika di pesantren telah dibekali dengan berbagai perangkat pengetahuan, baik itu ilmu balaghoh, mantiq, fiqih, tasawuf dan lain-lain. Harus mampu memberi warna baru baik itu dijagad media sosial maupun ketika pulang ke masyarakat untuk menjaga tradisi dan wajah keislaman Indonesia.
Membangun Budaya Berpikir Kritis
Mampu berfikir kritis adalah lanjutan dari penguasaan perangkat keilmuan. Bagi santri berfikir kritis mungkin sudah biasa. Sebab, di pesantren mereka telah dibekali dengan berbagai keilmuan untuk memecahkan sebuah persoalan.
Salah satu yang membentuk pola kritis itu adalah adanya forum-forum musyawarah atau forum diskusi-diskusi. Keberadaan forum-forum ini terus ditunjang dan dilestarikan.
Salah satunya adalah kegiatan bahtsul masail. Bahtsul masail ini bertujuan melatih para santri untuk menyikapi problem keummatan atau juga untuk menjawab problem kontemporer. Seperti bagaimana cara santri memecahkan isu hate speech, hoax, dan lain-lain.
Budaya seperti bahtul masail ini terus dilestarikan dari waktu ke waktu untuk mencetak santri yang mampu memberikan solusi kepada ummat. Tidak hanya memberi solusi, tetapi juga membawa perubahan dan angin segar terhadap keberlangsungan keberagamaan ummat Islam di Indonesia.
Sebagai Agen Perubahan
Mendengar kata agent of change, mata kita akan tertuju kepada para mahasiswa. Padahal sematan agent of change tersebut juga bisa sematkan kepada para santri.
Loh, kok bisa? Ya jelas bisa kalau pertanyaan cuma begitu. Buktinya? Ya saya jawab, “Banyak”.
Mari kita flashback sebentar. Ketika Indonesia awal-awal merdeka, laskar yang dikomandoi santri asal Cirebon, Kiai Abbas Buntet, mampu menumpas penjajah dengan segala kekuatan dan persenjataan yang ada.
Lebih jauh lagi, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan kiai-kiai lainnya mampu membentuk gerakan keagamaan yakni NU sebagai garda terdepan menjaga NKRI.
Hari ini, sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Santri mampu merangkak masuk ke berbagai lini. Entah itu politikus, konglomerat, dan lainnya.
Gus Dur, misalnya, pernah menjadi orang nomor wahid di negeri ini. Gus Dur adalah seorang putra dari Kiai Wahid Hasyim dan cucu Kiai Hasyim Asy’ari yang notabenenya tidak hanya santri.
Di tangan para santri, kita masih banyak menyimpan harapan-harapan besar yang tidak hanya membawa Islam rahmah, tetapi juga membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Semoga negeri ini selalu menjadi negri yg baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahu’alam bish-showab.