Transformasi Pemikiran Raden Hidayat Alias Ki Bagus Hadikusumo
HIDAYATUNA.COM – Raden Hidayat merupakan tokoh yang lahir dan besar di lingkungan Muhammadiyah, tepatnya di kampung Kauman Yogyakarta. Raden Hidayat mendapatkan pendidikan agama dari sosok ayahnya langsung, Raden Kaji Lurah Hasyim dan juga kiai-kiai di kampung Kauman, Yogyakarta.
Raden Hidayat, lahir tanggal 24 November 1890, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Ki Bagus Hadikusumo. Lahir dari keluarga yang dekat dengan Keraton Yogyakarta menjadikan Raden Hidayat kecil giat belajar ilmu agama dan kebudayaan Jawa.
Kehidupan Raden Hidayat tidak jauh dari gurunya, KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah, salah satu organisasi keagamaan Indonesia yang modern dan reformis. Mengikuti jejak gurunya, Raden Hidayat alias Ki Bagus Hadikusumo menempuh karir di organisasi Muhammadiyah.
Karir dimulai dari Ketua Majelis Tabligh di tahun 1922, Ketua Majelis Tarjih, Anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah tahun 1926. Lalu sampai menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada tahun 1942-1953.
Keuletan Ki Bagus ini telah membuka jalan mulus dalam karir ketokohannya. Sebagai tokoh yang berpengaruh di kalangan umat Islam, lebih-lebih di organisasi, Muhammadiyah mampu memberangkatkannya ke Tokyo bersama Bung Karno dan Bung Hatta oleh Jepang pada tahun 1943.
Ideologi Ki Bagus Hadikusumo
Dengan kapasitas yang mempuni dalam bidang agama, Ki Bagus justru mempunyai keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Hal itu dilontarkan pada saat sidang BPUPKI bersama dengan kelompok Nasionalis Muslim yang lain.
Tapi, ide-ide tersebut malah ditentang atau mendapat penolakan dari kelompok Nasionalis Netral yang menganggap bahwa seharusnya Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara. Salah satu dari tokoh Nasionalis Netral Agama yaitu Mohammad Hatta.
Hatta dengan bulat mengusulkan pendirian negara Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan nasional, dan takan memisahkan negara dari agama. Tetapi hal ini bukanlah negara sekuler seperti di Barat (Yamin, 1959:115).
Pada akhirnya Soetomo mendukung pemikiran Bung Hatta, dengan mendirikan negara agama (Islam) di Indonesia, berarti memberi kesempatan terhadap perpecahan umat di Indonesia. Sebab Indonesia sendiri mempunyai latar belakang kehidupan yang plural.
Meski begitu, Ki Bagus tetap pada komitmen awal, bahwa Indonesia harus menjadi negara agama, negara yang berideologi Islam. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa umat Islam di Indonesia lebih dari 60% dari umat agama lain.
Komitmen ini menimbulkan polemik di lingkungan para tokoh bangsa. Meski pada akhirnya Ki Bagus harus merasa sakit hati karena idenya ditolak oleh koleganya, Ki Bagus memilih untuk tidak bergabung dengan sidang-sidang berikutnya.
Sebelum akhirnya Ki Bagus bisa bernegosiasi dengan argumen KH. Ahmad Sanusi, yang mengatakan bahwa Alquran tidak hanya mengatur urusan akhirat, melainkan juga urusan-urusan dunia. Meskipun secara pribadi Ki Bagus kecewa dengan keputusan ini, akan tetapi ia tampil sebagai pemimpin Muslim patriot dan nasionalis yang sumbangsi politik pada negara dan bangsa sangat besar.
Komitmen Kuat Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus mengajari cara pandang terhadap kebangsaan dengan penuh kesabaran karena ide-ide yang diupayakan dibantah oleh koleganya sendiri. Tetapi karena ada komunikasi yang baik antara sesama tokoh bangsa, pada akhirnya Ki Bagus bisa berkompromi dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
A.M. Fatwa seorang politikus Muhammadiyah mengatakan, bahwa seperti ditulis oleh Nur Hidayat Sardini dalam buku 60 Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016. Penerimaan Ki Bagus terhadap usulan teman-temannya yang menginginkan Pancasila sebagai ideologi bisa dikatakan bahwa hal itu telah memperlihatkan kebesaran hati. Hal itu demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Tidak peduli pada cita-cita untuk menerapkan menerapkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini tidak membuat Ki Bagus mengingkari komitmen berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, dari kiprah dan perjuangan terhadap komitmen kebangsaan yang Ki Bagus lakukan terhadap bangsa Indonesia. Atas dasar itulah di Hari Pahlawan Nasional tanggal 10 November 2015, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melalui Keppres No. 116/TK/Tahun 2015 tanggal 4 November 2015 menganugerahi Ki Bagus sebagai Pahlawan Nasional bersama dengan empat tokoh lainnya.
Di sini, sosok Ki Bagus Hadikusumo mampu memberi cara pandang baru terhadap konsensus kebangsaan yang sudah digagas dan diperjuangkan oleh para tokoh bangsa. Bahwa, ketidak sepahaman kita, ide-ide yang ditolak harus mampu dilebur oleh rasa cinta terhadap Indonesia.
Sebab, bagaimanapun Indonesia bukan negara agama, melainkan negara kebangsaan yang di dalamnya tumbuh benih-benih agama. Semua itu harus dirawat dengan baik demi kesatuan dan persatuan bangsa.