Tidjani Djauhari Ulama Lokal yang Kiprahnya Mendunia
HIDAYATUNA.COM – KH Muhammad Tidjani Djauhari adalah ulama asal Sumenep, Madura. “Ghirah perjuangan beliau dalam menegakkan Islam melalui pendidikan sangat kuat,” kata Abu Bakar Ba’asyir. Senada dengan itu, Prof. Dr. Achmad Satori menyebutkan bahwa Muhammad Djauhari memiliki komitmen yang besar dalam jihad ta’limi yang sangat mengagumkan. Beliau memiliki jejak panjang dalam karirnya di dalam dan luar negeri.
Jejak Panjang
Namanya Muhammad Tidjani Djauhari, beliau lahir pada 23 Oktober 1945 di Prenduan, Sumenep. Dia adalah putra dari KH Djauhari Chotib, ulama besar dan tokoh Masyumi serta pendiri Pesantren Al-Amin Prenduan, Sumenep. Dari garis ayahnya, nasabnya bertemu dengan KH As’ad Syamsul Arifin, ulama kharismatik pendiri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo yang ternyata adalah sepupu dari neneknya. Sementara dari garis ibunya, Nyai Maryam, Tidjani adalah keturunan Syaikh Abdullah Mandurah, salah satu muthawif di Mekkah asal Sampang, Madura yang banyak melayani jamaah haji Indonesia.
Sejak kecil, Moh. Tidjani tumbuh berkembang dalam ranah pendidikan Islam yang sangat kental. Hal itu tak lepas peran ayahnya, Kiai Djauhari, yang ingin Tidjani kelak mampu menjelma pribadi muslim yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh. Karena itu, Tidjani kecil sangat akrab dan menikmati pendidikan keagamaan yang telah diterimanya sejak kecil.
Tahun 1953, Tidjani menapakkan kakinya di bangku Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah (MMA). Di sinilah, ia memulai belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Hari-hari baginya adalah kesempatan emas untuk mengasah diri dan memperluas wawasan keilmuan. Tidjani sebagai matahari kecil mulai menebarkan cahaya. Cahayanya menelisik dan meranumkan senyum masyarakat Prenduan saat itu yang menaruh harapan besar di pundaknya.
Pada 1958 Tidjani mondok di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. Di Gontor, Tidjani selain belajar ilmu-ilmu keagamaan, ia juga mendapatkan keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani pun dikenal sebagai santri yang cerdas dan meraih prestasi akademik yang tinggi.
Pada 1964, Tidjani menyelesaikan pendidikannya di KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di tempat yang sama, yaknii Perguruan Tinggi Darussalam (Gontor), kini berubah menjadi UNIDA Gontor, sekaligus menjadi guru di KMI. Kala itu, Tidjani dipercaya sebagai sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Posisi itu ia mnafaatkan secara maksimal dengan melakukan interaksi secara luas ke berbagai pihak, tak terkecuali dengan salah satu pendiri Gontor, K.H Imam Zarkasyi, yang kelak akan menjadi mertuanya.
Setelah masa pengabdian di Gontor selama satu tahun, tepat pada 1965 Tidjani melanjutkan studinya ke Universitas Islam Madinah, di Fakultas Syariah dan 4 tahun kemudian ia sudah lulus dengan predikat Mumtaz. Tak puas dengan kuliahnya di Madinah, pada 1970 ia melanjutkan studi magister di Jami’ah Malik Abdul Aziz di Mekkah hingga lulus pada 1973.
Tesisnya yang berjudul “Tahqiq Manuskrip Fadhail Al-Qur’an wa Adabuhu wa Muallimuhu li Abi Ubaid al-Qasim” (Keistimewaan Al Qur’an : Etika dan Rambu-rambunya dalam Prespektif Abu Ubaid Al-Qasim). Dalam mengerjakan tesisnya, Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Mesir, Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris dan Spanyol. Semua usahanya tersebut mengantarkannya pada predikat mumtaz (cumlaude).
Fragmen lain yang menarik adalah saat M. Natsir-Ulama Ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Mentri Republik Indonesia datang ke Saudi Arabia. Kesempatan itu dimanfaatkan Tidjani untuk berkenalan. Dalam kunjungan M. Natsir berikutnya, ia mendengar ada putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah. M. Natsir takjub dan segera mencari informasi putra Indonesia yang dimaksud, yang ternyata adalah Tidjani.
Atas prestasi Tidjani, M. Natsir merekomendasikan Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithat ‘Alam Islami. Karir Tidjani melesat cepat di sana. Beberapa jabatan penting pernah dipegangnya, antara lain :
- Anggota Bidang Riset, 1974-1977
- Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi, 1977-1979
- Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang, 1979-1981
- Direktur bagian Keamanan dan Aliran-aliran yang Menyimpang,1983-1987
- Direktur Bagian Riset dan Studi, 1987-1988
Kaktifannya di Rabithah inilah yang mengantarkan Tidajni menjelajahi berbagai negara di Eropa, Afrika, Amerika dan Asia.
Ketika karirnya di Rabithah berada di puncak, dan setelah sekitar 23 tahun tinggal di tanah suci, Tidjani pulang kampung pada 1989. Inilah babak baru perjalan Tidjani di bidang pendidikan. Misinya adalah menyempurnakan Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep yang telah berdiri sejak 1971.
Bersama kedua adiknya, Idris Djauhari dan Maktum Djauhari, serta unsur pimpinna lainnya, Tidjani bergerak cepat melakukan penyempurnaan sistem Pesantren Al-Amin Prenduan, Sumenep. Hasilnya, antara lain adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amin (1989), pembukaan Ma’had Tahfidz Al-Qur’an (1991) dan pengembangan Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institute Dirasah Islamiyah Al Amien (IDia), serta pendirian Pusat Studi Islam pada 2003. Dalam waktu 18 tahun (1989-2007), Al Amien menjelma menjadi pesatren yang berwibawa.
Kekokohan Tidjani mengantarkannya untuk menjabat berbagai posisi penting seperti Ketua Forum Silaturahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Pondok Modern Gontor, Dewan Pakar ICMI Jatim, salah seorang pendiri Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren – BSPP dan Ketua II Majelis Ma’had Aly Indonesia.
Dari Madura untuk Bangsa
“Jangan membangun di Madura, tapi bangunlah Madura,” demikian sikap tegas Tidjani pada sebuah kesempatan dalam menyikapi rencana industrialisasi Madura yang didahului dengan pembangunan Jembatan Suramadu. Timbulnya dampak negatif-destruktif dalam pembangunan jembatan tersebut menjadi kekhawatiran banyak pihak, tak terkecuali Kiai Tidjani.
Bersama ulama se Madura yang tergabung dalam Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Tidjani melakukan serangkaian kegiatan, agar nantinya, pembangunan di Madura berjalan dalam koridor yang selaras dengan nilai-nilai budaya Madura yang islami. Ia menolak keras eksploitasi Madura demi kepentingan ekonomi semata.
Ide segarnya tentang “provinsiliasi Madura” hingga menjadikan Madura sebagai “Serambi Madinah” mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Respon itu seperti tertuang dalam Hasil Kesimpulan Seminar Ulama Madura tentang Pembangunan dan Pengembangan Madura (1993), Piagam Telang Madura (1997), Rumusan Sarasehan “Menuju Masyarakat Madura yang Madani” (1999), Deklarasi Sampang (2006).
Terkait pebangunan di Madura, Tidjani menegaskan ada dua (2) hal yang harus segera dilakukan. Pertama, pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat Madura berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang kokoh untuk meminimalisir dampak pembangunan. Kedua, pendidikan. Pendidikan terkait dengan penyiapan SDM yang berkualitas, hingga nantinya masyarakat Madura mampu memanfaatkan pembangun bukan malah dimanfaatkan oleh pembangunan. Nantinya, masyarakat Madura tidak lagi menjadi “orang asing” di negerinya sendiri.
Layaknya seorang kiai, sayap dakwah yang dikembangkan Tidjani tidak saja berputar pada persoalan Madura saja, totalitas pengabdian dan kiprahnya menjangkau segala persoalan bangsa, baik sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Kiai Tidjani Tutup Usia
Kiai Tidjani Djauhari wafat pada 27 September 2007 di usia 62 tahun. Allah memanggil Kiai tersebut keharibaan-Nya pada Kamis dini hari sekitar pukul 02.00 di kediamannya. Almarhum wafat akibat penyakit jantung. Pengasuh Pondok Pesantren Prenduan tersebut meninggalkan seorang istri, yakni Nyai Hj. Anisah Fatimah Zarkasyi, 3 orang putra, dan 5 putri.