Tradisi Suku Sawang Bangka Belitung

 Tradisi Suku Sawang Bangka Belitung

HIDAYATUNA.COM – Kita sebagai warga Negara harus mengetahui bahwa di Negara Indonesia ini, terdapat berbagai macam suku-suku yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia dan banyak adat istiadat yang berbeda-beda dari suku satu dan yang lainnya. Bisa juga dilihat dari kebiasaan hidup mereka dari tempat tinggal dan cara mencari nafkahnya. Oleh karena itu, dengan latar belakang uraian di atas, saya ingin mengkaji lebih lanjut tentang kebiasaan atau tradisi dari salah satu suku di Indonesia, lebih khususnya lagi mengenai kebiasaan atau tradisi dari suku Sawang.

Apa yang dimaksud dengan suku sawang?

Bagaimana proses dari tradisi upacara Buang Jong yang bisa memakan waktu yang sangat lama.

Suku Sawang  merupakan suku yang mendiami Kepulauan Bangka-Belitung. Komunitas suku sawang ini tergolong unik dari suku-suku yang lain di Indonesia, suku sawang lebih memilih tinggal di laut atau di pinggir pantai dahulu mereka dalam kesehariannya tinggal di dalam perahu. Kehidupan mereka yang telah mendiami di Kepualauan Bangka-Belitung memilliki karifan lokal yang kental dan hingga saat ini Suku Sawang masih eksis di daerah Bangka Selatan, Belitung dan Belitung Timur.

Tradisi Suku Sawang yang hingga saat ini masih dilangsungkan yaitu Tradisi “Buang Jung”. Buang Jung adalah tradisi dimana komunitas Suku Sawang membuat miniatur perahu yang nantinya akan dilarungkan ke laut lepas bersama beraneka kue yang dibuat oleh suku tersebut. Miniatur perahu yang terbuat dari kayu jeruk antu berisi beberapa kue serta sesaji yang berbentuk seperti ketupat dan ada juga makanan yang dibungkus dengan dedaunan mirip dengan kue lemper. Setelah acara Buang Jung maka selama 3 (tiga) hari, mereka tidak boleh/dilarang untuk ke laut ini merupakan pantangan adat Suku Sawang. Buang Jung ini merupakan acara puncak untuk mengakhiri acara-acara yang telah digelar selama sepekan serta salah satu bentuk rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta dan sekaligus memohon perlindungan lahir dan bathin ketika mereka sedang melaut untuk mencari nafkah.

Tari Gajah Manunggang

Ada beberapa rangkaian acara yang digelar sebelum acara Buang Jung ini berlangsung seperti acara permainan Tunjang Angin. Permainan ini dilakukan oleh seorang pria yang menari dengan meliuk-liuk diatas dua tiang setinggi 5 meter tetapi sebelum ia melakukan atraksi ini pastinya sudah diberi mantra-mantra dari tetua adat setempat. Setelah ia diberi mantra maka dalam diri si penari akan kesurupan sehingga ia akan menari mengikuti irama tabuhan suara gendang yang ditabuhkan oleh para tetua adat. Tari Gajah Manunggang adalah bentuk tarian yang dimainkan oleh muda-mudi setempat dengan gerakan-gerakan seperti orang mengayuh sampan yang gerakannya mengikuti irama tabuhan gendang yang dimainkan oleh 3 (tiga) orang tetua adat. Gerakan tarian gajah manunggang ini mencerminkan bahwa dahulu kehidupan Suku Sawang berada di perahu dan selalu melaut untuk mencari makan dan nafkarh mereka.

Asal Mula Tradisi Buang Jong

Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya selama ratusan tahun menetap di lautan, baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan dan hanya pergi ke laut apabila ingin mencari hasil laut. Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang didalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal).

Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yaitu antara bulan Agustus-November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyaraka suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka pada saat berlayar ke laut untuk mencari ikan. Upacara Buang Jong ini dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam.

Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yaitu prosesi mengundang mahluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang, Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.

Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan mengoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa keempat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan untuk ikiut bergabung dalam ritual Buang Jong ini. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut Jitun.

Selain menampikan Tarian Ancak, masih ada tarian lain yang juga ditampilkan dalam upacara Buang Jong yaitu Tarian Sambang Tari. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan kehilangan arah, burung inilah yang menunjukan jalan pulang untuk para nelayan. Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual Numbak Duyung, yaitu mengikat tali pada sebuah pangkal tombak sambil membaca mantra.

Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, sehingga konon katanya dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon bila ikan yang di dapat banyak maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut. Setelah itu upacara Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli Jong. Pada acara ini orang darat (penduduk sekitar perkampungan Suku Sawang) juga dilibatkan. Jual-beli disini bukan menggunakan uang tetapi pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi pada saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yaitu menyanyikan lagu-lagu khas Suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambumg dengan Nyalui, yaitu acara untuk mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *