Tiga Bentuk Reformasi Al-Qur’an Terhadap Tradisi dan Budaya Jahiliyah

 Tiga Bentuk Reformasi Al-Qur’an Terhadap Tradisi dan Budaya Jahiliyah

Tiga Bentuk Reformasi Al-Qur’an Terhadap Tradisi dan Budaya Jahiliyah (Ilustasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sejak pertama kali diturunkan, Al-Qur’an telah bersentuhan dengan budaya Arab melalui reformasi yang dilakukan Al-Qur’an dalam masyarakat Arab.

Secara garis besar, ada tiga reformasi yang telah dilakukan Al-Qur’an ketika berdialektika dengan realitas sosial masyarakat Arab.

Reformasi Alqur’an Terhadap Konsep Keagamaan

Meski masyarakat Jahiliyah sangat terbelakang dalam hal akhlak, pekerti dan adab, namun mereka telah memiliki konsep keagamaan yang mapan.

Di antaranya animisme, dinamisme, totemisme, politeisme, monoteisme dan lain-lain.

Pada dasarnya, orang-orang Arab meyakini bahwa ”Allah” adalah Tuhan pencipta dan pengatur alam semesta (QS. al-Zukhruf [43]:87), akan tetapi karena logika berfikir mereka yang belum mapan dan mereka hidup dalam masa kevakuman para nabi dan rasul, dewa-dewa tersebut dijadikan sebagai mediator untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan Tuhan (Q.S. Al-Zumar ayat 3).

Para penganut paham multiteisme ini berimajinasi bahwa dewa-dewa yang mereka sembah mampu mendatangkan keberuntungan, sekaligus bahaya.

Konsep tentang dewa (idolisme) tersebut, termanifestasi dalam ritual dan do’a mereka.

Mereka juga meyakini bahwa dengan menyembah para dewa, mereka akan semakin dekat dengan Tuhan.

Keyakinan-keyakinan mereka tentang ”perantara semu” antara dewa-dewa dengan Tuhan semakin massif di lingkungan bangsa Arab, sehingga dewa-dewa pemandangan yang lumrah.

Setiap kabilah memiliki patung/dewa khusus untuk disembah.

Al-Kalbi menggambarkan bagaimana patung para dewa disembah dan diperlakukan di rumah-rumah mereka.

كانَ لأَهْلِ كُلِّ دَارٍ مِنْ مَكَّةَ صَنَمٌ فِي دَارِهِمْ يَعْبُدُونَهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَحَدُهُمُ السَّفَرَ، كَانَ آخِرُ مَا يَصْنَعُ فِي مَنْزِلِهِ أَنْ يَتَمَسَّحَ بِهِ، وَإِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرِهِ كَانَ أَوَّلُ مَا يَصْنَعُ إِذَا دَخَلَ مَنْزِلَهُ أَنْ يَتَمَسَّحَ بِهِ

Artinya:

“Setiap penduduk Mekkah memiliki patung (dewa) di rumah mereka untuk disembah. Ketika salah satu dari mereka ingin melakukan safar (bepergian), maka terakhir kali yang mereka lakukan di rumah adalah mengusap berhala. Ketika mereka sudah kembali dari bepergian dan masuk ke dalam rumah, kali pertama yang mereka lakukan adalah mengusap berhala.”

Penyembahan mereka terhadap dewa berkonsekuensi logis terhadap “kultusisasi” batu secara umum, bahkan mereka menganggapnya sebagai Tuhan.

Dalam Sahih al-Bukhari dari Abu Raja’ al-Atharidi disebutkan keterangan sebagai berikut:

كُنَّا نَعْبُدُ الْحَجَرَ، فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ وَأَخَذْنَا الْآخَرَ، فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ، ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُفْنَا بِهِ

Artinya:

“Dulu kami menyembah batu, dan ketika kami menemukan batu yang lebih bagus dari batu sebelumnya, kami membuangnya dan kami mengambil yang lain. Jika ternyata kami tidak menemukan batu, maka kami kumpulkan segenggam tanah, kemudian kami datangkan seekor kambing. Kambing itu kami perah susunya, dan kami pun thawaf dengannya.”

Selain penyembah batu, orang-orang Arab juga ada yang menyembah Malaikat, Jin dan bintang.

Dalam keyakinan mereka, para malaikat adalah anak-anak perempuan Tuhan, dan jin adalah “partner” Tuhan yang memiliki kekuatan supranatural.

Ada juga dari mereka yang menyembah benda-benda langit seperti suku Himyar (penyembah matahari), Kinanah (penyembah bulan), Lakham dan Juzam (penyembah dewa Jupiter), Asad (penyembah bintang Merkuri) dan Tayyi’ (penyembah bintang Konapus).

Dalam kondisi yang demikian, Al-Qur’an merespon dengan cara mendekonstruksi sistem keagamaan di Arab.

Dalam rangka mengangkat derajat dan martabat manusia yang telah hilang dan membebaskan mereka dari berbagai bentuk peribadatan yang palsu dan sesat.

Al-Qur’an kemudian memperkenalkan paham monoteis dan mengembalikan mereka kepada kemuliaan di sisi Tuhannya.

Reformasi Al-Qur’an Terhadap Mitos dan Khurafat

Masyarakat Arab memiliki kepercayaan bahwa jika ada orang meninggal atau terbunuh, maka jiwa tersebut akan membesar dan menjelma dalam bentuk burung hantu.

Jiwa tersebut akan terus ada, berteriak, menghantui, menjadi buas dan menempati rumah-rumah kosong, kuburan-kuburan dan tempat-tempat angker.

Masyarakat Arab juga mempercayai mitos-mitos (asathir) tentang makhluk halus. Dalam benak  mereka, makhluk halus selalu ada di sekeliling mereka dan mencari tempat-tempat yang tidak berpenghuni.

Makhluk tersebut akan menampakkan dirinya di hadapan orang-orang tertentu dalam bentuknya yang beragam untuk sekedar berkomunikasi.

Bahkan masyarakat Arab memiliki tempat spesial untuk memelihara mahkluk halus tersebut.

Kepercayaan-kepercayaan terhadap mitos tersebut direvisi dan dimodivikasi Alqur’an dengan cara mengaktifkan logika berfikir masyarakat Arab, menyeru agar mereka mempertimbangkan maslahat dan mafsadah-nya, menolak segala bentuk taklid buta dan tidak mudah menerima warisan-warisan umat terdahulu tanpa melakukan klarivikasi dan mengkaji ulang warisan tersebut (QS. al-Baqarah [2]: 170).

Dengan seruan tersebut, Al-Qur’an berusaha mengubah, merevisi dan membenahi pola berpikir mereka sekaligus mendekonstruksi warisan-warisan masa lalu agar lebih logis, rasional dan berada dalam naungan Islam.

Cara Alqur’an membebaskan masyarakat Arab dari mitos-mitos tersebut diantaranya dilakukan dengan cara melakukan pembacaan terhadap fenomena alam.

Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk merenungi dan menghayati alam sekitarnya, mengungkap rahasia-rahasia di balik keterciptaan alam dan menelaah ayat-ayat Tuhan (ayatullah).

Melalui cara seperti ini, masyarakat Arab diharapkan bisa mengenal Tuhan dengan logika berfikiranya.

Reformasi Alqur’an Terhadap Hawa Nafsu

Reformasi terakhir yang dilakukan Alqur’an terhadap budaya bangsa Arab Jahiliyah adalah pembebasan manusia dari penghambaan terhadap nafsu angkara murka.

Al-qur’an memotivasi sekaligus mengajarkan agar seorang Muslim lambat laun mampu melawan segala bentuk hawa nafsu yang membelenggunya dan segala keterpurukan yang ada dalam dirinya (QS. Ali Imran [3]: 14-15).

Dalam istilah Nabi Muhammad, pengendalian semacam ini disebut dengan “jihad akbar.

Di antara bentuk reformasi yang dilakukan Al-Qur’an terhadap belenggu hawa nafsu adalah persoalan hukum khamr.

Dulu, khamr menjadi menu favorit dan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Arab.

Bahkan mendapat tempat tersendiri pada karya-karya syair, sastra dan qasidah mereka.

Tradisi yang sudah mendarah daging ini kemudian disikapi dan direspon Al-Qur’an dengan adanya perintah untuk menjauhinya (QS. Al-Maidah [5]: 90).

Bentuk respon ini dalam perspektif Antropologi Alqur’an disebut dengan tahrim (destructive). []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *