Tradisi Sewelasan Di Ponpes Shibghotallah Jombang

Mengenal Tradisi Sewelasan di Pondok Pesantren Shibghotallah Jombang, Jawa Timur. Seperti Apa Simak Selengkapnya Ulasan di Bawah
HIDAYATUNA.COM – Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia khususnya Jawa yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun.
Agama merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan oleh
penganutnya dalam tindakan-tindakan keagamaan di masyarakat dalam upaya memberi
respon dari apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Agama
dapat juga dikatakan sebagai elemen pembentuk sistem nilai budaya dimana
mengandung nilai-nilai sosial pada penganutnya.
Menurut Durkheim, agama adalah suatu kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik tertentu terhadap sesuatu yang suci,kepercayaan, dan praktik-praktik tersebut menyatukan kesatuan moral komunitas yang disebut jamaah. Kepercayaan dalam keahidupan manusia ditampakkan dalam bentuk simbol-simbol suci yang dibedakan dengan simbol-simbol profan; yang memiliki makna tertentu. Hubungan antara simbol dan makna yang dimengerti oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan senantiasa dipindahkan atau diwariskan melalui sosialisasi dan inkulturasi secara terus-menerus dari generasi ke generasisehingga menjadi pengetahuan yang bersikap terhadap hidup.
Kebudayaan adalah aktifitas yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi
tradisi atau adat-istiadat. Tradisi adalah khazanah yang harus hidup dalam
tubuh masyarakat secara turun-temurun yang keberadaannya akan selalu di jaga
dari generasi ke genegasi berikutnya. Tradisi mengandung makna adannya kesinambungan
antara kejadian di masa lalu dengan kontruksi di masa sekarang. Jadi, berbicara
tradisi artinnya membicarakan sesuatu yang diwariskan atau ditrasmisikan dari
masa lalu menuju waktu sekarang. Dalam konteks Islam berarti berbicara tentang
serangkaian ajaran dan doktrin Islam yang terus berlangsung dari masa lalu
hingga masa sekarang yang berfungsi di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam prakteknya, terdapat juga ritual religi atau keagamaan yang berakar
sehingga membentuk menjadi sebuah tradisi keagamaan dimana keberadaannya
memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan hubungan solidaritas antar
masyarakat.
Keberadaan tradisi ritual memberikan motivasi pada mereka untuk lebih dekat kepada Tuhan yang kemudian juga berdampak pada suatu penghormatan terhadap tokoh-tokoh keagamaan yang dinilai memiliki andil besar dalam berkembangnya agama tersebut. Anggapan bahwa tokoh agama memiliki peran dalam lingkungan masyarakat serta memberikan kontribusi dalam pencapaian kesinambungan dalam korelasi antara Tuhan dan hambanya. Setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk menumpahkan ritual, penghormatan, dan penghambaan.
Tradisi Sewelasan dapat dikelompokkan dalam upacara. Upacara dalam konteks
antropologi memiliki dua aspek yaitu ritual dan seremonial. Upacara tersebut
telah disesuaikan dengan keyakinan (aqidah) Islam, yakni bacaan diambil dari
bacaan dan doa yang bersumber dari Al Quran, hadis, dan ucapan para ulama serta
bacaan dan doa tersebut ditujukan untuk orang-orang suci seperti para nabi,
wali, ulama, orang shaleh dan kaum mukminin, serta muslim seluruhnya termasuk
para leluhur. Ajaran Islam yang termuat di dalam Al Quran dan Hadis adalah
ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu digunakan atau
diamalkan di suatu daerah-sebagai pedoman kehidupan- maka bersamaan dengan itu,
tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena
penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya
juga merupakan sesuatu yang sakral.
Tradisi Sewelasan merupakan suatu proses ritual keagamaan yang dilakukan
sebagai simbol penghormatan untuk mengenang haul Syekh Abdul Kodir Jaelani yang
merupakan salah satu tokoh ulama sufi yang mendapat penghormatan besar dari
orang muslim salah satunya di Indonesia. Haul merupakan salah satu bentuk
upacara peringatan atas wafatnya seorang yang telah dikenal sebagai pemuka
agama Islam, baik itu wali ataupun Ulama atau seorang muslim yang mempunyai
jasa besar terhadap masyarakat.
Tradisi haul banyak dilihat di pesantren di Jawa, khususnya pesantren-pesantren
Jawa Timur. Dewasa ini, haul telah menjadi tradisi baru yang menjanjikan
dikalangan umat Islam. Haul adalah pola penghubung bagi generasi penerus dengan
generasi pendiri sebuah orde keagamaan.
Tradisi keagamaan Sewelasan sudah menjadi semacam ritual yang sekaligus
bersifat harmoni. Namun banyak perbedaan pelaksanaan dari sewelasan ini. Di
beberapa tempat juga banyak masyarakat yang melakukan tradisi sewelasan, tapi
banyak perbedaan pelaksanaan dari beberapa tempat tersebut, karena terdapat
perbedaan dalam unsur-unsur yang ada pada setiap lingkungan seperti fisik/alam,
sosial dan budaya. Sewelasan di pondok pesantren Shibghotalah ini dilakukan satu
tahun sekali tepatnya pada tanggal sebelas bulan ba’do mulud (bulan Jawa) atau
robiul tsani (robiul akhir).
Tradisi Sewelasan merupakan suatu proses ritual keagamaan yang dilakukan
sebagai simbol penghormatan untuk mengenang haul Syekh Abdul Kodir Jaelani yang
merupakan salah satu tokoh ulama sufi yang mendapat penghormatan besar dari
orang muslim salah satunya di Indonesia. Haul merupakan salah satu bentuk
upacara peringatan atas wafatnya seorang yang telah dikenal sebagai pemuka
agama Islam, baik itu wali ataupun Ulama atau seorang muslim yang mempunyai
jasa besar terhadap masyarakat.
Tradisi sewelasan ini dilakukan di Pondok Pesantren Shibghotallah, Desa
Wuluh,Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Tradisi ini dilakukan satu tahun
sekali tepatnya pada tanggal sebelas bulan ba’do mulud (bulan Jawa) atau robiul
tsani (robiul akhir). Kenapa tradisi Ini dinamakan sewelasan kerena
diplaksanakan pada tanggal sebelas. Tradisi sewelasan ini diikuti oleh santri
pesantren Shibghotallah baik santri yang menetap di dalam pondok maupun santri
kalongan yaitu santri yang pulang kerumah dan datang ketika ada kegiatan di
pondok. Tidak hanya berasal dari dalam kota, namun ada juga santri yang
berdomisili di luar kota seperti Surabaya, Sidoarjo, Jakarta yang juga antusias
mengikuti tradisi ritual sewelasan ini.
Prosesi tradisi sewelasan dilakukan di sekeliling teras, halaman dan di dalam
pendopo pondok pesantren. Acara dimulai setelah selesai shalat maghrib. Ketika
shalat jamaah shalat maghrib selesai, para jamaah kemudian berhamburan keluar
dari mushallah dan duduk melingkar menempati teras, halaman dan pendopo
pesantren. Dalam formasi melingkar tersebut, ditengah-tengah duduk dari para
jamaah diletakkan makanan berupa nasi dan lauk pauk yang ditempatkan di baskom.
Mengenai lauk pauk yang disajikan dalam acara tersebut terdapat suatu
kekhususan yaitu pengharusan menyajikan ayam kampung jantan yang sudah berumur
minimal 1 tahun. Ayam tersebut harus disajikan dalam posisi utuh, maksudnya
tidak perlu dipisah-pisahkan antara kepala, badan, dan kaki, semua dibiarkan
masih utuh.
Prosesi sewelasan ini dilakukan dengan membaca bacaan manaqib.
Dalam pembacaan
manaqib ini dipimpin langsung oleh kiai pondok pesantren Shibghotallah dengan
diikuti oleh semua jamaah. Kiai duduk berdiri menghadap jamaah yang duduk
didepannya, hal itu bertujuan agar pemimpin acara sewelasan tersebut dapat
menjangkau semua jamaah. Selain itu pemimpin acara (kiai) juga menggunakan
pengeras suara karena jumlah jamaah dan tempatnya yang luas sehingga mengharuskan
penggunaan pengeras suara.
Para jamaah dan kiai menggunakan baju muslim, dimana untuk jamaah laki-laki
menggunakan sarung atau celana lengkap dengan baju koko atau hem, sedangkan
jamaah perempuan menggunakan busana muslim dan memakai kerudung, ada juga yang
tetap menggunakan mukenahnya.
Para jamaah dan kiai larut dalam suasana khusuk dalam penghayatan bacaan-bacaan
yang mereka ucapkan. Dengan suara agak pelan, mereka bersama-sama membaca
manaqib hingga selesai. Setelah pembacaan manaqib itu selesai kemudian diakhiri
pembacaan doa yang dipimpin oleh kiai dan para jamaah mengamini. setelah itu
para jamaah bersama-sama membagi makanan yang sudah ada didepannya. Makanan
tersebut ada yang dimasak di dapur pondok, dan ada juga yang dibawa dari rumah
oleh para santri kalongan. Setelah semuanya dikumpulkan dan disebarkan rata
ditengah-tengah para jamaah kemudian mereka membagi dan memakannya bersama.
Tidak semua makanan tersebut habis dimakan oleh para jamaah sehingga mereka
membawanya pulang bagi para jamaah santri yang rumahnya dekat. Acara diakhiri
dan dibubarkan dengan pembacaan shalawat nabi satu kali dan kemudian mereka
membubarkan diri.