Tragedi Perkosaan di Hari Kemerdekaan: Benarkah Kita Sudah Merdeka?

 Tragedi Perkosaan di Hari Kemerdekaan: Benarkah Kita Sudah Merdeka?

PBB Mengutuk Peningkatan Kekerasan Seksual di Sudan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat,’ kira-kira begitulah jargon yang digegap-gempitakan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini. Kalimat yang mengandung harap dan doa untuk kehidupan lebih baik bagi Indonesia dan warga negara Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan.

Namun kado kemerdekaan kali ini justru sebuah peristiwa mengejutkan yang begitu mengiris hati yang kemudian membuat saya kembali merenungkan, apakah benar kita sudah merdeka?

Bagaimana tidak? Sebuah kasus pemerkosaan terhadap seorang wanita terjadi bertepatan dengan Peringatan Hari Kemerdekaan NKRI ke-77. Korban yang merupakan seorang wanita asal Tulungagung diperkosa oleh temannya sendiri usai mengalami kecelakaan.

Korban kemudian meninggal esok hari pasca peristiwa nahas yang menimpanya. Menurut berita yang beredar pelaku masih temennya sendiri, yang menurut pemberitaan ia sempat mabuk.

Usai kecelakaan, bukannya dibawa ke rumah sakit, korban dibawa ke rumahnya dan melancarkan aksinya bejatnya dengan memperkosanya, padahal kondisi korban dalam keadaan luka-luka.

Sebagaimana dilaporkan detik.com (17/08/2022), hingga keesokan harinya, pelaku tidak membawanya ke rumah sakit, tapi malah membawa motornya untuk diperbaiki di bengkel.

Saat pelaku tidak ada di rumah, korban dilarikan ke rumah sakit oleh temannya, namun dinyatakan meninggal sebelum sempat menjalani pemeriksaan.

Ya Tuhan, marah sekali saya membaca berita tersebut. Tidak terbayang bagaimana penderitaan yang dialami korban yang saat itu mengalami luka-luka usai kecelakaan, tapi yang didapat justru bukan penanganan medis, namun pemerkosaan. Sudah jatuh, ketiban tangga juga, ingat ya tangga, bukan cinta.

Saya bilang begitu, karena kerap kali korban pemerkosaan yang terjadi, kerap kali masih dijejali pertanyaan yang cenderung menyalahkan korban, misalnya,

“Paling-paling si perempuan kegatelan”

“Oh iya palingan si cewek pake baju ketat dan seksi yang mengundang birahi laki-laki”

Dan terakhir biasanya yang sering dijumpai adalah, “wah pantas, sering keluar malam sih.”

Diamnya korban saat diperkosa bukan berarti sebagai bentuk afirmasi dan persetujuan atas perlakuan yang dilakukan. Apalagi diminta sebuah bukti dari kejadian yang tidak terduga terjadi.

Sudah saatnya kita menyudahi pertanyaan-pertanyaan menyudutkan yang sama sekali tidak memihak pada korban. Apalagi saat kasus telah mengemuka dan menempuh jalur hukum, masih banyak yang berakhir damai dengan dalih kekeluargaan namun mengabaikan aspek-aspek psikis traumatis yang menjadi bayang-bayang korban setiap harinya.

Selama kita masih terkungkung bias dan masih terus menyudutkan korban kekerasan seksual dengan pertanyaan-pertanyaan nir-empati, bukankah ini salah satu pertanda bahwa kita belum sepenuhnya merdeka?

Jujurly saya masih tidak habis pikir. Perempuan ini habis kecelakaan malah mendapatkan kekerasan berupa pemerkosaan, didiamkan tanpa penanganan.

Saya tidak bermaksud menilai bahwa saya lebih baik dari pelaku, tapi bukankah kita sepakat jika pemerkosaan tersebut merupakan hal bejat?

Mungkin kita semua secara serempak akan berteriak sangat bejat dan biadab. Bagaimanapun, kekerasan seksual, apapun bentuknya merupakan tindakan yang sangat tercela dan biadab.

Apakah manusia sejenis ini yang disinggung-singgung Allah dalam firmanNya sebagai manusia yang seperti hewan ternak, bahkan bisa lebih sesat lagi dan disebut sebagai orang-orang yang lengah?

Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 79 bahwa sebab mereka bukan tidak memiliki hati untuk merasa, bukan pula tidak memiliki mata untuk melihat dan bukan pula tidak memiliki telinga untuk mendengar, kesemuanya punya, tapi tidak digunakannnya dengan baik.

Begitulah kompleksitas manusia yang memiliki dua potensi kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa saja manusia lebih mulia daripada malaikat yang notabe merupakan mahluk yang paling patuh, tunduk dan terus bertasbih padaNya sepanjang waktu dan tidak pernah sedikit pun melanggar perintahNya.

Kemungkinan kedua, bisa saja manusia lebih bejat dan sesat lagi dari hewan yang tidak berpikir sedikit pun dari setiap tindakan yang dilakukan.

‘Pulih lebih cepat’ adalah sebuah harapan dan doa agar segera pulih dari berbagai macam ketidakadilan yang menggurita, pulih dari tindakan asusila dan kekerasan yang tak kunjung usai.

‘Bangkit lebih kuat’ juga menyimpan unsur harap dan doa bagi seluruh rakyat Indonesia agar bangkit dari beragam rupa keterpurukan. Untuk dapat bangkit lebih kuat, tentunya butuh kerja sama dari seluruh pihak.

Mandat perjuangan adalah amanah dari rakyat. Maka sudah seharusnya seluruh elemen masyarakat menjadi aktor pejuang yang vokal menyuarakan hak-hak rakyat lainnya yang terpinggirkan, tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama, ras atau hal apapun.

Karena kita semua bisa menjadi korban kekerasan dan kita semua berpotensi menjadi pelaku kekerasan.

Mari bersama-sama, peduli untuk saling melindungi. Mari jadikan momentum Hari Kemerdekaan bukan sekedar upacara formal, tidak hanya dimaknai terbatas pada acara-acara selebrasi.

Merdeka adalah terbebas dari kekerasan seksual, merdeka dari ketidakadilan dan merdeka dari bayang-bayang patriarkal yang begitu mencengkeram kuat di masyarakat kita yang memarjinalkan perempuan.

Apalagi sampai mencoreng Dirgahayu Indonesia dengan tindakan-tindakan yang semacam itu. Na’udzubillah.

Jayalah bangsa ku

Jayalah negeri ku

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *