Tradisi Dalam Timbangan Hukum Islam

 Tradisi Dalam Timbangan Hukum Islam

Mengenal Istinbat Ahkam dalam Islam (Ilustrasi/Freepik_Racool_studio)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pagi jelang siang saya bersama Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah 06 dan 07, yang meliputi Kec. Simokerto, Semampir dan Pabean Cantikan.

Karena kebanyakan adalah para guru yang tergabung di PerguNU (Persatuan Guru NU) Kota Surabaya, maka saya menjelaskan Keabsahan Halal Bihalal yang sudah menjadi tradisi.

Berdasarkan riwayat berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)

Artinya:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar.”

(Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata.)

Hampir kebanyakan ulama Mazhab menjadijan riwayat di atas sebagai dalil penerimaan terhadap tradisi.

ulama juga menyebut riwayat tersebut berstatus marfu’, seperti yang disampaikan oleh Syekh Musthafa Azzarqa:

ﻭﺇﻧﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﻗﻮﻓﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺣﻜﻢ اﻟﻤﺮﻓﻮﻉ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻣﺪﺧﻞ ﻟﻠﺮﺃﻱ ﻓﻴﻪ

Aerinya:

“Riwayat ini meskipun terhenti pada Ibnu Mas’ud namun hukumnya adalah marfu’. Sebab tidak ada ruang masuk bagi nalar di dalamnya.” (Syarah Qawaid Fiqhiyyah, 219)

Kesimpulan ini pula yang banyak ditemukan di beberapa kitab klasik:

اِنَّ الشَّرْعَ اعْتَبَرَ عَادَةَ النَّاسِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى حَسَنٌ (مجمع الأنهر في شرح ملتقى الأبحر الشيخ زاده الحنفي – ج 5 / ص 361)

Artinya:

“Sesungguhnya syariat membenarkan tradisi umat Islam, sesuai sabda Nabi: Apa yang dilihat baik oleh kaum mukminin, maka baik pula bagi Allah.” (Majma’ al-Anhar 5/361)

وَعُرْفُ الْمُسْلِمِينَ وَعَادَتُهُمْ حُجَّةٌ مُطْلَقَةٌ قَالَ النَّبِيُّ : عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع – ج 11 / ص 437)

Artinya:

“Kebiasaan umat Islam dan tradisinya adalah sebuah dalil. Nabi bersabda: Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah.” (Badai’ al-Shanai’, 11/437)

Bagi sebagian ulama fikih, teks ini memang populer sebagai hadis. Namun al-Hafidz al-Suyuthi menegaskan bahwa teks tersebut bukan hadis.

Namun atsar dari Abdullah bin Mas’ud seperti dalam al-Asybah wa al-Nadzair 1/164. Namun sekali lagi statusnya sebagai marfu’.

Tentu penerimaan tradisi tetap harus sesuai dengan hukum dalam Islam:

وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ

Artinya:

“Atsar ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama bahwa urf atau tradisi adalah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan…” (Fatawa al-Azhar 10/336)

Ada sekian banyak amalan yang mentradisi di lingkungan kita, sekali lagi kesemuanya dibenarkan dan boleh diamalkan, seperti yasinan, berkatan, zikir bersama, maulidan dan sebagainya. []

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *