Tuanku Imam Bonjol : Sosok Jendral Kaum Paderi
Tuanku Imam Bonjol alias Muhammad Syahab alias Peto Syarif ibn Pandito Buya Nuddin (Buyanuddin) adalah pemimpin Gerakan Paderi. Ia menyebarkan pemurnian agma Islam di Minangkabau. Lahir tahun 1772 di Tanjung Bungo, Alahan Panjang. Data akurat tentang tahun kelahiran Imam Bonjol tidak tersedia. Tahun kelahirannya sendiri adalah merupakan kesepakatan para sejarawan karena pada tahun 1832 Imam Bonjol pernah berkirim surat pada Kolonel Elout dan menerangkan bahwa beliau berumur 60 tahun.
Asal usul Imam Bonjol dapat diketahui melalui tambo. Dalam tambo tersebut disebutkan bahwa keluarga Imam Bonjol berasalh dari alahan panjang dan Rao. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama Muhammad Syahab dari pasangan Khatib Rajamuddin, seorang guru agama yang berasal dari Nagari Sungai Rimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Hamatun seorang pendatang dari Maroko.
Sebagai seorang guru agama, Buyanuddin sudah lama menetap di Kampung Tanjuang Bungo. Dai perkawinannya ia dikaruniai empat orang anak terdiri dari seorang lelaki dan tiga perempuan. Mereka adalah Muhammad Syahab (Tuanku Imam Bonjol), Sinik, Santun, dan Halimatun. Buya Nuddin lalu memboyong istri dan anak-anaknya untuk menetap di Kampung Koto, perkampungan yang diberikan Datuak Bandaro kepada orang tua mereka.
Satu hal yang melekat pada Muhammadiyah Syahab adalah pengaruh ayahnya, Khatib Rajamuddin, seorang guru agama yang taat dalam menjalankan ajaran Islam. Sosok ayahnya yang berpegang teguh pada ajaran berpendirian teguh, tegas dan tidak mudah berubah menjadi panutan baginya.
Muhammad Syahab mendapat pendidikan tentang Islam dari ayahnya semenjak dari kecil. Ia disuruh dan dibiasakan untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Ketika ia berumur tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian diasuh dan dididik oleh kakeknya yang bernama Tuanku Bandaro yang tinggal di Kampung Padang Lawas Kanagarian Ganggo Hilir. Selain diajarkan membaca Al-Quran dan hukum-hukum Islam, ia juga mempelajari pengetahuan mengenai pandai besai, pertambangan, silat, dan keahlian lainnya yang harus dimiliki oleh seorang pemuda Minang. Ia pun kemudian digelari Peto Syarif (ulama).
Setelah Peto Syarif menyelesaikan pelajaran agamanya di Alahan Panjang, ia memutuskan untuk meninggalkan kampungnya untuk pergi menuntut ilmu ke Kampung Muaro di Pauah Gadih, Kecamatan Suliki yang tidak lain adalah kampung ayahnya sendiri. Dari sana Imam Bonjol kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pasir Lawas di Palupuh. Setelah itu Imam Bonjol kembali ke kampugnya untuk mengembangkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat.
Peto Syarif di usia 20 tahun 1792 pergi bersama Dauak Bandaro memperdalam ilmunya kepada Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Kec. Ampek Angkek, Kabupaten Agama. Tuanku Nan Tuo merupakan salah satu murid dari Syaikh Burhanuddin , seorang ullama penganut aliran Syattariyah di Ulakan, Pariaman.
Berbeda dengan Pamasiangan yang menganut aliran Syattariyah, Tuanku Nan Tuo menganut aliran taerak Naksabandiyah. Tarekat ini dianggap lebih dekat dengan aliran ahl sunnah wal jamaah sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Kuto Tuo Kecamatan Ampel Angkek di bawah pimpimnan Tuanku Nan Tuo berkembang menjadi pusat pengajaran fiqh, Al Qur’an dan hadist.
Peto Syarif adalah seorang murid yang dengan cepat dapat memahami semua pelajaran yang disampaikan oleh Tuanku Nan Tuo. Karena itulah ia diangkat oleh Tuanku Nan Tuo. Dengan demikian ia mendapatkan dua keuntungan sekaligus yakni tambahan pengetahuan agama dan pengalaman menjadi seorang guru.
Pada tahun 1800 Peto Syarif menamatkan pendidikannya dengan Tuanku Nan Tuo. Ia menghabiskan waktu delapan tahun dan selesai dengan hasil sangat memuaskan. Semenjak itu ia diberi gelar Malin Basa. Apabila dianalogikan dengan sistem pendidikan modern, maka Malin Basa merupakan seorang sarjana Islam yang sudah bertahun-tahun mengajarkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Pada tahun ini juga Malin Basa yang berusia 28 tahun berangkat ke Aceh untuk memperdalam pengetahuan agama Islam kepada ulama-ulama besar di sana. Malin Basa tidak belajar ke Ulakan namun langsung ke Aceh karena aliran Syattariyah yang berpusat di Pariaman berbeda dengan yang diperolehnya dari Tuanku Nan Tuo.
Sebelum memulai tugas suci tersebut, Malin Basa menikah dengan seorang wanita di kampungnya pada tahun 1802. Mereka hidup dengan bahagia. Setelah menikah malin Basa menetap di sana sambil mengajarkan Islam. Setahun kemudian, Malin Basa berangkat ke Bansa, Kamang untuk menimba ilmu dengan Tuanku Nna Renceh. Beliau merupakan seorang ulama yang ingin mengadakan pembaharuan terhadap praktek-praktek ajaran Islam yang telah menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Berbeda dengan Tuanku Nan Tuo yang memilih jalan damai, Tuanku Nan Renceh ingin melakukannya dengan jalan kekerasan supaya amar makruf nahi mungkar dapat ditegakkan. Beliau sangat terkenal dan pengikut serta murid-muridnya tersebar di mana-mana. Di Kamang, Malin Basa tidak hanya mempelajari pengetahuan agama Islam tetapi juga pengetahuan tentang strategi perang. Bahkan akhirnya pendidikannya lebih dititikberatkan kepada cara mengendarai kuda sambil memimpin pasukan, taktik dalam memimpin peperangan, mencari tempat yang strategis untuk menyerang dan bertahan, serta cara mengendalikan pasukan.
Pada tahun 1802, Malin Basa diperintahkan oleh Tuanku Nan Renceh untuk mendirikan sebuah benteng di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Selama di Batusangkar , Malin Basa belajar ilmu militer kepada Haji Piobang. Setelah pembangunan benteng selesai, ia kembali ke Tuanku Nan Renceh. Pada tahun 1807, Malin Basa menamatkan pendidikan agama dan militernya di Kamang. Selanjutnya ia diutus ke kampungnya sendiri untuk mendirikan benteng juga di sana.
Sekembalinya ke Alahan Panjang, Malin Basa terus mengembangkan Islam di sana. Ia mendapat dukungan penuh dari Datuak Bandaro yang memegang kekuasaan tertinggi di Alahan Panjang. Setelah Datuak Bandaro wafat, Malin Basa merasa sangat kehilangan sosok yang memiliki andil dalam usaha pengembangan Islam di Alahan Panjang.
Sepeninggal Datuak Bandaro kemudian diadakan pemilihan pemimpin Alahan Panjang sselanjutnya. Berdasarkan kesepakatan ditetapkan empat orang yakni Tuanku Mudo, Tuanku Hitam, Tuanku Gapuak, dan Tuanku Kalnat. Semenjak itulah nama Malin Basa berubah menjadi Tuanku Mudo. Tuanku Imam Bonjol yang bergelar Tuanku Mudo terpilih menjadi pengganti Datuak Bandaro untuk menjalankan pemerintahan karena kepintaran, kejujuran dan keuluasan ilmunya terkait agama Islam.
Sedangkan pemimpin lainnya terpilih karena keberaniannya. Walaupun Tuanku Mudo merupakan pemimpin termuda, namun ia dipercaya menjadi kepala pemerintahan. Di bawah pemerintahannya Alahan Panjang mulai melakukan pembangunan. Pengajaran agama Islam pun lebih digiatkan dan kesejahteraan masyarakat juga mulai meningkat.
Masa perjuangan Tuanku Imam Bonjol dimulai ketika ia diperintahkan oleh Tuanku Nan Renceh untuk kembali ke kampungnya pada tahun 1807. Tuanku Mudo mulai mencari daerah strategis untuk dijadikan benteng pertahanan. Pilihan pun jatuh pada daerah Bukit Tajadi di sebelah timur Alahan Panjang. Benteng ini kemudian dinamakan Bonjol.
Bonjol dalam bahasa Indonesia berarti “benjolan atau tonjolan”, adalah simbol bahwa benteng ini didirikan untuk pemeliharaan pranata Islam yang benar, melawan semua tindakan yang melawan hukum dan memperingatkan seluruh umat untuk melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Tuanku Mudo diangkat sebagai pemimpin benteng. Sejak saat itu ia dipanggil Tuanku Imam Bonjol.
Setelah pembangunan Benteng Bonjol selesai, Tuanku Imam Bonjol mulai menyebarkan pemurnian agama Islam ke daerah sekelilingnya. Imam Bonjol dibantu oleh Tuanku Nan Barampek dan para hulubalang. Barisan hulubalang ini merupakan penunjang utama dari setiap gerakan pembaharuan Imam Bonjol. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang tegap dna gagah berani serta bersedia berjuang sampai titik darah penghabisan. Di barisan belakang adalah masyarakat yang secara sukarela ikut berjuang.
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang yang cinta damai. Oleh karena itu taktik perang dimulai dengan diplomasi. Pertama ia mengirim ahli diplomasi ke negeri yang menjadi target pembaharuan. Mereka lalu mengadakan perundingan dengan pemuka-pemuka masyarakat setempat mengenai maksud dan tujuan Gerakan Paderi.
Gerakan Paderi adalah gerakan yang memberantas praktek-praktek non Islami yang dijalani masyarakat. Apabila anak negeri tersebut mau mengikuti gerakan kaum Paderi dan membantu memurnikan ajaran Islam, maka negeri tersebut dijamin keamanannya. Sebaliknya jika mereka menolak amak negeri tersebut akan diserang. Harta mereka akan disita untuk dijadikan tambahan modal perang. Dengan strategi ini, Imam Bonjol berhasil memperluas daerah kekuasaan Paderi bahkan sampai daerah Tapanuli Selatan.
Pada tahun 1820, Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin tertinggi gerakan Paderi menemui ajalnya. Sebelum meninggal Tuanku Nan Renceh telah menunjuk Tuanku Imam Bonjol untuk menggantikannya. Penunjukannya ini berdasarkan prestasi Imam Bonjol dalam Gerakan Paaderi. Pendirian Benteng Bonjol merupakan sebuah prestasi luar biasa dari Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol diangkat menjadi pemimpin tertinggi Gerakan Paderi keika berusia 48 tahun. Tugas yang dipikul Imam Bonjol sangat berat karena beliau tidak hanya menghadapi para pemuka adat saja namun juga kekuatan asing yakni Belanda yang telah menguasai Padang sejak 1819.
Secara garis besar pergolakan di Minangkabau terbagi tiga, pertama fase perang saudara antara kaum adat yang menyimpang dengan Gerakan Paderi (1809-1921). Fase selanjutnya (1821-1832) ditandai dengan bersatunya pemuka adat dengan kaum Paderi untuk melawan penjajah Belanda. Komitmen ini disepakati dalam perjanjian Tandikat pada tahun 1832. Tujuannya hanya satu, yakni mengusir panjajah dari tanah Minangkabau.
Di bawah pimpinan Imam Bonjol, perjuangan terus dilancarkan. Dengan semangat jihad fisabilillah, Imam Bonjol dan pasukannya berusaha melawan Belanda. Peperangan sempat terhenti setelah penandatanganan Perjanjian Masang pada tahun 1824. Pada saat itu, Belanda sedang memusatkan perhatiannya ke Pulau Jawa karena di sana terjadi Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Jawa dapat dipatahkan, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran ke seluruh Sumatra Barat.
Gubernur Jendral Van Den Bosch ikut turun memimpin penyerbuan, namun gagal membujuk Imam Bonjol dengan maklumat Plakat Panjang. Dengan alasan mengajak berunding, Belanda menjebak dan menangkap Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol ditangkap di Palupuh pad atanggal 28 Oktober 1837. Beliau di bawa ke Bukittinggi pada 5 November 1837. Tidak lama kemudian, beliau dipindahkan ke penjara di Padang. Namun sekalipun telah dipindahkan ke Padang, amsih banyak pengikut Imam Bonjol yang setia dan sering mengunjunginya. Selanjutnya, tanggal 23 Januari 1838 berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, beliau diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Selama dipengasingan, Imam Bonjol diizinkan menjadi guru agama. Oleh karena kewibawaan dan pengaruhnya, pemerintah kolonial merasa curiga sehingga memindahkan Tuanku Imam Bonjol ke Ambon. Selang dua tahun di sana, pada tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di tempat ini beliau hidup seperti rakyat biasa setelah di tempat pengasingan sebelumnya beliau dihomati sebagai pemimpin dengan beberapa fasilitas tertentu. Tuanku Imam Bonjol tutup usia pada tanggal 6 November 1864 seusai menjalankan masa pembuangan selama 27 tahun. Beliau dimakamkan di Lutak, Minahasa