Tidak Salah Membantah, Tapi Lihat Dulu Sosok yang Dibantah

 Tidak Salah Membantah, Tapi Lihat Dulu Sosok yang Dibantah

Tidak Salah Membantah, Tapi Lihat Dulu Sosok yang Dibantah

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam Ahmad bin Faris bin Zakariya adalah seorang imam dalam bahasa.

Kepakarannya dalam bidang bahasa, fiqih bahasa, sastra Arab dan sebagainya tidak diragukan lagi.

Salah satu karyanya yang sangat fenomenal adalah kamus yang bernama Mu’jam Maqayis al-Lughah.

Kamus ini tidak kalah hebat dibanding kamus yang sangat populer ; ash-Shihah karya Imam al-Jauhari.

Tapi seperti kata pepatah Arab:
لِكُلِّ صَارِمٍ نَبْوَةٌ وَلِكُلِّ جَوَادٍ كَبْوَةٌ وَلِكُلِّ عَالِمٍ هَفْوَةٌ
Terjemah bebasnya adalah tak ada gading yang tak retak.
Dalam bukunya berjudul ash-Shahibiy (dalam Fiqih Lughah), ia menjelaskan tentang pentingnya seorang faqih dan mufti memahami bahasa Arab.
Lalu ia menukil pendapat seorang tokoh yang menyalahkan (تغليط) Imam Syafi’i dalam masalah bahasa. Tokoh tersebut adalah Abu Bakar bin Dawud, putera dari Imam Dawud azh-Zhahiry ; pengasas mazhab Zhahiriyyah.
Diantara kesalahan Imam Syafi’i yang ia sorot adalah ia mewajibkan wudhuk dilakukan secara berurutan.
Mencuci muka dulu sebelum mencuci tangan. Mencuci tangan dulu baru setelah itu menyapu kepala.
Dan seterusnya. Padahal, menurut Ibnu Dawud, huruf waw (و) yang terdapat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 6 yang menjelaskan tentang wudhuk itu, secara bahasa hanya berfungsi untuk sekedar menghimpun (لمطلق الجمع), bukan untuk menerangkan urutan (للتوالي).
Kesalahan berikutnya adalah Imam Syafii mengatakan bahwa yang diwajibkan untuk berjihad dalam ayat حرض المؤمنين على القتال “Motivasilah orang-orang beriman untuk berperang” hanyalah laki-laki. Wanita tidak masuk. Padahal kata-kata المؤمنين tidak mengenai kaum laki-laki saja, tapi juga wanita.
Lalu Ibnu Faris menukil ucapan Ibnu Dawud :
وهذا من غريب ما يغلط فيه مثله ، يقول الله جل ثناؤه : (يا بني آدم…) أفتراه أراد الرجال دون النساء؟
“Aneh sekali ia (Syafii) salah dalam hal ini. Allah Swt berfirman: “Wahai anak cucu Adam…” apakah karena yang digunakan kata-kata ‘bani’ (yang secara asal artinya anak laki-laki) berarti seruan ini hanya berlaku untuk kaum laki-laki saja dan tidak untuk kaum wanita?”
Sebenarnya bantah-membantah seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh dan baru dalam tradisi para ulama.
Apalagi kalau bantahan itu didasarkan kepada ilmu (setidaknya demikian yang tampak secara zhahir).
Karena memang tidak ada seorang pun yang maksum dan bebas dari kesalahan. Jangankan Imam Syafi’i, para sahabat Nabi Saw saja ada yang salah dan keliru.
Tapi pertanyaannya, apakah sosok sekaliber Imam Syafi’i, yang perkataannya saja dianggap menjadi hujjah dalam bahasa Arab, mungkin keliru dalam hal-hal seperti ini?
Apakah Ibnu Dawud sudah membaca penjelasan lengkap Imam Syafi’i dalam kitab-kitabnya, seperti al-Umm?
Apakah ia sudah memahami dengan baik apa yang dijelaskan oleh Imam Syafii dalam kitabnya itu?
Satu hal yang disayangkan, Imam Ibnu Faris sepertinya mengiyakan dan menyetujui penyalahan yang dilakukan Ibnu Dawud terhadap Imam Syafi’i.
Sehingga tak heran kalau sebagian pihak menilai, sikap Ibnu Faris ini dipengaruhi oleh ta’ashub mazhabi.
Karena Ibnu Faris pada mulanya bermazhab Syafi’i, tapi kemudian berpindah ke mazhab Maliki.
Sebagian ulama mengatakan ia juga punya kecenderungan kepada mazhab Hanbali yang memiliki banyak kesamaan dengan mazhab Zhahiri ; mazhab Ibnu Dawud yang ia nukil perkataannya.
Terlepas dari prediksi-prediksi di atas, mari kita lihat sejauh mana kekuatan bantahan Ibnu Dawud terhadap Imam Syafi’i.
Apakah Imam Syafi’I tidak tahu kalau huruf waw dalam bahasa Arab adalah untuk menghimpun (لمطلق الجمع), bukan untuk pengurutan?
Apakah Imam Syafi’I tidak tahu kalau kata-kata المؤمنين tidak hanya ditujukan untuk kaum laki-laki, tapi juga untuk kaum perempuan?
Orang yang mempelajari kitab-kitab pokok dalam bahasa Arab seperti Syuruh al-Ajurrumiyyah, Awdhah al-Masalik, Qatrun Nada, apalagi Mughni al-Labib, tentu tahu bahwa huruf waw memang dasarnya sekedar untuk menghimpun. Tapi apakah kewajiban mengurutkan aktivitas berwudhuk (mencuci muka, lalu tangan, lalu kepala, lalu kaki) di-istinbath-kan oleh Imam Syafii dari huruf waw itu? Tidak.
Mari kita perhatikan perkataan Imam Syafii dalam kitab al-Umm:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ} [المائدة: 6] (قَالَ) : وَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَبَدَأَ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ قَالَ فَأَشْبَهَ – وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ – أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمُتَوَضِّئِ فِي الْوُضُوءِ شَيْئَانِ أَنْ يَبْدَأَ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ ثُمَّ رَسُولُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِهِ مِنْهُ وَيَأْتِي عَلَى إكْمَالِ مَا أُمِرَ بِهِ ، فَمَنْ بَدَأَ بِيَدِهِ قَبْلَ وَجْهِهِ أَوْ رَأْسِهِ قَبْلَ يَدَيْهِ أَوْ رِجْلَيْهِ قَبْلَ رَأْسِهِ كَانَ عَلَيْهِ عِنْدِي أَنْ يُعِيدَ حَتَّى يَغْسِلَ كُلًّا فِي مَوْضِعِهِ بَعْدَ الَّذِي قَبْلَهُ وَقَبْلَ الَّذِي بَعْدَهُ لَا يَجْزِيهِ عِنْدِي غَيْرُ ذَلِكَ وَإِنْ صَلَّى أَعَادَ الصَّلَاةَ بَعْدَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَمَسْحَ الرَّأْسِ وَغَيْرُهُ فِي هَذَا سَوَاء
Artinya:
“Allah Swt berfirman: “… Maka basuhlah muka dan kedua tanganmu sampai mata siku, dan kakimu sampai dua mata kaki…”. Rasulullah Saw pun berwudhuk seperti yang diperintahkan Allah dan memulai seperti yang disebutkan oleh Allah. Karena itu –wallahu a’lam-, dalam berwudhuk, seseorang mesti memperhatikan dua hal:
Pertama, memulai dengan apa yang disebutkan Allah Swt pertama kali dan juga dilakukan Rasulullah Saw pertama kali.
Kedua, melakukan semua itu secara sempurna. Maka, siapa yang memulai membasuh tangan sebelum membasuh muka atau membasuh kaki sebelum membasuh (mengusap) kepala maka menurutku ia mesti mengulang seluruhnya.
Tidak sah kecuali dengan cara itu (yaitu mengulang), meskipun ia sudah shalat, ia mesti mengulang shalat setelah sebelumnya mengulang wudhuk secara tertib dan sempurna.”
Berarti yang menjadi yang menjadi hujjah Imam Syafi’i dalam masalah tartib wudhuk bukan huruf waw, melainkan mengikuti alur yang telah disebutkan Allah dan dipraktekkan oleh Rasulullah Saw dengan mengacu kepada alur tersebut.
Adapun tentang kata المؤمنين yang tidak hanya ditujukan untuk kaum laki-laki yang beriman saja, tidak mungkin Imam Syafi’i tidak mengetahui hal ini.
Perintah untuk puasa menggunakan يا أيها الذين آمنوا dan itu untuk jamak mudzakkar (laki-laki). Apakah ini artinya yang wajib berpuasa adalah laki-laki saja? Tentu tidak.
Imam Syafii tidak menolak bahwa jamak mudzakkar, dalam banyak kesempatan, juga mencakup jamak muannats. Tapi itu tidak berlaku general.
إن جمع الذكور يختلف فى أصله عن جمع الإناث كما قال تعالى : (إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات …) , ولا يشمل الإناث إلا بدليل ، وقد جاء فى السنة الصحيحة ما يدل على أن الجهاد لا يجب على النساء ، ونحن لا نمنع أن جمع الذكور قد يشمل الإناث إذا ما قام دليل على ذلك كما فى آية يا بني آدم.
Artinya:
“Sesungguhnya jamak mudzakkar secara asal berbeda dengan jamak muannats, seperti dalam ayat: “Sesungguhnya orang muslim (laki-laki) dan muslimah (perempuan), orang mukmin (laki-laki) dan mukminah (perempuan)…”
Jamak mudzakkar tidak mencakup jamak muannats kecuali jika ada dalil. Dalam sunnah yang shahih banyak dalil yang menunjukkan bahwa jihad itu tidak wajib bagi wanita.
Kita tidak menolak kalau jamak mudzakkar terkadang juga mencakup jamak muannats kalau ada dalil yang menunjukkan hal itu sebagaimana dalam ayat: “Wahai anak cucu Adam…” (Ta’liq Sayyid Ahmad Shaqar terhadap kitab ash-Shahibi hal. 56).
Tidak ada yang salah dalam i’tiradh (membantah) dan intiqad (kritik). Tapi sebelum membantah, lihat-lihat dulu siapa yang dibantah.
Tanyakan pada diri sendiri, “Kalau saya saja yang ilmunya tidak seberapa tahu hal ini, atau ustadz saya yang ilmunya juga tidak jauh-jauh amat dari ilmu saya tahu hal ini, apakah mungkin para ulama sekaliber pendiri mazhab, ulama terkemuka di zamannya, seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam Suyuthi, dan sebagainya, tidak mengetahui hal ‘sederhana’ ini?”
Kalau sosok sekaliber Imam Ibnu Faris, yang menukil dari tokoh besar juga ; Ibnu Dawud, bisa saja keliru, atau terburu-buru sehingga keliru ketika membantah Imam Syafii, apalagi kita yang bukan siapa-siapa.
Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan melihat fenomena sebagian orang yang terlalu ‘berani’ membantah para imam mazhab dengan bekal seadanya, atau tanpa bekal sama sekali. Ada yang mengatakan, “Imam Abu Hanifah itu lemah dalam hadits.” Ada yang mengatakan, “Imam Syafi’i tidak tahu sunnah.” Ada yang mengatakan, “Buku-buku Ibnu Athaillah penuh dengan khurafat.” Dan ungkapan-ungkapan ‘liar’ lainnya.
Dalam sebuah bukunya, Syekh Muhammad al-Ghazali pernah menulis bahwa ia berniat untuk menulis sebuah buku yang akan ia beri judul :
إِلْجَامُ الرِّعَاع وَالْأَغْمَار عَنِ التَّصَدُّر لِلْفَتْوى وَشَتْمِ الْكِبَار
“Mengekang orang-orang liar dan anak baru ‘gede’ untuk tampil berfatwa dan mencela ulama besar.”
Tapi sayang, ajal menjemputnya sebelum ia sempat mewujudkan niat itu.
Ta’ashub li (التعصب لـ) tidak boleh. Ta’ashub ‘ala (التعصب على) juga tidak boleh.
Islam mengajarkan al-Inshaf (الانصاف). Mengkritik dan membantah tidak dilarang, tapi ya mbok lihat-lihat dulu siapa yang dibantah.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *