Tradisi Muallaqat pada Zaman Jahiliyah: Khazanah Kekayaan Kesusastraan Arab Kuno

 Tradisi Muallaqat pada Zaman Jahiliyah: Khazanah Kekayaan Kesusastraan Arab Kuno

Menilik Tujuan Penciptaan dalam Surah Adz-Dzariyat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Muallaqat merupakan salah satu puncak kesusastraan Arab kuno yang berkembang pada zaman Jahiliyah.

Kata “Muallaqat” berarti “yang digantung” atau “yang ditempelkan,” merujuk pada legenda bahwa puisi-puisi ini digantung di Ka’bah sebagai tanda penghormatan dan pengakuan atas keunggulannya.

Meskipun asal usul sebenarnya masih diperdebatkan, tradisi ini mencerminkan kekayaan budaya dan sastra bangsa Arab sebelum kedatangan Islam.

Zaman Jahiliyah merujuk pada periode sebelum Islam, ketika masyarakat Arab hidup dalam kesukuan dan belum menerima wahyu Islam.

Kehidupan di Jazirah Arab saat itu keras dan ditandai oleh konflik antar suku, namun juga kaya akan tradisi oral dan kesusastraan.

Puisi memainkan peran sentral dalam budaya Arab Jahiliyah, berfungsi sebagai sarana untuk mengabadikan sejarah, memuji kehebatan suku, mengungkapkan cinta, dan menyampaikan kritik sosial.

Puisi Muallaqat biasanya terdiri dari qasidah (ode) panjang, dengan struktur yang kompleks dan meter yang ketat.

Setiap puisi dibagi menjadi tiga bagian utama: nasib (pendahuluan), perjalanan atau pengembaraan, dan pujian atau satire.

Bagian nasib sering kali berisi kenangan akan tempat yang ditinggalkan, refleksi tentang kehidupan, dan perasaan cinta yang mendalam.

Bagian pengembaraan menggambarkan perjalanan penulis melalui padang pasir, menghadapi rintangan alam dan tantangan.

Bagian akhir biasanya berisi pujian terhadap suku atau pemimpin, atau kritik terhadap musuh.

Bahasa dalam puisi Muallaqat sangat indah dan kaya, penuh dengan metafora, simile, dan simbol-simbol alam.

Keahlian penyair dalam menggunakan bahasa ini dianggap sebagai tanda keunggulan dan kehormatan.

Beberapa penyair terkenal dari tradisi Muallaqat antara lain Imru’ al-Qais, Tarafa, Zuhayr bin Abi Sulma, Labid bin Rabi’ah, Antarah bin Shaddad, Amr bin Kulthum, dan Al-Harith bin Hilliza.

Masing-masing penyair ini memiliki gaya dan tema khas yang mencerminkan kehidupan mereka dan zaman Jahiliyah secara umum.

Imru’ al-Qais yang sering dianggap sebagai raja penyair Arab kuno, puisinya terkenal dengan ungkapan cinta yang mendalam dan penggambaran alam yang hidup.

Salah satu puisinya yang terkenal, Muallaqah-nya, menggambarkan perpisahannya dengan kekasih dan petualangannya melalui padang pasir.

Labid bin Rabi’ah menjadi penyair besar pada masa akhir tradisi Muallaqat yang memberikan kita wawasan mendalam tentang kehidupan, nilai-nilai, dan pandangan dunia masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah melalui syair-syairnya.

Bahkan Rasulullah SAW pernah memuji Labid karena keindahan syairnya sebelum akhirnya Labid memeluk agama Islam.

Muallaqat tidak hanya penting sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai dokumen sejarah yang memberikan wawasan tentang kehidupan, nilai-nilai, dan pandangan dunia masyarakat Arab sebelum Islam.

Puisi-puisi ini mengabadikan tradisi lisan yang sangat kaya dan memberikan gambaran tentang kehidupan di padang pasir, hubungan antar suku, dan pandangan dunia yang dipengaruhi oleh kondisi alam yang keras.

Ada beberapa penyebutan yang digunakan untuk muallaqat. Seperti sering disebut Al-Muallaqat (puisi yang digantungkan) atau Diwan Al-Muallaqat (kumpulan puisi yang digantungkan) dan lebih seringnya Al-Muallaqat As-Sab’u (kumpulan puisi tujuh penyair yang digantungkan).

Tradisi Muallaqat juga mencerminkan kecintaan masyarakat Arab terhadap bahasa dan keindahan retorika.

Keahlian dalam membuat puisi dianggap sebagai tanda kebijaksanaan dan kehormatan, dan penyair sering kali dihormati dan dipuja sebagai pemimpin intelektual dan spiritual.

Pengaruh Muallaqat meluas jauh melampaui zaman Jahiliyah. Setelah kedatangan Islam, banyak dari puisi-puisi ini terus dihargai dan dipelajari sebagai bagian dari warisan budaya Arab.

Para cendekiawan Muslim menganggap puisi-puisi ini sebagai contoh keunggulan sastra Arab, dan mereka sering kali dikutip dan dianalisis dalam literatur dan studi linguistik.

Bahkan hingga saat ini, Muallaqat tetap menjadi bagian penting dari kurikulum sastra Arab di berbagai universitas dan sekolah di dunia Arab.

Puisi-puisi ini juga menginspirasi generasi baru penyair dan penulis, yang mencari dalam karya-karya klasik ini inspirasi untuk menciptakan karya-karya baru yang tetap relevan dengan zaman modern.

Tradisi Muallaqat pada zaman Jahiliyah mencerminkan kekayaan kesusastraan Arab kuno dan memberikan wawasan yang mendalam tentang kehidupan dan budaya masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.

Dengan bahasa yang indah dan tema yang universal, puisi-puisi ini tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Arab dan terus mempengaruhi sastra dan pemikiran hingga hari ini.

Sebagai karya seni yang menggabungkan keahlian linguistik dengan refleksi mendalam tentang kehidupan, Muallaqat menunjukkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Arab kuno terhadap sastra dan keindahan bahasa. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *