Umat Islam Perlu Pelajari Kitab Agama Lain, Kenapa?
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Antropolog King Fahd University Arab Saudi, Sumanto Al Qurtuby memberkan pentingnya umat Islam mempelajari kitab agama-agama lain, seperti kitabnya orang Yahudi ataupun kitabnya oran Nasrani (Kristen).
Ia menilai umat Islam tidak akan bisa memahami secara “kaffah” (komprehensif) konteks dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kesejarahan dan legenda masa lalu, jika tidak membaca dan mempelajari kitab-kitab suci (atau yang disucikan) agama-agama Semit sebelumnya.
“Khususnya Yudaisme (Yahudi) dan Kristen (khususnya Kekristenan Timur Tengah seperti Syriac Orthodox, Maronite dan lainnya, bukan Kristen ala Eropah seperti Protestantisme dan Katolisisme),” kata Sumanto Al Qurtuby dikutip Hidayatuna dari postingan di akun Facebooknya, Kamis (27/8/2020).
Menurut Sumanto, karena dari sanalah awal-mula (sebagian) kisah-kisah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Untuk itu, umat Islam tidak bisa mengelak dengan mengatakan: “Itu bersumber dari Allah” karena faktanya banyak tokoh & kisah historis maupun legenda yang memiliki banyak sekali kemiripan dengan apa yang dinarasikan dalam kitab-kitab umat Yahudi maupun Kristen yang ratusan/ribuan tahun lebih dulu ada di kawasan Timur Tengah.
“Jauh sebelum agama Islam secara resmi lahir di abad ketujuh dengan “sang proklamator”-nya Nabi Muhammad. Dalam konteks historis, tentu saja tidak mungkin kalau umat Yahudi dan Kristen yang mengadopsi atau mengadaptasi Al-Qur’an karena mereka lahir terlebih dahulu sebagai sebuah “komunitas agama”,” jelasnya.
Simak saja misalnya, kisah-kisah tentang tokoh-tokoh masa lalu, seperti Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Ayub, Daud, Yakub, Yusuf, Ishak, Sulaiman, Fir’aun, dan lain sebagainya. Semua itu kata Sumanto, tercantum di kitab-kitab Yahudi, termasuk kisah-kisah “ajaib” mengenai cerita membelah lautlah, kapal dan banjir, tongkat sakti hingga kisah tentang berbicara dengan hewanlah.
“Tujuan mempelajari kitab-kitab itu untuk mengetahui akar dan konteks sejarah dan penulisan kisah-kisah tersebut sehingga umat Islam bisa lebih terbuka, berwawasan luas, intelek, dewasa dan tidak kagetan, apologetik, dan emosian dalam menyikapi pendapat atau kritisisme wacana keagamaan yang berkembang,” ungkapnya.
Semua cerita-cerita yang termaktub dalam kitab-kitab tersebut ada konteks sosio-historisnya, ada penulisnya, ada zamannya, ada sebab-musababnya.