Tiga Tingkatan Orang yang Bisa Menerima Lailatul Qadar
HIDAYATUNA.COM – Dalam puasa Ramadan, Allah memberi ganjaran rahmat yang besar kepada siapa pun yang berpuasa. Malam Lailatul Qadar salah satu rahmat terbesar yang Allah berikan kepada manusia di bulan Ramadan.
Konsep malam Lailatul Qadar, tertuang dalam Alquran surah al-Qadr. Di dalam surah tersebut Allah menginformasikan tentang adanya suatu malam yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Anugrah ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya.
Oleh karenanya, Lailatul Qadar atau malam seribu bulan menjadi bukti kasih sayang Allah kepada Rasulullah dan umatnya. Malam mulia itu dalam khazanah kitab kuning menjadi salah satu pembahasan yang sering dibahas para ulama. Banyak ulama yang mencoba menafsirkan dan memaknai maksud Lailatul Qadar yang Allah berikan kepada manusia.
Penafsiran para ulama itu tertuang dalam banyak kitab, macam Bahrul Madid fii Tafsir Alquran al-Majid karya Imam Ibnu ajibah. Tafsir Lathaif al-Isyarat, karya Imam Al-Qusyairi, dan kitab tafsir para ulama mutaqaddimin macam Syaikh Al-Azhar, Dr. Muhammad Sayyid Tantowi.
Dalam berbagai kitab tersebut, Lailatul Qadar dimaknai secara lebih luas, tidak hanya sekedar lailatul qadri khairum min alfii shahr. Menurut para ulama, makna Lailatul Qadar jauh lebih dahsyat dari sekadar malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar jauh lebih dalam daripada itu.
Malam Seribu Bulan dalam Alquran
Supaya bisa memahami terkait malam seribu bulan, umat Islam perlu membaca berbagai referensi terkait Lailatul Qadar. Informasi utama tentang malam mulia itu sumbernya adalah Alquranul Karim.
Di dalam beberapa tafsir, surah al-Qadr yang merupakan surah yang menjadi sumber utama informasi mengenai malam seribu bulan. Dikatakan bahwa surah tersebut ialah surah yang sangat istimewa.
Salah satu bentuk keistimewaannya surah ini berada persis setelah surah al-Alaq yang di akhir surahnya Allah berfirman Fasjud Waqtarib. Maknanya, bersujudlah dan bertaqarrub, dekatkanlah diri kalian kepada Allah.
Kapan dan dalam keadaan apa kita harus banyak bersujud dan mendekatkan diri kepada Allah? Disambut dengan ayat di surah al-Qadr, innaa anzalnaahu fii lailatil qadr.
Ayat ini seolah menjawab maksud dari mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya ialah dengan memperbanyak bersujud dan beribadah kepada Allah di malam Lailatul Qadar.
Keistimewaan Surah al-Qadr
Jika dicermati dari sisi muallaqoh atau hubungan antara satu surah dengan surah yang lain. Terlihat bagaimana istimewanya posisi surah al-Qadr, khususnya pada ayat innaa anzalnaahu fii lailatil qadr.
Ayat ini jika dikaji dalam konteks balaghah maupun dalam konteks nahwu, kata inna di awal merupakan penegasan informasi yang diberikan Allah bahwasanya dhomir hu. Dalam lafaz anzalnaahu yang merupakan dlamir al-Ghaib, menjadi Marji’ (tempat kembali), dari anzalnaahu dalam surah al-Qadr ke surah Al-Alaq yang berkaitan dengan penurunan Alquran.
Jadi pemaknaan innaa anzalnaahu fii lailatil qadr adalah sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan (Alquran) pada malam qadar. Pengertian Lailatul Qadr secara lughowi adalah lailatun yang berarti malam dan al-qadar yang berarti mulia dan agung.
Lailatul Qadar punya makna malam yang mulia atau malam yang agung, pada malam ini Allah turunkan miliaran malaikat ke bumi. Ketika malaikat turun, para malaikat membuat matahari di siang hari menjelang malam seribu bulan tidak nampak panas meskipun langit cerah.
Tingkatan Orang yang Akan Menerima Malam Seribu Bulan
Di dalam kitab Bahrul Madid fii Tafsir Alquran al-Majid karya Ibnu Ajibah, dijelaskan bahwa tingkatan orang yang bisa menerima malam seribu bulan. Ada tiga tingkatan, yaitu am, khos, dan khowasul khowas.
Tingkatan am (umum) artinya adalah mereka yang biasanya mencari malam seribu bulan karena keinginan dapat pahala yang lebih besar. Tingkatan khos (khusus) berarti mereka yang tidak lagi berpikir mengenai pahala ketika beribadah di malam Lailatul Qadar.
Orang-orang di tingkatan ini meyakini bahwa pahala di malam mulia itu lebih baik dari seribu bulan. Tapi orang-orang di tingkatan ini tidak semata sekedar memikirkan pahala. Mereka berpikir lebih jauh dengan ingin menjadi orang yang assidiqin, shalihin dan mukhlisin.
Orang-orang di tingkatan ini benar-benar ta’adub (beradab) sehingga ketika memasuki malam yang dianggap sebagai malam seribu bulan. Orang-orang di tingkatan ini menyambut dengan sukacita.
Mereka seolah-olah melihat turunnya malaikat dan hati mereka seperti sudah bisa berkomunikasi untuk menyambut datangnya malaikat itu. Bahkan kadang mereka seolah-olah melihat tazzali Allah.
Tingkatannya Para Wali Allah
Sedangkan tingkatan khowasul khowas (khusus dari khusus), disebutkan oleh Ibnu Ajibah kalau mereka yang pada kedudukan ini adalah orang-orang yang sangat spesial. Tingkatan ini kelasnya para wali, para Nabi serta Rasul.
Orang-orang di tingkatan ini menganggap bahwa Lailatul Qadar tidak datang pada 10 Hari terakhir Ramadan. Orang-orang di tingkatan ini menganggap bahwa malam mulia itu hadir di semua malam di bulan Ramadan. Seperti riwayat yang disampaikan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab r.a :
إِنَّ اللهَ كَتَمَ سِتَّةً فِى سِتَّةٍ : كَتَمَ الرِّضَا فِى طَاعَةٍ وَكَتَمَ اْلغَضَبَ فِى مَعْصِيَةٍ وَكَتَمَ لَيْلَةَ اْلقَدْرِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ وَكَتَمَ اَوْلِيَاءَهُ فِيْمَا بَيْنَ النَّاسِ وَكَتَمَ الْمَوْتَ فِى اْلعُمْرِ وَكَتَمَ الصَّلَاةَ اْلوُسْطَى فِى الصَّلَوَاتِ
“Sesungguhnya Allah merahasiakan enam perkara di dalam enam perkara lainnya, yaitu: merahasiakan ridha-Nya dalam perbuatan taat. Merahasiakan murka-Nya dalam perbuatan maksiat. Merahasiakan Lailatul Qadar dalam bulan Ramadan. Merahasiakan wali-wali-Nya di tengah tengah manusia. Dan menyisipkan kematian di sepanjang umur. Serta merahasiakan salat Wustha di dalam salat lima waktu.”
Allah Yang Maha Mengetahui Kapan Datangnya
Dari riwayat Sayidina Umar dijelaskan bahwasanya malam itu disembunyikan dalam bulan Ramadan oleh Allah. Urgensi Allah menyembunyikan hal itu agar manusia semangat beribadah di sepanjang malam Ramadan.
Bukan hanya semangat di malam tertentu yang ada Lailatul Qadarnya, tapi di malam lain justru bermalas-malasan beribadah. Menurut orang-orang khowasul khowas, orang-orang yang bermalas-malasan di hari-hari Ramadan, tapi semangat di malam Lailatul Qadr.
Mereka termasuk orang yang tidak akan diterimakan dan tidak akan diberikan malam seribu bulan. Sebaliknya, pada malam seribu bulan itu akan diberikan tanda-tandanya kepada orang-orang yang sejak satu Ramadan sampai akhir Ramadan bersemangat penuh imanan wahtisaban.
Tiga tingkatan orang yang bisa menerima Lailatul Qadar seperti yang disusun Imam Ibnu Ajibah, adalah upaya penafsiran para ulama mengenai malam seribu bulan. Bisa saja, apa yang dimaksud Imam Ibnu Ajibah tidak tepat.
Bisa saja justru malam seribu bulan itu datang kepada manusia di luar tingkatan yang telah disusun oleh Imam Ibnu Ajibah. Imam Ath Thabari mengatakan, “seorang muslim bisa saja mendapatkan malam mulia tersebut dan ia tidak melihat atau mendengar sesuatu dari tanda-tanda itu.”
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada tanggal dan tanda-tanda pasti kapan datangnya. Tidak ada yang bisa memastikan kapan dan siapa yang akan mendapat Lailatul Qadar selain Allah. Namun satu hal yang pasti, malam itu bisa hadir kepada orang-orang yang menghidupkan bulan Ramadan dengan segala amal kebaikan. Wallahualam.