Tren Pernikahan Jadi Komoditi Media

 Tren Pernikahan Jadi Komoditi Media

HIDAYATUNA.COM – Pernikahan menjadi momen sakral bagi setiap manusia. Selain sebagai perubahan status dan tambahnya tanggung jawab, menikah juga menjadi jalan berpahala yang telah dilegitimasi oleh ayat-ayat di kitab suci dan tauladan Kanjeng Nabi Muhammad.

Hanya saja momen yang sakral itu kini banyak terkomodifikasi dengan balutan narasi agama. Menikah jadi ladang bisnis menjanjikan untuk memperoleh pundi-pundi kapital dengan seminar syar’i, nikah sesuai sunnah, membina keluarga berlandaskan agama, dan semacamnya. Kita banyak mendapati itu di berbagai media.

Saya sendiri kerap menemukan akun promosi pernikahan yang bersliweran di beranda media, khususnya instagram. Secara tidak langsung, akun itu mengajak pembaca untuk bergegas menikah agar terhindar dari zina. Narasi dibangun sedemikian rupa oleh mereka untuk menggait pembacanya dengan grafis milenial. Hal itu banyak menuai keberhasilan, minimal diindikasikan dengan semakin banyaknya pengikut di akun tersebut dan komentar di setiap postingannya.

Bila diamati lebih lanjut, konten di media itu bisa kita petakan dalam dua bagian yang saling terkait. Kendati begitu, konten-konten yang diunggah juga terselip paham yang cenderung konservatif, literal, dan tentu saja fundamental.

Dua Bagian Konten

Konten sebelum pernikahan memuat kemudahan mahar bagi perempuan kepada pria. Media itu menarasikan bahwa perempuan yang memudahkan mahar adalah perempuan baik. Padahal jika ditelisik dari riwayat pernikahan Kanjeng Nabi dengan istri-istrinya, mahar yang diberikan tidak hanya mudah apalagi murah, tetapi juga memiliki nilai guna untuk kehidupan berumah tangga.

Selain itu ada banyak konten-konten yang menganjurkan untuk bergegas menikah. Tidak perlu khawatir soal rezeki karena, narasi yang dibangun pada konten itu sudah dijamin oleh-Nya. Narasi tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebab kenyataannya dalam berumah tangga perlu seperangkat pengetahuan, penguasaan emosional, dan kemantaban untuk menjalin relasi langgeng bersama.

Adapun konten saat berumah tangga, media-media ini mengusung narasi patriarkis dengan legitimasi sunah Kanjeng Nabi dan para sahabat. Keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah bisa dibangun bila istri patuh dan taat seutuhnya kepada si suami. Segala yang diucapkan oleh si suami, istri mesti menuruti sekali pun itu bertentangan dengan batinnya.

Tipe Orientasi Fikih dan Bias Gender

Tentu saja narasi ini cukup kontradiksi dengan laku Kanjeng Nabi, para sahabat, apalagi ayat-ayat di kitab suci. Bahwa perempuan dalam payung keluarga lamat-lamat diangkat derajatnya dengan sekian keleluasaan dan kebebasan, baik dalam berpendapat maupun bertindak.

Yulmitra Handayani di artikelnya Hukum Perkawinan Islam di Ruang Digital (2021) mengamati konten di media tentang pernikahan ini cenderung pada dua tipologi; fiqh-oriented dan bias gender. Dua tipologi semacam ini memang mesti ditemui, tidak hanya dalam konteks pernikahan, tetapi juga dalam hal lainnya. Maka lumrah jika kerap didapati diksi halal-haram, baik-buruk, sunnah-bid’ah, surga-neraka, dan semacamnya.

Di sisi fikihnya sendiri, mereka cenderung memilah legitimasi-legitimasi yang sesuai tanpa mengoreksi penjelasannya secara komprehensif. Ayat, hadis, atau kalam ulama hanya dipenggal sepotong-sepotong. Konten semacam ini memang memudahkan pemahaman pembacanya, tetapi juga memberi jarak pada bentuk pengetahuan yang paripurna. Pembaca yang tidak sadar mesti mengamini tidak disertai pengamatan yang jeli.

Sementara dari sisi bias gendernya, dasar argumentasi yang digunakan juga melulu mengutip dari hadis-hadis misoginis. Perempuan diposisikan sebagai objek yang hanya memiliki nilai fungsi biologis. Perempuan juga tidak dilihat sebagai manusia utuh yang memiliki kehendak, hak bebas memberi pendapat dan mengambil keputusan, sekaligus memberi kritik pada pria saat kondisi khilaf dan salah.

Maka dari itu, saya rasa perlu banyak konten-konten tandingan yang menyediakan sekian kajian fikih, tarikh, atau akhlak ihwal pernikahan. Orientasinya tidak hanya menyasar pada perbaikan derajat istri, tetapi juga untuk merekonstruksi atau meluruskan ulang pemahaman menikah berbasis agama yang utuh. Begitu.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *