Terlalu Baik (Juga) Tidak Baik! Ini Dalilnya

 Terlalu Baik (Juga) Tidak Baik! Ini Dalilnya

Budaya patriarki mendapat sorotan feminis muslim (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Menurut kamu, terlalu peduli itu baik nggak, sih?” Begitulah seorang teman bertanya. Singkat, sih, namun sarat akan perenungan-perenungan yang walau tidak nampak begitu filosofis, paling tidak, memberikan kesan yang penting untuk kita ketahui.

Apa pun yang “terlalu” sudah pasti tidak baik. Racun saja yang katanya bisa mematikan dapat menjadi obat jika sesuai takaran dan dosisnya. Itulah jawaban singkat saya.

Andai saja teman saya tadi belum mencapai titik kepuasan yang klimaks, minimal dari jawaban singkat soal frasa “terlalu” tersebut, saya mencadangkan argumen dasar. Hal itu yang masih beranak-pinak dan melandasi dari sektor ini dan itu.

Paling tidak, dari jawaban yang tampak sederhana tersebut saya landaskan pada argumen yang ber-nash. Bukankah dengan tegas Allah melarang hambaNya yang melampaui batas dalam artian “terlalu” tadi. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Maidah: 87.

ياأيها الذين أمنوا لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم ولا تعتدوا، إن الله لا يحب المعتدين (سورة المائدة: 87)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Persoalannya kemudian, bagaimana jika terlalu baik, terlalu dermawan, terlalu sayang, terlalu cinta, dan terlalu peduli sebagaimana tadi, atau terlalu dan terlalu lainnya yang sama-sama baiknya?

Aristoteles: Seimbang Antara Dua Titik Ekstrem

Apa pun dalihnya, meski terarah pada hal baik sekalipun jika kelebihan dosisnya, akan menuai kekurang-baikan. Pernah ingat tidak, bahwa Rasul juga pernah berpesan akan pentingnya penyeimbangan antara dua titik ekstrem?

“خير الأمور أوساطها”

“Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya.”

Syahdan, terdapat suatu kisah menarik yang dialami salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah Amr Ibn Ash. Ia begitu tekun beribadah kepada Allah, mulai dari salat, puasa hingga zikir sampai-sampai lupa beristirahat dan lupa memberikan hak pada istrinya.

Sang istri pun akhirnya mengadu pada Nabi atas perlakuan sang suami yang hanya sibuk beribadah. Rasul lalu menasihati Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.

Aristoteles yang dikenal sebagai senior para filosof dari Yunani yang tersohor itu juga memberikan penekanan pentingnya bersifat seimbang antara dua titik ekstrem. Hal ini tampak dari gagasan etika teleologisnya.

Seperti halnya keberanian; akan menjadi suatu hal yang baik ketika tidak terlalu berlebihan. Maksudnya jika saja berlebih takaran keberaniannya akan berujung berani yang sembrono, nekad bahkan akan jatuh pada level anarkis.

Begitu pula sebaliknya, jika terlalu kurang (dosis keberaniannya minim) akan melahirkan sifat pengecut yang juga tidak baik. Dengan demikian, keberanian ini lahir dari sifat yang memang terletak di tengah atau antara sifat nekat dan sifat pengecut. Abu Bakar ar-Razi menyebut hal ini sebagai ta’dil al-af’al al-nufus.

Harus Sesuai Dosis

Mereka yang bertindak terlalu dermawan pun, punya ini atau itu, langsung saja didermakan hingga lupa dan tidak peduli pada nasib diri dan keluarganya (bagi yang berkeluarga). Ini juga baik yang berlebihan dan tidak disarankan.

Bederma, sih, baik asal sesuai dosisnya. Jika bederma asal bederma hingga melampaui batas materi yang dipunya, boleh jadi akan berdampak buruk, bukan?

Bahkan berpotensi menimbulkan kemudharatan, entah si istri bakal gaduh dan marah karena jatah untuk dirinya tidak dijamin. Belum lagi si anak yang merintih sedang dirundung kelaparan.

Sekali lagi, apa pun yang “terlalu” akan beroleh kurang baik, betapapun baiknya suatu tindakan itu. Seperti contoh di muka, seorang sahabat yang tekun beribadah tadi.

Ini ibadah, yang jelas-jelas orientasinya pada Allah yang Maha segalanya bukan untuk hal lain tapi tidak dibolehkan untuk bersikap terlalu, apalagi sekadar ekspresi sikap pada mahluk-Nya.

Kendalikan kepedulian kita karena boleh jadi bibit peduli kita yang terlalu itu akan tumbuh buah yang dapat meresah-risihkan orang lain. Loh kok bisa?

Bayangkan, jika sedikit-sedikit berdalih peduli bukannya itu akan lebih memasuki problem seseorang secara personal? Kasarnya suka ikut campur urusan orang. Terkadang menjaga jarak atau bersikap bodoh amat juga diperlukan dalam suatu kondisi tertentu, yang penting tahu kapan harus peduli dan tidak.

Wallahu A’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *