Undang-Undang Baru Prancis Terus Tuai Protes Para Muslim
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pada hari Ahad kemarin (14/2) para pengunjuk rasa berkumpul di Paris. Mereka menggelar demonstrasi undang-undang yang diusulkan pemerintah Prancis yang disebut diskriminatif terhadap Muslim.
Kerumunan demonstran berkumpul di Trocadero Square untuk melawan RUU yang dijuluki sebagai Charter of Republican Values. Salah satu pengunjuk rasa, Hanane Loukili mengatakan bahwa dia adalah salah satu korban dari Islamofobia di Prancis.
Dia mengatakan sekolah yang dia kelola ditutup pada November lalu dengan alasan tidak memenuhi standar keamanan. Keltouma mengatakan sekolah yang ditutup itu inklusif dan kini fasilitas para siswa itu justru dirampas hak dasarnya.
“Sekolah adalah tempat yang aman bagi anak perempuan yang ingin berdandan secara konservatif,” kata Hanane Loukili. Dilansir dari Anadolu Agency, Senin (15/2/2021).
Sementara itu kepala EuroPalestine, sebuah asosiasi pro-Palestina, yakni Olivia Zemor mengatakan undang-undang Prancis yang diusulkan membuka jalan bagi situasi yang lebih berbahaya. Hal itu lantaran berpotensi menempatkan publik di bawah kendali dan pengawasan.
“Memperhatikan bahwa undang-undang Prancis serupa dengan kebijakan negara Israel di Palestina,” ujar Zemor.
Ia mengatakan Prancis sedang mengalami krisis sosial dan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kemudian Muslim dipilih sebagai kambing hitam selama periode tersebut.
“Tahun lalu, RUU itu diperkenalkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk melawan apa yang disebut ‘separatisme Islam’,” jelasnya.
Ini dikritik karena menargetkan komunitas Muslim dan memberlakukan pembatasan di hampir setiap aspek kehidupan mereka.
Kebijakan tersebut adalah satu cara pemerintah untuk mengatur dan ikut campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi masjid. Serta mengontrol keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah milik Muslim.
“Ini juga membatasi pilihan pendidikan komunitas Muslim dengan mencegah keluarga memberikan pendidikan rumah kepada anak-anak,” ungkapnya.
RUU itu juga melarang pasien memilih dokter berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain dan mewajibkan “pendidikan sekularisme” bagi semua pejabat publik.